Golkar Baru dengan "Trisula" Baru
Hajriyanto Y Thohari ; Mantan Wakil Ketua MPR dan
Ketua DPP Partai Golkar
(2009-2015)
|
KOMPAS, 05
Februari 2016
Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pengesahan kembali kepengurusan Partai
Golkar hasil musyawarah nasional di Riau tahun 2009 ibarat "pendaratan
terakhir" dalam dunia perbankan di masa lalu.
Jika
"pertolongan" pemerintah yang berisi skenario penyelesaian konflik
Partai Golkar ini tak berjalan baik, perpecahan yang telah berlangsung lebih
dari satu tahun ini justru akan menjebak Golkar dalam kubangan krisis yang
lebih dalam lagi.
Surat keputusan
Menkumham tertanggal 28 Januari 2016 itu berisi dua klausul penting. Pertama,
memperpanjang selama enam bulan masa bakti kepengurusan DPP Partai
Golkar hasil Musyawarah Nasional
(Munas) Riau yang sebenarnya telah mati sejak 31 Desember 2015. Kedua,
kepengurusan yang diperpanjang dengan SK ini punya kewenangan membentuk
panitia yang akan menyelenggarakan munas/munas luar biasa sesuai AD/ART
Partai Golkar yang demokratis, rekonsiliatif, dan berkeadilan.
Terselenggaranya
munaslub yang demokratis, rekonsiliatif, dan berkeadilan memerlukan
kepanitiaan yang juga demokratis, rekonsiliatif, dan berkeadilan sebagai
conditio sine qua non. Jika munas dipandang oleh salah satu pihak sebagai
tidak demokratis, rekonsiliatif, dan berkeadilan, hasilnya berpotensi digugat
kembali.
Dalam konteks dan
perspektif ini, maka kini Partai Golkar telah diberi instrumen atau senjata
baru oleh negara, yakni "trisula": demokrasi, rekonsiliasi, dan
keadilan. Sebagai senjata terakhir yang tersisa, segenap pengurus dan
fungsionaris Partai Golkar tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini untuk
memulihkan partainya. Mereka tak boleh lagi ragu, gamang, dan madek mangu menempuh
rute penyelesaian satu-satunya yang tersisa ini. Jika gagal menyelesaikan
kemelut perpecahan yang parah, eksesif, dan berlebihan ini, Partai Golkar
memang benar-benar sedang menuju limbo sejarah.
Limbo (bahasa Latin)
artinya tempat untuk orang-orang atau barang-barang yang telantar, terbuang,
terlupakan, atau tak diinginkan lagi; limbo adalah keadaan yang terlupakan
dan tak diinginkan lagi oleh sejarah. Ini artinya memang hanya sampai di sini
masa berlakunya Partai Golkar! Pasalnya, adalah mustahil bagi Golkar
mendapatkan kepercayaan rakyat untuk memimpin negara dan membangun peradaban
jika berdamai saja tak bisa. Padahal, pemerintah sudah memberikan
pertolongannya yang pungkasan.
Kini, semuanya
terpulang pada DPP Partai Golkar sebagai pemegang trisula yang dimandatkan
oleh negara. DPP Partai Golkar harus mengambil prakarsa menggelar rapat pleno
untuk mengambil keputusan penting dan strategis demi penyelamatan partai
melalui rute politik yang terakhir ini dalam bentuk memilih kepanitiaan
munas, baik panitia pengarah (SC) maupun pelaksana (OC) yang demokratis,
rekonsiliatif, dan berkeadilan.
Tiga kata kunci ini
harus diejawantahkan secara maksimal dalam pembentukan panitia munas. Dengan
trisula ini, apa pun hasil munas akan mendapat legitimasi dan dukungan.
Sebaliknya, tanpa trisula, hasil munas akan selalu rawan dan berpotensi
digugat. Dengan trisula baru itu, para pembuat gaduh, siapa pun orangnya,
akan kehilangan raison d'etre-nya untuk mencari penyakit dengan menggugat
hasil munas nanti.
Demokratis artinya
pembentukan kepanitiaan harus memenuhi prinsip-prinsip yang lazim dalam
praktik kehidupan demokrasi: dipilih dari dan oleh anggota DPP secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan aturan main yang
disepakati bersama. Sementara rekonsiliatif artinya struktur personalia
kepanitiaan tersebut harus benar-benar mencerminkan semangat rekonsiliasi
antardua kubu. Figur-figur tokoh yang selama ini gigih dan setia menjembatani
dua kelompok yang bertikai dengan semangat rekonsiliasi ada baiknya
dilibatkan.
Adapun berkeadilan
artinya kepanitiaan harus mencerminkan keseimbangan personal secara
numerikal, proporsional, dan posisional sehingga tak ada dominasi oleh salah
satu pihak atau kelompok yang selama ini mengejawantah dalam dualisme DPP
Partai Golkar. Secara de jure memang tidak ada lagi DPP hasil Munas Bali atau
Munas Jakarta. Pemilik kewenangan secara legalistik adalah DPP Partai Golkar
hasil Munas Riau 2009, tetapi de facto keduanya ada dan nyata. Maka, asas
representasi harus tercermin dalam kepanitiaan munas yang berkeadilan.
Akhirnya, harus
disadari bahwa sebuah rekonsiliasi tidak akan pernah terwujud tanpa adanya
semangat kebersamaan. Maka dari itu, semua pihak harus punya semangat untuk
"rukun bersama-sama satu tujuan" dan bersikap berat sama dipikul,
ringan sama dijinjing. Momentum terakhir rekonsiliasi bisa jadi hanya datang
sekali ini lewat trisula baru ini. Jika instrumen terakhir ini tidak
dimanfaatkan dengan penuh kesungguhan, jangan pernah meratapi kalau Golkar
masuk dalam limbo sejarah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar