Masela, untuk Siapa?
Alhilal Hamdi ; Ketua Tim Nasional Bahan Bakar Nabati
2006-2008;
Alumnus Teknik Perminyakan
Institut Teknologi Bandung
|
KOMPAS, 05
Februari 2016
Rapat terbatas kabinet
yang kedua, Senin, 1 Februari 2016, belum memutuskan arah pengembangan
lapangan gas Masela hingga Presiden Joko Widodo mendengar sendiri pandangan
investor Inpex Shell.
Beberapa bulan terakhir mengemuka ke publik
dua skenario. Pertama, dibangun pengolahan gas alam cair (LNG) di atas kapal
terapung. Kedua, gas dialirkan ke
daratan Maluku untuk dicairkan menjadi LNG dan sebagian lagi diolah menjadi
pupuk serta bahan petrokimia lainnya.
Setiap skenario
memiliki argumen dan perhitungan serta sulit dipertemukan satu sama lain
meskipun sudah ditunjuk konsultan asing Poten & Partners untuk memberikan
"pendapat" terhadap kelayakan yang dibuat oleh Inpex Shell.
Rencana pengembangan (POD) yang disodorkan
investor dan diteruskan oleh Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas kepada
pemerintah pada dasarnya adalah bisnis investasi di hulu. Mulai dari kegiatan
eksplorasi, produksi, hingga mengolahnya menjadi komoditas migas berupa
kondensat (fraksi minyak ringan) dan utamanya LNG.
Bisnis hulu migas menganut aturan cost
recovery, artinya semua biaya modal yang ditanam dan biaya operasi dibayar
dari penjualan migas. Investor membuat model bisnis yang secara teknis dan
keuangan memberi kepastian pengembalian modal dan keuntungan. Dalam proyek
Masela, menurut Inpex Shell, hanya bisa dilakukan melalui proses pengolahan gas
terapung di atas laut. Sementara itu,
pemerintah, sebagaimana disampaikan Presiden, berkepentingan pada
pengembangan ekonomi wilayah dan efek berganda sejak proyek dimulai, pada
masa konstruksi hingga berproduksinya lapangan gas Masela.
Beda acuan
Dua kepentingan yang berbeda acuan. Ibarat
dua orang berdebat, meski tentang buku yang sama, tetapi berbeda topik, sebab
membacanya dari halaman yang berlainan.
Inpex Shell memiliki bisnis inti di bidang hulu migas sehingga
tidaklah adil untuk "memaksa" mereka masuk ke bisnis hilir
petrokimia. Sebaliknya, investor juga
harus memahami, pemerintah memiliki bukan saja wewenang, melainkan
juga kepentingan besar terhadap pemanfaatan sumber daya alam.
Lantas bagaimana jalan
keluar yang bisa membuat nyaman investasi dan sekaligus menjamin
terakomodasinya kepentingan publik dari pengembangan gas Masela? Menurut penulis dapat dibuat sebagai
berikut.
Pertama, investor
diberi keleluasaan untuk membangun fasilitas LNG Plant terapung maksimal
berkapasitas 3,75 juta ton per tahun. Kapasitas tersebut sama dengan LNG
Plant PRELUDE yang sekarang ini sedang dibangun oleh investor yang sama di
Korea. Dengan begitu, baik risiko teknis, konstruksi, dan keuangan sudah
lebih terukur.
Kedua, sejumlah gas yang sama dialirkan ke
daratan Maluku yang terdekat, yakni Pulau Selaru atau Tanimbar, yang berjarak
140-an kilometer. Selanjutnya, pemerintah menunjuk BUMN Indonesia yang memang
sudah berpengalaman belasan tahun dalam membangun dan mengoperasikan LNG
Plant ataupun industri hilir migas, seperti pupuk dan petrokimia. Adanya LNG
Plant di daratan Maluku juga memudahkan transportasi gas untuk kepentingan,
utamanya pembangkit listrik di kepulauan Indonesia bagian timur.
Dengan jalan tengah tersebut kiranya membuat
semua pihak menjadi dimenangkan. Diharapkan, perdebatan publik usai, dan kita
jelang segera eksekusi yang pro investasi sekaligus pro pembangunan wilayah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar