Jumat, 05 Februari 2016

Golkar Baru dengan "Trisula" Baru

Golkar Baru dengan "Trisula" Baru

Hajriyanto Y Thohari  ;   Mantan Wakil Ketua MPR dan
Ketua DPP Partai Golkar (2009-2015)
                                                     KOMPAS, 05 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pengesahan kembali kepengurusan Partai Golkar hasil musyawarah nasional di Riau tahun 2009 ibarat "pendaratan terakhir" dalam dunia perbankan di masa lalu.

Jika "pertolongan" pemerintah yang berisi skenario penyelesaian konflik Partai Golkar ini tak berjalan baik, perpecahan yang telah berlangsung lebih dari satu tahun ini justru akan menjebak Golkar dalam kubangan krisis yang lebih dalam lagi.

Surat keputusan Menkumham tertanggal 28 Januari 2016 itu berisi dua klausul penting. Pertama, memperpanjang selama enam bulan masa bakti kepengurusan DPP Partai Golkar  hasil Musyawarah Nasional (Munas) Riau yang sebenarnya telah mati sejak 31 Desember 2015. Kedua, kepengurusan yang diperpanjang dengan SK ini punya kewenangan membentuk panitia yang akan menyelenggarakan munas/munas luar biasa sesuai AD/ART Partai Golkar yang demokratis, rekonsiliatif, dan berkeadilan.

Terselenggaranya munaslub yang demokratis, rekonsiliatif, dan berkeadilan memerlukan kepanitiaan yang juga demokratis, rekonsiliatif, dan berkeadilan sebagai conditio sine qua non. Jika munas dipandang oleh salah satu pihak sebagai tidak demokratis, rekonsiliatif, dan berkeadilan, hasilnya berpotensi digugat kembali.

Dalam konteks dan perspektif ini, maka kini Partai Golkar telah diberi instrumen atau senjata baru oleh negara, yakni "trisula": demokrasi, rekonsiliasi, dan keadilan. Sebagai senjata terakhir yang tersisa, segenap pengurus dan fungsionaris Partai Golkar tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memulihkan partainya. Mereka tak boleh lagi ragu, gamang, dan madek mangu menempuh rute penyelesaian satu-satunya yang tersisa ini. Jika gagal menyelesaikan kemelut perpecahan yang parah, eksesif, dan berlebihan ini, Partai Golkar memang benar-benar sedang menuju limbo sejarah.

Limbo (bahasa Latin) artinya tempat untuk orang-orang atau barang-barang yang telantar, terbuang, terlupakan, atau tak diinginkan lagi; limbo adalah keadaan yang terlupakan dan tak diinginkan lagi oleh sejarah. Ini artinya memang hanya sampai di sini masa berlakunya Partai Golkar! Pasalnya, adalah mustahil bagi Golkar mendapatkan kepercayaan rakyat untuk memimpin negara dan membangun peradaban jika berdamai saja tak bisa. Padahal, pemerintah sudah memberikan pertolongannya yang pungkasan.

Kini, semuanya terpulang pada DPP Partai Golkar sebagai pemegang trisula yang dimandatkan oleh negara. DPP Partai Golkar harus mengambil prakarsa menggelar rapat pleno untuk mengambil keputusan penting dan strategis demi penyelamatan partai melalui rute politik yang terakhir ini dalam bentuk memilih kepanitiaan munas, baik panitia pengarah (SC) maupun pelaksana (OC) yang demokratis, rekonsiliatif, dan berkeadilan.

Tiga kata kunci ini harus diejawantahkan secara maksimal dalam pembentukan panitia munas. Dengan trisula ini, apa pun hasil munas akan mendapat legitimasi dan dukungan. Sebaliknya, tanpa trisula, hasil munas akan selalu rawan dan berpotensi digugat. Dengan trisula baru itu, para pembuat gaduh, siapa pun orangnya, akan kehilangan raison d'etre-nya untuk mencari penyakit dengan menggugat hasil munas nanti.

Demokratis artinya pembentukan kepanitiaan harus memenuhi prinsip-prinsip yang lazim dalam praktik kehidupan demokrasi: dipilih dari dan oleh anggota DPP secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan aturan main yang disepakati bersama. Sementara rekonsiliatif artinya struktur personalia kepanitiaan tersebut harus benar-benar mencerminkan semangat rekonsiliasi antardua kubu. Figur-figur tokoh yang selama ini gigih dan setia menjembatani dua kelompok yang bertikai dengan semangat rekonsiliasi ada baiknya dilibatkan.

Adapun berkeadilan artinya kepanitiaan harus mencerminkan keseimbangan personal secara numerikal, proporsional, dan posisional sehingga tak ada dominasi oleh salah satu pihak atau kelompok yang selama ini mengejawantah dalam dualisme DPP Partai Golkar. Secara de jure memang tidak ada lagi DPP hasil Munas Bali atau Munas Jakarta. Pemilik kewenangan secara legalistik adalah DPP Partai Golkar hasil Munas Riau 2009, tetapi de facto keduanya ada dan nyata. Maka, asas representasi harus tercermin dalam kepanitiaan munas yang berkeadilan.

Akhirnya, harus disadari bahwa sebuah rekonsiliasi tidak akan pernah terwujud tanpa adanya semangat kebersamaan. Maka dari itu, semua pihak harus punya semangat untuk "rukun bersama-sama satu tujuan" dan bersikap berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Momentum terakhir rekonsiliasi bisa jadi hanya datang sekali ini lewat trisula baru ini. Jika instrumen terakhir ini tidak dimanfaatkan dengan penuh kesungguhan, jangan pernah meratapi kalau Golkar masuk dalam limbo sejarah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar