Zimbabwe, Malawi, dan FCTC
Kartono Mohamad ;
Mantan Ketua PB IDI
|
KOMPAS, 12 Maret
2016
Beberapa bulan yang
lalu Zimbabwe menandatangani Konvensi tentang Kerangka Kerja Pengendalian
Tembakau yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia. Zimbabwe merupakan
negara ke-180 dari 194 anggota WHO yang mengaksesi FCTC.
Indonesia perlu bangga
karena ikut aktif merumuskan isi Konvensi tentang Kerangka Kerja Pengendalian
Tembakau (FCTC) yang sekarang sudah diterima sebagian besar negara di dunia.
Tinggal beberapa negara kecil, seperti Andorra, Liechtenstein, Monako, dan
beberapa negara terbelakang, seperti Somalia, Sudan Selatan, dan Indonesia
yang belum mengaksesi.
Kasus Zimbabwe dan
Malawi menarik karena kedua negara itu merupakan penghasil tembakau terbesar
di Benua Afrika. Penghasilan ekspor tembakau menempati posisi pertama dalam
penghasilan devisa. Indonesia mengimpor tembakau antara lain juga dari
Zimbabwe.
Pada awalnya Zimbabwe
enggan menandatangani FCTC karena mengira akan menekan kepentingan
ekonominya. Berkat guyuran dana yang besar dari Phillip Morris dan BAT,
mereka terbujuk menolak FCTC. Persatuan petani tembakau Zimbabwe pada awalnya
meminta agar pemerintahnya tidak menandatangani FCTC. Namun, kemudian Menteri
Pertanian Zimbabwe mampu menyadarkan presidennya agar menandatangani FCTC.
Mungkin karena melihat
bahwa Tiongkok, Brasil, dan Malawi, pesaing terbesar Zimbabwe dalam produksi
tembakau, sudah lama ikut FCTC dan tetap berjaya dalam pasar tembakau
internasional, Zimbabwe merasa terkucilkan. Tidak dapat memperjuangkan
kepentingannya ketika negara-negara anggota FCTC berbicara tentang pertanian
tembakau. Akhirnya pada 2013 Ketua Perhimpunan Petani Tembakau Zimbabwe Gavin
Foster justru mendesak pemerintahnya agar menandatangani FCTC ”sehingga kita
dapat membela kepentingan pertanian tembakau Zimbabwe”.
Berbeda lagi dengan
Malawi, yang produksi tembakaunya nomor empat sesudah Tiongkok, Brasil, dan
Amerika Serikat (Indonesia menduduki nomor tujuh atau delapan, di bawah
Turki). Sejak awal aliansi petani tembakau mereka mendesak agar Malawi ikut
menandatangani FCTC. Berjuang dari dalam akan lebih baik daripada
berteriak-teriak sendirian di luar. Dalam praktik, wakil Tiongkok dalam
sidang-sidang mitra FCTC memang gigih memperjuangkan kepentingan pertanian
tembakau mereka.
Tanaman substitusi
Sebagaimana diketahui,
dalam FCTC memang disepakati bahwa untuk mengurangi suplai rokok, setiap
negara berkewajiban mencarikan tanaman substitusi bagi petani tembakau yang
ingin alih tanam. Wakil Tiongkok dalam sidang mitra bukannya tidak setuju
dengan anjuran alih tanam itu, tetapi mengusulkan agar dilakukan dengan
hati-hati dan sejalan dengan menurunnya jumlah perokok di dunia. Dan,
mengharapkan negara besar ikut mendanai program alih tanam itu.
Bagaimanapun juga
negara-negara penghasil tembakau itu sadar bahwa semakin maju penduduk
sebuah negara, semakin kecil jumlah perokoknya. Dan, negara yang bukan mitra
FCTC tentu tidak akan berkesempatan diajak bekerja sama dalam program semacam
itu. Karena itu, Zimbabwe akhirnya mengaksesi FCTC di akhir 2014.
Berbeda dengan
Zimbabwe, asosiasi petani tembakau Malawi sejak awal sudah mendukung
pemerintahnya agar menandatangani FCTC. Dalih mereka sama, ”akan lebih baik
berjuang di dalam daripada dari luar”. Karena itu, Malawi seperti
negara-negara penghasil tembakau lainnya sudah sejak awal bergabung dalam
mitra FCTC. Di sana tidak ada yang mengatakan bahwa FCTC adalah untuk
kepentingan negara-negara besar, atau semacam proxy war untuk menghancurkan
ekonomi negara kecil.
AS sendiri semula tak
mau menandatangani FCTC. Bukan karena khawatir pertanian tembakaunya akan
mati, atau takut ekonominya akan dihancurkan oleh ”negara besar”, tetapi
lebih untuk melindungi industri rokoknya. Kalau banyak negara yang
mengendalikan konsumsi rokok bagi penduduknya, industri rokok raksasa mereka
terancam meskipun di dalam negerinya sendiri konsumsi rokok dikendalikan.
Dalam 20 tahun terakhir, jumlah perokok Amerika menurun dari 40 persen
tinggal 18 persen dan ditargetkan akan tinggal 10 persen pada 2020. Baru pada
2006 Presiden Barack Obama menandatangani FCTC.
Mereka masih untung
karena di dunia ini masih ada negara berpenduduk besar yang masih menyediakan
rakyatnya konsumen rokok. Bahkan, kedatangan industri rokok asing yang di
negaranya sudah mengalami kesulitan disambut dengan tangan terbuka. Dampaknya
buruk bagi mutu hidup rakyatnya, tak jadi kepentingan para pemimpinnya,
dan para kapitalis asing itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar