Senin, 08 Februari 2016

Guru Spiritual

Guru Spiritual

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                     KOMPAS, 07 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hampir setiap antropolog Indonesia pernah membaca atau setidaknya mengetahui tentang penelitian yang kemudian dibukukan oleh Profesor Clifford Geertz yang berjudul The Religion of Java.

Penelitian yang dilakukan di sekitar tahun 1950-an, di sebuah kota di Jawa yang bernama Mojokuto (banyak yang menerka bahwa kota itu sebenarnya adalah Kediri, Jawa Timur) itu menerangkan tentang agama-agama dan kepercayaan yang hidup di sana. Intinya, Geertz membagi masyarakat Mojokuto ke dalam tiga golongan yaitu priyayi, santri, dan abangan. Pembagian itu berdasarkan praktik kepercayaan masing-masing golongan (walaupun semuanya mengaku Islam).

Golongan santri adalah yang paling taat mempraktikkan Islam, mulai dari salat lima waktu, salat Jumat, sampai ke puasa. Gelar haji merupakan tingkat yang paling top dari keislaman mereka dan pusat budaya mereka adalah di pesantren atau madrasah. Mereka kebanyakan adalah pedagang. Golongan priyayi adalah golongan bangsawan, pejabat-pejabat pemerintah, dan para terpelajar. Mereka tidak mempraktikkan Islam secara detail, tidak salat, boro-boro baca Alquran.

Sedangkan golongan abangan terdiri atas petani dan pekerja, yang selain tidak mempraktikkan rukun Islam, juga melakukan banyak upacara sesuai dengan kepercayaannya sendiri seperti puasa mutih (hanya makan nasi dan garam), merayakan weton (hari kelahiran), dan lainnya yang saya tidak ingat lagi. Priyayi dan abangan ini secara kepercayaan lebih dekat satu sama lain daripada dengan golongan santri.

Priyayi dan abangan misalnya sama-sama menyukai wayang dan melaksanakan ritual-ritual seperti slametan, babaran (ketika anak dilahirkan), layatan (jika ada yang meninggal), dan lainnya. Tetapi, tiga golongan itu melebur jadi satu dalam pergaulan sehari-hari, khususnya hari Lebaran, yang semuanya all out merayakannya, termasuk priyayi dan abangan memenuhi lapangan untuk salat id. Satu lagi, tiga golongan itu sama-sama percaya kepada ”dunia lain” seperti memedi (yang suka nakut-nakutin), tuyul (hantu bocah), demit (penjaga tempat keramat), lelembut (makhluk halus), dan sebagainya.

Ketika saya masih anak-anak di Tegal (Jawa Tengah) di sekitar tahun 1950-an juga, saya merasakan kehidupan seperti di Mojokuto itu. Ayah saya seorang dokter sehingga mestinya tergolong priyayi. Tetapi, teman-teman saya di sekolah rakyat, campur dari tiga golongan, bahkan ketika saya pindah ke sekolah Katolik, teman saya bertambah dengan anak-anak keturunanTionghoa.

Di antara teman-teman saya itu, yang paling akrab dengan saya adalah teman sekolah sejak SD sampai SMP yang bernama Mulyarno (panggilan akrabnya: Nono), yang berasal dari keluarga santri. Ayahnya seorang pedagang besi tua dan ibunya guru sekolah rakyat (sekarang SD) yang pernah menjadi guru kelas kami berdua. Dari Nono inilah saya mulai berkenalan dengan dunia band.

Waktu itu saya bergabung dengan band bocah yang didirikannya yang diberi nama Orkes Melayu Bulan Buana, yang hampir setiap hari Sabtu atau malam Minggu ditanggap untuk main di kampung-kampung untuk merayakan sunatan atau bahkan perkawinan (kecil-kecil sudah diajari kawin). Yang ingin saya ceritakan di sini, walaupun kami berbeda ”golongan”, tidak ada rasa berbeda di antara kami. Khususnya dalam soal-soal ritual dan kepercayaan keagamaan.

Ketika saya sedang main atau latihan di rumah Nono, saya biasanya diajak ikut salat berjamaah atau makan siang, ya saya ikut. Tetapi, kalau sedang mau manggung, sejak persiapan sampai saat manggungnya, nabrak salat asar dan magrib, ya Nono tenang-tenang aja, bantuin kawan-kawannya walaupun artinya dia tidak salat. Artinya salat enggak salat dianggap biasa saja, dibawa santai saja. Lain ceritanya zaman sekarang. Begitu datang waktu salat, langsung semuanya berkemas untuk salat.

Kadang-kadang hampIr satu lantai kantor kosong karena semuanya sedang salat, yang biasanya dilanjutkan dengan makan siang sehingga tidak cukup waktu satu jam. Begitu juga puasa. Pada zaman Mojokuto, orang mau puasa atau tidak, itu urusan masing-masing. Tetapi, sekarang puasa adalah keharusan. Apalagi doa-doa, makin banyak dan makin bervariasi. Ada doa mau berangkat kerja, doa mau ke kamar mandi, doa mau makan, doa sesudah makan, dan masih banyak lagi.

Sementara dulu semuanya cukup dengan Bismillah atau Alhamdulillah saja. Juga yang naik haji, aauzubillahi min zalik bertambah banyaknya, sampai pun sekarang umrah sudah dijadikan alternatif karena sulitnya dapat giliran naik haji. Pokoknya, sekarang terasa sekali betapa orang merasakan kebutuhan spiritual. Orang berbondong-bondong mencari guru-guru spiritual.

Ada yang membentuk majelis-majelis taklim atau bergabung dengan majelis taklim yang ada dan mengundang ustaz atau ustazah lokal sampai yang kondang, ada yang rajin menyimak tausiyah-tausyiah oleh ustaz atau ustazah nasional di TV, dan sebagainya. Sayangnya, ustaz atau ustazah ini tidak terkontrol kualitasnya. Apa latar belakang pendidikan dan pelatihan mereka?

Apakah bisa seorang yang pernah belajar mengaji pada masa kecilnya, dan jadi penyanyi rock dan suka mabuk pada masa dewasanya, beralih halauan menjadi ustaz, dengan modal hafal ayat-ayat Alquran dan suara rocknya? Nyatanya banyak yang tertarik pada ustaz yang seperti ini. Bahkan istri ustaz yang kebetulan berwajah cantik, mantan selebritas dan lancar bicara, tiba-tiba menjadi ustazah, dengan honor panggilan yang cukup tinggi.

Kalau begini caranya (tanpa ada seleksi ketat), sangat mudah untuk ideologi-ideologi radikal (termasuk yang menghalalkan darah orang-orang yang tidak segolongan) untuk menyusup ke Indonesia dengan berbaju guru spiritual. Guru-guru spiritual radikal ini bisa tiba-tiba tampil di mimbar Jumat sebagai khotib, atau menguasai pesantren-pesantren, atau menjadi guru-guru agama di mana-mana tanpa kontrol. AAuzubillahi min zalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar