Nostalgia
Goenawan Mohamad ; Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu
|
TEMPO.CO, 08
Februari 2016
Ini tahun 2016. Pada umur 75, masa depan saya
jauh makin sedikit ketimbang masa lalu saya. Pada umur ini orang lazimnya
akan gugup dengan masa kini, karena di abad ke-21 masa kini kian didera masa
depan. Teknologi yang mengelilingi kita dipasang bukan untuk sekarang: kereta
api cepat, mobil dengan energi matahari, komunikasi hologram.... Hidup
seperti bergerak tanpa mampir ke hari ini.
Tapi di celah-celah itu ada nostalgia.
Kadang-kadang kita duduk. Di depan kita,
sebuah meja kayu mahogani. Meja "Victorian", sebuah katalog
menyebutnya, tapi tak amat penting informasi ini. Meja antik itu tetap
memikat, dari mana pun zamannya, sebab ia langka. Ia bukan seperti meja
kebanyakan yang digelar di toko mebel. Sesuatu yang berbeda, yang tak
terduga, memang memberi nilai tambah dalam kreasi manusia. Tapi ada hal lain:
meja itu menarik karena ia bertaut dengan kesadaran waktu yang kini tak ada
lagi.
Ia hasil craftsmanship, atau
"kekriyaan", proses kerja yang dalam bahasa Jawa ditandai sikap
"titis, telaten, taberi". Dengan kata lain, ia dibuat dengan gerak
tangan yang seakan-akan menyatu dengan alat, bahan, dan rancangan. Semuanya
berjalan dengan bebas, dengan intens, tak peduli waktu, hingga karya selesai.
Kini kita kehilangan intensitas kerja
pra-industrial itu. Rasa kehilangan itu, nostalgia, bukan kehilangan sebuah
milik. Svetlana Boym, dalam The Future of Nostalgia, dengan bagus
menggambarkannya sebagai kehilangan "irama yang lebih perlahan dari
mimpi-mimpi kita".
Nostalgia, kata Boym, melawan gagasan modern
tentang waktu. Di dunia modern waktu adalah mesin hitung dalam gerak sejarah,
dan gerak sejarah adalah kemajuan.
Tapi nostalgia bukan sepenuhnya pembangkangan.
Nostalgia bisa produktif. Ia membentuk utopianya sendiri, membangun sebuah
imaji tentang masa lalu yang utuh, memukau, menimbulkan rindu. Tapi utopia
itu sebenarnya tak menangkap masa lalu itu sebagaimana adanya. Masa lalu tak
akan pernah kita ketahui kembali dengan persis. Sebab itu dalam nostalgia
utopia itu tak mengarah ke sana, tapi "ke samping". Nostalgia, kata
Boym, bukan anti-modern, melainkan "off-modern".
Kata off itu menunjukkan keadaan terlepas, dan
dalam hal ini terlepas dari modernitas. Nostalgia sebenarnya sebuah interupsi
terhadap perjalanan yang lurus maju. Ia membawa kita berbelok dari narasi
sejarah yang seakan-akan memastikan bahwa the idea of progress adalah
kebenaran manusia.
Dalam nostalgia, kita diam-diam meninggalkan
kegandrungan kita kepada "yang baru". Tapi tak berarti kita hendak
membuat "yang lama" sebagai kuil tempat kita menutup diri.
Nostalgia hanya mencegah kita jadi "malaikat sejarah" yang duduk
dalam kokpit pesawat pancar gas, yang (berbeda dengan Angelus Novus dalam
gambar Paul Klee) hanya menatap ke depan dengan gugup karena ia tak bisa lagi
membedakan mana unggunan puing dari kerusakan akibat zaman yang bergerak dan
mana awan yang menutupi konstelasi bintang petunjuk arah. Nostalgia tak
menyukai malaikat ini.
Tapi terkadang tidak. Terkadang nostalgia
membuahkan sesuatu yang juga menakutkan, ketika ia hanya berarti algia
(kerinduan) dan nostos (kembali ke rumah).
Boym dengan tepat melihat, ketika
"kerinduan" jadi desakan "kembali ke rumah", dan
menimbulkan energi yang berkecamuk di masyarakat, ia bisa jadi bagian
ideologi-ideologi yang melahirkan monster.
Boym tampaknya ingin mengacu ke nostalgia ala
Nazi. Naziisme merayakan Blut und Boden, pertalian "darah dan
tanah". Ikatan primordial itu menolak mereka yang bukan
"pribumi", dan dengan itu Hitler membasmi orang Yahudi, kaum
tsigana yang mengembara, dan semua oknum yang bukan Jerman.
Pasca-Nazi, datang yang lain: orang-orang yang
ingin kembali ke ajaran yang "asli-murni"—sebuah utopia yang kaku.
Mereka tak mau tahu yang "asli-murni" niscaya berubah ketika
dipandang dari posisi yang berubah. Asal-usul yang mereka kenang hari ini,
dalam usia sekarang, sebenarnya adalah bagian fantasi dan utopia.
Kemudian fantasi itu mereka anggap bukan
fantasi dan utopia itu bukan utopia. Mereka mengubah nostalgia jadi
doktrin—sebuah sindrom "fundamentalisme" yang menganggap masa lalu,
manusia, dan teks bisa terbentuk di luar sejarah.
Untunglah, tak semua nostalgia melahirkan
rabun itu. Memandang almari antik, di depan bangunan kota tua, di latar
pastoral pedesaan, nostalgia adalah rasa sayu yang berkabung. Mungkin ini
perkabungan manusia modern, yang sekaligus terasa sebagai sebuah pengalaman
estetik: kita bersua dengan sesuatu yang tak disangka-sangka, mempesona, dan
membuat kita terpekur. Kita merasakan hidup sedang memberi hormat kepada
waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar