Kenapa
Dolly Harus Ditutup?
Restoe
Prawironegoro Ibrahim ; Budayawan,
Alumnus
Bengkel Muda Surabaya, Kini berdomisili di Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 31 Mei 2014
Irama
musik berbagai aliran mengalun dengan keras di beberapa wisma, para GM
(gamblang makelar) menawarkan jasanya kepada setiap lelaki yang lewat di
depan wisma tersebut. Itu adalah gambaran aktivitas di Dolly, sebuah
lokalisasi di Surabaya.
Penghuni
Dolly, rata-rata dari beberapa daerah seperti Malang, Trenggalek, Kediri.
Sedang mereka yang berasal Surabaya, bekerja di Dolly dengan model “paruh
waktu” atau freelance.
Potret
di atas kini hanya tinggal kenangan. Dolly akhirnya ditutup oleh Pemerintah
Kota (Pemkot) Surabaya. Meskipun diwarnai pro dan kontra, Wali Kota Surabaya,
Tri Rismaharini ngotot dolly segera
ditutup pada 19 Juni 2014.
Alasannya,
realitas sosial yang ditangkap di lokalisasi tersebut membuat anak-anak kerap
menjadi korban. Banyak perempuan di bawah umur yang dipekerjakan, padahal
masih dalam usia sekolah. Begitu sumber media menuliskannya.
Berbicara
soal lokalisasi pelacuran Kota Surabaya, kita harus mengenal lebih dulu dari
mana datangnya bisnis seks ini. Pada 1882, pertama kali di Kota Surabaya
muncul pelacuran sebuah rumah bordil yang bernama Bandara.
Lokasinya
terletak di Jalan Jakarta, penghuninya cuma sembikan
mucikari. Terjadilah pengoperasian pembersihan, akhirnya para mucikari banyak
berlarian ke sebuah kampung bernama Kremil, Bangunrejo, dan Dupak.
Diakui
atau tidak, lokalisasi prostitusi kerap menjadi pemicu pembangunan. Seperti
Kupang Gunung Timur, yang dulu masih tanah kuburan akhirnya “disulap” menjadi
lokalisasi pelacuran, kemudian berkembang.
Lokasinya
yang sangat berdekatan dengan perkampungan warga dan berhimpitan dengan
masjid maupun langgar memang memengaruhi kehidupan sosial warga sekitar.
Karena ini, saya setuju sekali dengan pernyataan Tri Rismaharani, harus ada
antisipasi dampak luas tersebut.
Dengan
harapan, semua ulama maupun tokoh agama mengerti alasan Tri Rismaharani
cepat-cepat menutup bisnis seks sebelum puasa.
Di sisi
lain, menutup lokalisasi pelacuran tidak segampang yang dibayangkan, seperti
“menggusur” tempat orang berdagang di kaki lima. Inilah yang perlu diberi
pendekatan rohani, jasmani, maupun hukum.
Ini
memang tugas yang sangat penting sekali, bukan hanya bagi Risma. Tapi juga
bagi semua warga Surabaya, agar bisa membantu Walikota. Memang, menyoal
pelacuran, banyak yang berargumen bahwa inilah kodrat alam, bahwa Tuhan
menciptakan sorga dan neraka. Masing-masing mempunyai fasilitator, karena
perlakuan seseorang dengan kapasitasnya yang ada.
Kalau
ada pemerintah daerah yang memberikan kebijakan kepada lokalisasi, berilah
solusi yang terbaik bagi para pekerja seks komersial tersebut.
Asal Nama Dolly
Dolly
adalah sebuah potret pelacuran yang awalnya “sangat” sulit digusur maupun
ditutup, apalagi untuk diungsikan ke tempat lain, meski memang sangat
berdekatan dengan perkampungan sekitar.
Awalnya,
Dolly cuma sebuah pekuburan Tionghoa, berupa tanah kosong. Tiba-tiba saja,
muncul sosok bernama Dolly. Ia seorang perempuan yang mempunyai perangai
seperti laki-laki, tomboy.
Sebelum
berubah seperti laki-laki, Dolly masih sempat berumah tangga dengan laki-laki
idamannya. Dalam perkawinanya, Dolly membuahkan seorang putra bernama Edy. Ia
juga mengambil anak angkat bernama Bambang. Akhirnya, Dolly berusaha
pelacuran. Ia mengangkat mucikari yang berasal dari Kampung Semolosewu. Di
sinilah mulai dengan sebutan “Papi Dolly”, namanya terangkat. Ia mengelola
satu wisma bernama Mamamia.
Tak
lama, dibangun sebuah wisma bernama Barbara
yang dikelola orang keturunan Belanda, di lokasi itu. Muncul kemudian Wisma
TKT dan Sembilan Belas. Akhirnya, jadilah perkampungan itu menjadi nama Gang
Dolly pada awal 1970.
Dalam
perkembangannya, Dolly memang tidak pernah sepi dari orang-orang yang
berkunjung ke sana. Padahal, banyak tumbuh lokalisasi lain, seperti
Moroseneng, Bangunsari, Kremil, Lasem, dan Rembang. Ada pula kompleks
pelacuran yang bernama “Jarak” sebagai tempat “hijrah” lelaki hidung belang.
Dalam
sejarahnya, tak ada orang yang berani “menutup”nya. Pihak yang berwenang pun
tidak pernah memberikan satu kebijakan tegas soal ini. Bahkan pengaruh Dolly
seakan dikukuhkan lewat pemberitaan media .
Dan,
Dolly mengukukuhkan diri sebagai tempat pelacuran high class. Namun, kini, riwayatnya ada di tangan seorang
perempuan bernama Tri Rismaharani. Selamat
Bu Risma! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar