Jumat, 03 Oktober 2014

E-bank dan Pembangunan Berkelanjutan

                  E-bank dan Pembangunan Berkelanjutan

Nonot Harsono  ;   Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)
KORAN SINDO,  02 Oktober 2014

                                                                                                                       


DI era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) mendatang, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan akan terus mengalami defisit.

Betapa tidak, beban anggaran keuangan negara dengan subsidi energi yang mencapai Rp300 triliun terus menggerogoti. Ditambah dengan beban bunga utang luar negeri yang semakin besar, membuat pemerintahan Jokowi-JK dihadapkan pada persoalan fiskal yang terus mengimpit dan perlu segera diselesaikan.

Seperti layaknya sebuah perusahaan, negara ini membutuhkan anggaran belanja untuk bisa terus melakukan ekspansi, membangun, dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu, berbagai solusi dibutuhkan agar Indonesia memiliki kemampuan untuk terus membiayai pembangunan infrastruktur untuk mendongkrak ekonominya.

Selain pengurangan beban subsidi energi dan penghematan belanja pemerintah yang tidak produktif, salah satu solusi untuk mengatasi minimnya pembiayaan pemerintah adalah dengan mendongkrak investasi swasta.

Namun, investasi swasta juga membutuhkan pembiayaan, yang salah satunya dari perbankan. Di tengah ketatnya likuiditas keuangan saat ini, sudah sewajarnya jika perbankan juga melakukan inovasi untuk menghimpun pembiayaan dari masyarakat. Bank tidak bisa hanya mengandalkan cara-cara tradisional dengan menggunakan instrumen deposito ataupun tabungan untuk menghimpun dana masyarakat.

Diperlukan langkah cerdas untuk menarik masyarakat yang selama ini belum bersentuhan dengan perbankan, agar percaya dan mau memasukkan sebagian dananya di bank. Bank sebagai agent of development harus bisa melaksanakan fungsinya memobilisasi dana untuk pembangunan ekonomi di suatu negara. Kegiatan bank berupa penghimpun dan penyalur dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil.

Dengan dana itu maka memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa. Persoalannya, sampai saat ini penetrasi bank masih di bawah 50% populasi masyarakat Indonesia. Penetrasi perbankan kalah jauh dengan penetrasi telepon seluler atau handphone yang mencapai lebih dari 120% populasi.

Penetrasi yang mencapai lebih dari 100% menunjukkan bahwa banyak orang Indonesia memiliki lebih dari satu telepon seluler (ponsel) atau gadget lain. Diperkirakan, selisih antara jumlah pelanggan ponsel dan jumlah nasabah bank setara dengan jumlah orang yang tidak memiliki rekening bank (unbanked). Jumlah unbanked-people ini ke depan akan terus bertambah karena penetrasi ponsel ke daerah-daerah terpencil akan terus tumbuh dan meluas.

Sementara itu, bank tidak mungkin membangun kantor cabang di daerah yang tidak layak secara ekonomis, sebab jumlah calon nasabah minim sedangkan biaya operasional tinggi. Dengan kondisi itu, penduduk di daerah akan semakin sulit tersentuh perbankan, karena kecil kemungkinan bagi mereka menabung setiap hari, misalnya Rp10.000 di kantor cabang bank tertentu yang letaknya jauh.

Selain letak geografis, alasan psikologis lain seperti malu dan enggan berhubungan dengan urusan administrasi perbankan, juga bisa menjadi sebab. Lalu, bagaimana caranya agar penetrasi ponsel yang mencapai lebih dari 120% bisa dimanfaatkan untuk menghimpun dana masyarakat? Bagaimana agar potensi unbanked-people ini bisa menyukseskan fungsi agent of development perbankan?

Untuk menjembatani jumlah unbanked-people yang terus bertambah, perbankan dan operator telepon seluler harus membuka kesempatan bagi masyarakat diremote & rural area tersebut untuk bisa menabung melalui handphone.

Dengan begitu maka tidak akan ada lagi hambatan jarak dan psikologis untuk menabung. Perilaku masyarakat yang sudah cukup lama terbiasa mengisi ulang pulsa telepon bisa diubah dari “mengisi deposit prabayar” menjadi “mengisi deposit e-bank“. Sinergi perbankan dengan operator telekomunikasi ini menjadi langkah pertama membawa unbanked-people memasuki dunia perbankan.

Dengan sinergi ini, penyelenggara jaringan telekomunikasi menyiapkan server berisi platform virtual-banking dan platform micro-payment. Nantinya penyedia seluler dan mitra perbankan bisa mengonversi nomor telepon seluler, yang juga merupakan nomor rekening. Adapun bank mitra yang mengelola rekening tabungan dan semua kegiatan perbankan. Outlet mitra penyelenggara telekomunikasi juga bisa berfungsi sebagai loket teller (cashin /cash-out) dari bank mitra tersebut.

Dalam pengembangannya, deposit e-bank yang secara rata-rata lebih dari Rp20.000 dapat juga digunakan untuk membayar belanja-belanja kecil (micro-payment) dan sebagian lagi disetor ke rekening tabungan melalui sistem virtual banking. Misalnya setiap Minggu Rp5.000-10.000 atau lebih. Hanya, agar program itu berhasil diperlukan penyediaan infrastruktur jaringan telekomunikasi di seluruh wilayah NKRI.

Dengan fasilitas jaringan yang memadai dan dengan cakupan luas, semua pelanggan telepon seluler yang unbanked di remote & rural area dapat difasilitasi untuk memiliki rekening tabungan. Bahkan dengan e-bank, mereka bisa melakukan micro-payment atau pun remitten secara mudah. Dengan rekening tabungan itu pula, mereka dapat terlibat dalam kegiatan perbankan dan membiayai pembangunan.

Secara individu mungkin nilai nominalnya relatif kecil, namun melihat potensinya yang besar maka secara akumulatif nasional jumlah totalnya pasti akan sangat besar. Hanya dengan cara inilah program Financial-Inclusion dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Semoga pemerintah RI 2014-2019 bisa memprioritaskan ini di tahun pertama pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar