Rabu, 04 Juni 2014

Nakhoda Baru dan Arah Indonesia

Nakhoda Baru dan Arah Indonesia

Bambang Soesatyo  ;   Anggota Komisi III DPR RI,
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
KORAN SINDO,  03 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kalau hasil pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 nanti konstitusional, satu dari dua nama ini, Prabowo Subianto atau Jokowi Widodo, menjabat presiden RI periode 2014– 2019. Ke arah mana republik akan melangkah? Rakyat harus menunggu sinyal dari pemimpin terpilih.

Satu yang sudah pasti, tantangan ke luar maupun ke dalam sama beratnya. Sabtu (31/5), Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Prabowo Subianto- Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014. KPU membuat ketetapan itu setelah kedua pasangan dinyatakan lolos verifikasi, dan dituangkan dalam keputusan KPU No 453/KPPS/KPU Tahun 2014 tentang penetapan calon presiden dan calon wakil presiden pemilihan umum tahun 2014. Masuk akal jika berbagai kalangan memastikan Pilpres 2014 hanya berlangsung satu putaran, karena hanya diikuti dua pasangan calon. Fakta ini melegakan karena Pilpres 2014 bisa menjadi lebih hemat biaya.

Pun, kepastian tentang kepemimpinan nasional yang baru segera terwujud, sehingga energi nasional bisa segera dialihkan untuk menggerakkan kegiatan-kegiatan yang secara ekonomi lebih produktif. Hari-hari ini, seluruh rakyat Indonesia akan disuguhi tontonan kegiatan kampanye masing- masing pasangan caprescawapres. Juga diselingi debat antarcapres dan antarcawapres maupun debat antartim sukses. Dari kampanye dan debat itu, rakyat hanya akan mendengarkan janji-janji. Tidak ada janji yang bakal merugikan rakyat. Semuanya bisa meninabobokan.

Apakah janji-janji pasangan capres-cawapres itu akan diwujudkan nantinya? Waktulah yang akan membuktikan. Ke arah mana Republik Indonesia akan melangkah di bawah kepemimpinan nasional yang baru? Masing-masing figur capres sudah memberi sinyal atau kecenderungan sejak mereka mendeklarasikan posisinya. Namun, harus diakui bahwa segala sesuatunya masih samar-samar, dan sinyal- sinyal itu nyaris spontanitas belaka. Mungkin karena kedua figur capres belum diberi kesempatan untuk memaparkan visi-misi masing-masing.

Kalaupun pada akhirnya dua figur capres itu menggelar visimisi masing-masing, tidak akan ada kejutan karena persoalan kebangsaan dan kenegaraan terkini sudah menjadi pengetahuan umum alias tidak ada yang baru. Pertanyaan dari komunitas pemilih adalah bagaimana kedua capres akan mengatasi ragam persoalan yang sedang menyelimuti bangsa hingga saat ini. Oleh karena itu, daripada sekadar menebar janji tanpa konsep, lebih baik kedua figur capres menugaskan tim sukses masing-masing merumuskan aneka persoalan itu sesuai persepsi masing-masing kubu capres.

Jangan memahami persoalan dari permukaannya saja. Harus dilakukan pendalaman untuk memahami setiap persoalan. Dengan begitu, identifikasi persoalan jangan hanya sektoral, tetapi mencakup subsektor agar pemahamannya lebih komprehensif. Setelah aneka persoalan itu dipotret dengan mendetail, rumuskan pula strategi jalan keluar untuk mengatasi persoalan-persoalan itu. Pada tahap ini, keterlibatan para pakar dan praktisi di sektor atau subsektor bersangkutan amat relevan, karena mereka lebih memahami kondisi dan fakta di lapangan. Rumusan persoalan dan rumusan jalan keluar itulah yang menjadi bahan dasar capres-cawapres serta tim sukses menyuarakan visi-misi.

Dari situ, akan terbangun persepsi yang sama atau seragam, sehingga dalam adu argumentasi atau promosi program di berbagai kesempatan dan forum, materi yang dimunculkan tidak signifikan perbedaannya. Rumusan persoalan perlu disosialisasikan lagi sebagai penyegaran, sementara rumusan jalan keluar idealnya menjadi penawaran dari capres yang diharapkan bisa memikat pemilih.

Persoalan Lama

Jadi, kalau seorang capres yakin dan berjanji bisa mewujudkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan potensi dalam negeri, dia harus mampu menjelaskan bagaimana janji itu bisa diwujudkan. Dan kalau capres bertekad menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM), dia harus mampu meyakinkan warga miskin bahwa kebijakannya itu tidak akan menyengsarakan mereka. Artinya, dia harus menawarkan subsidi lainnya sebagai substitusi kepada warga miskin.

Demikian juga ketika capres berjanji akan mengakselerasi pembangunan infrastruktur yang menelan biaya sangat besar itu. Karena pemerintah butuh partisipasi modal swasta, lokal, maupun asing, sang capres tentu saja harus menunjukkan kapabilitas dan kredibilitas dalam memobilisasi dana untuk akselerasi pembangunan infrastruktur. Karena forumnya adalah kampanye atau debat, tentu saja pemaparan strategi pembangunan itu tidak harus rinci. Terpenting, pemilih yakin bahwa capres memahami aneka persoalan dengan komprehensif dan menawarkan jalan keluar.

Kesan ini perlu ditumbuhkan agar publik tidak lagi berasumsi capres-cawapres sekadar janji tanpa memahami persoalan. Sebagian besar pemilih Indonesia sudah paham bahwa ada begitu banyak pekerjaan yang akan dihadapi presiden terpilih. Beberapa di antaranya terbilang sensitif. Agenda paling utama adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Termasuk dalam agenda ini adalah program nyata memperbaiki kualitas hidup warga miskin, mengelola ketersediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, memperkecil ketimpangan pendapatan, penyediaan rumah layak huni, jaminan kesehatan dan pendidikan.

Target membenahi pengelolaan anggaran juga masuk kategori sensitif karena menyentuh isu subsidi. Dalam beberapa tahun terakhir, subsidi BBM terus menggelembung sehingga menurunkan peran APBN sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Sudah barang tentu presiden terpilih ditantang menghapus atau mengurangi subsidi BBM. Pemilih juga akan menyimak sikap dan komitmen capres terhadap pemberantasan korupsi.

Tidak sekadar mendukung, pemilih pada dasarnya berharap presiden berani mengambil inisiatif mencegah dan memberantas korupsi di tubuh birokrasi pemerintah pusat maupun daerah. Hingga kini, publik melihat bahwa pemerintah cenderung pasif, dan menyerahkan kerja pemberantasan korupsi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, pemilih juga ingin tahu bagaimana capres menyikapi keterbatasan infrastruktur pada begitu banyak daerah di luar Jawa.

Tak perlu ditutup-tutupi lagi bahwa selama ini ada kecemburuan, sejumlah daerah merasa dinomorduakan. Capres hendaknya segera merespons masalah ini, karena potensi ekonomi daerah sulit dikembangkan jika tidak didukung infrastruktur yang memadai. Itulah beberapa tantangan strategis yang bersumber dari dalam negeri. Lantas apa saja tantangan dari luar yang perlu diantisipasi kedua figur capres? Paling dekat adalah dimulainya penyatuan ekonomi ASEAN pada 2015 mendatang.

Dalam konteks ini, persoalannya adalah seberapa kuat daya saing Indonesia menghadapi perkembangan industri di negeri-negeri tetangga. Kalau tidak kompetitif, Indonesia hanya menjadi pasar bagi produk negeri tetangga. Bagi sejumlah raksasa industri, Indonesia tampaknya belum kondusif sebagai tujuan investasi. Kendati menjadi pasar yang sangat menguntungkan bagi produsen telepon seluler, Indonesia tidak dipilih sebagai basis produksi. Produsen BlackBerry memilih Malaysia, sementara Samsung sudah memilih Vietnam sebagai basis produksi.

Presiden terpilih bersama kabinetnya tentu harus merumuskan strategi baru untuk menjadikan Indonesia tujuan investasi. Sebagai pasar dengan jumlah konsumen yang demikian besar, mestinya bisa mendatangkan banyak investasi dari luar. Indonesia mungkin tidak bisa terus-menerus menoleransi perilaku pemain besar seperti BlackBerry dan Samsung yang hanya cari untung, tanpa niat sedikit pun mengapresiasi masyarakat Indonesia yang telah berkontribusi menjaga eksistensi mereka.

Memang, rakyat Indonesia sudah paham bahwa bagi presiden terpilih, tantangan ke dalam maupun ke luar sama-sama berat. Kalau kedua capres berjanji akan merespons rangkaian masalah tadi, dari mana memulainya? Mungkin, presiden terpilih nanti tidak saja perlu membuat dan menunjukkan skala prioritas, namun juga harus mampu dan berani memerintah. Bukan menunggu perintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar