Anak-anak
Bagja
Hidayat ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
02 Juni 2014
Anak-anak
adalah tempat bergantungnya kecemasan dan ketakutan para orang tua. Tuhan
mengedutkan rabu tiap janin sebagai sebuah pesan. Ia belum jera dengan
manusia. Tapi di titik itulah beban pada setiap bayi dimulai. Ia akan
menempuh takdir, membuat pilihan, sekaligus menanggung harapan dari luar
dirinya sendiri. Dan ini "bulan anak-anak" di abad ke-21, sebuah
masa yang kian rumit dan tak terduga-masa depan tak cukup hanya direncanakan.
Gandhi
sekalipun menentang seorang anaknya menikah di usia 18 tahun, meski ia
sendiri kawin lebih muda dari itu. Sang Mahatma cemas anaknya menempuh
pergulatan batin yang akan memelencengkannya jadi orang suci. Tak aneh jika
istrinya menolak cara Gandhi mendidik anak-anaknya: jangan paksa mereka
menjadi orang zuhud sebelum waktunya.
Anak-anak
melihat pertentangan-pertentangan yang diciptakan para orang tua. Mereka
melihat bagaimana orang tua-orang tua membentuk dunia yang mereka inginkan.
Orang-orang dewasa menciptakan mainan, seolah anak-anak adalah bentuk orang
dewasa yang lebih kecil. Mereka membuat miniatur traktor, mobil truk,
pesawat, dengan harapan anak-anak berimajinasi tentang dunia orang dewasa.
Anak-anak tak didorong mencipta mainan-mainan sesuai dengan imajinasinya.
Pilihan,
harapan, kebutuhan yang diciptakan, itulah yang membuat hidup kian sempit.
Para cerdik-cendikia membuat pepatah: hiduplah dengan mimpi karena mimpi
adalah sebermula hidup yang dahsyat. Betapa ganjil kalimat ini. Mimpi itu
bukankah justru akan membatasi kita membuat hidup menjadi dahsyat? Tapi
itulah tabiat para orang tua, seperti Daedalus.
Ia
khawatir Ikarus, anaknya, celaka karena keinginannya terbang menembus langit
dan melihat dunia yang tak bisa ia jangkau dengan dua kaki. Daedalus cemas
oleh keinginan anaknya yang mustahil, meski ia toh ikut membantu juga membuat
sayap untuk anaknya. Berhari-hari mereka mengumpulkan bulu angsa, lalu
merakitnya. Dengan gagal dan coba-coba, sayap itu jadi juga.
Ikarus
pun terbang. Ia memuaskan keingintahuannya, sekaligus menentang kecemasan
ayahnya. Lalu ia terbuai. Anak tampan yang selalu ingin tahu ini terus
terbang hingga lupa akan ketinggian. Panas matahari membakar lilin-lilin itu
hingga sayap angsanya merotol satu per satu. Ikarus jatuh dan tak tahu jalan
pulang. Maka, dalam mitos ini, kecemasan orang tua terbukti. Ketakutan para
orang tua mengalahkan imajinasi anak-anak.
Di titik
itulah konflik dimulai: setiap anak
yang ingin bebas itu terbatasi oleh ketakutan di luar dirinya. Ia akan
menyerap ketakutan itu menjadi ketakutan dirinya sendiri, menjadi logikanya
sendiri. Saat jatuh itu Ikarus menemukan kebenaran atas kecemasan dan
ketakutan Daedalus. Sejarah logika manusia pun turun-temurun dengan cara itu.
Logika Daedalus telah menjadi logika Ikarus. Dan, barangkali, mitos ini juga
diciptakan oleh-dan memakai kacamata-Daedalus, para orang tua.
Karena
itu, sejarah sering kali terasa berulang. Manusia menempuh
kesalahan-kesalahan yang sama, mencari kebenaran-kebenaran yang itu juga.
Pertanyaan paling purba yang terus-menerus bergaung adalah manakah yang
benar: sejarah yang menuntun manusia
atau manusia yang menciptakan sejarah? Jawabannya mungkin datang dari anak-anak,
mereka yang menanggung kecemasan dan ketakutan para orang tua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar