Menurunkan Suku Bunga Bank
Anwar Nasution ; Guru
Besar Emeritus Fakultas Ekonomi UI
|
KOMPAS, 18 Maret
2016
Dapat dipahami
kerisauan pemerintah akan tingginya tingkat suku bunga bank di Indonesia yang
dewasa ini tertinggi di ASEAN. Tingkat suku bunga yang tinggi tersebut
mengganggu daya saing dunia usaha untuk bersaing di pasar regional dan
internasional, apalagi memasuki komunitas ekonomi ASEAN yang tidak lama lagi
akan dimulai. Suku bunga yang tinggi tersebut sekaligus memberatkan beban pengeluaran
negara untuk melunasi Surat Utang Negara.
Pada tahun 1998-1999,
pemerintah mengeluarkan Surat Utang Negara (SUN) untuk menambah modal bank
nasional yang telah bangkrut dilanda krisis ekonomi pada masa itu dan
membersihkan bukunya dari kredit bermasalah. Setelah reformasi tahun 1998,
negara-negara donor asing tidak lagi memberikan jumlah pinjaman dan bantuan
lunak dengan jangka waktu pelunasan panjang seperti pada masa Orde Baru.
Selama 32 tahun usianya, Orde Baru membelanjai defisit APBN dengan pinjaman
lunak dari konsorsium negara-negara donor Barat (IGGI).
Menutup defisit APBN dengan SUN
Sejak tahun 1989,
setiap tahun pemerintah terpaksa menjual SUN berbunga pasar yang mahal,
dengan jangka waktu yang lebih pendek, di pasar uang dalam negeri dan luar
negeri untuk menutup APBN. Bunga surat utang luar negeri menjadi semakin
meningkat berkenaan dengan berakhirnya kebijakan pemompaan likuiditas (quantitative easing) Bank Sentral
Amerika Serikat yang menaikkan tingkat suku bunga internasional.
SUN dalam negeri
dinyatakan dalam rupiah dan untuk melunasinya kembali pemerintah perlu
memupuk surplus anggaran. Di lain pihak, untuk bisa melunasi utang luar
negeri, selain memiliki surplus anggaran, pemerintah juga perlu memupuk
cadangan luar negeri karena kreditor luar negeri hanya mau menerima
pembayaran utang dalam bentuk mata uang asing, terutama dollar AS. Pada
gilirannya, cadangan luar negeri dipupuk dengan meningkatkan ekspor,
meminjam, menjual aset negara kepada pemodal asing dan mengundang pemasukan modal
jangka panjang.
Untuk meningkatkan
penerimaan negara, pemerintah perlu memperbaiki administrasi perpajakan yang
sangat parah keadaannya pada saat ini. Buruknya administrasi pajak itu
menyebabkan rendahnya rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto
yang setelah 70 tahun Indonesia merdeka masih pada tingkat 12-13 persen.
Perbaikan administrasi
pajak itu merupakan bagian dari perbaikan sistem hukum. Undang-undang serta
aturan perpajakan merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Di tengah penerimaan
pajak yang rendah itu, pemerintah Jokowi justru menawarkan amnesti kepada
para penggelap pajak, tetapi Nawacita-nya mengumbar berbagai program sosial
yang sangat mahal.
Sementara itu, Bank
Tabungan Pos (BTP) perlu dibangun kembali agar dapat memobilisasi dana
tabungan masyarakat melalui tabungan pos dan penjualan polis asuransi jiwa.
Dengan memanfaatkan jaringan kantor pos yang telah tersebar hingga ibu kota
kecamatan, mobilisasi tabungan nasional melalui BTP jauh lebih mudah dan
murah biayanya daripada membangun industri asuransi dan dana pensiun. Seperti
di Jepang, dana BTP dapat digunakan untuk memperkuat APBN menyerap SUN,
membangun infrastruktur, dan membantu permodalan usaha skala kecil dan
menengah.
Dua cara menurunkan suku bunga
Dewasa ini, ada dua
cara yang dapat digunakan pemerintah untuk menurunkan tingkat suku bunga.
Pertama, berpegang pada rumus John Taylor dari Universitas Stanford yang
menjadi acuan kebijakan moneter sejak program Dana Moneter Internasional
(IMF) tahun 1997 yang terus dipertahankan hingga saat ini. Cara kedua adalah
meliberalisasi industri perbankan guna mengakhiri monopoli kelompok empat
bank-bank pemerintah dan 25 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang sangat tak
efisien dan tidak sehat dewasa ini. Cara yang dipilih pemerintah untuk
memaksa bank-bank menurunkan tingkat suku bunga dan margin keuntungan adalah
tidak tepat dan mirip kebijakan represif Orde Baru yang bertolak belakang
dengan mekanisme pasar.
Seperti halnya dengan
bank sentral di Jerman dan Uni Eropa, UU Bank Indonesia Tahun 1998 telah
memberikan status otonomi pada Bank Indonesia (BI) untuk memelihara
keseimbangan internal dan eksternal perekonomian. Mulai tahun 1990, BI
menggunakan inflation targeting (IT) dalam kebijakan moneternya, yakni untuk
mencapai suatu target inflasi inti tertentu yang ditentukannya sendiri.
Inflasi inti diukur berdasarkan indeks harga yang biasa digunakan Badan Pusat
Statistik untuk mengukur inflasi dengan mengeluarkan bahan makanan serta
barang-barang yang harganya disubsidi dan dikontrol pemerintah. Harga bahan
makanan dipengaruhi kondisi iklim dan cuaca, sedangkan harga komoditas yang
dikontrol pemerintah dipengauhi oleh kebijakan pemerintah dan bukan oleh
kebijakan moneter BI.
Melalui stabilisasi
internal, bank sentral sekaligus menstabilisasi neraca pembayaran luar negeri
dan kurs devisa. Upaya untuk menumbuhkan perekonomian dan menciptakan
lapangan kerja merupakan kombinasi antara kebijakan moneter, fiskal, dan
reformasi perekonomian termasuk korporatisasi BUMN. Dua kebijakan yang
disebut terakhir merupakan kewenangan pemerintah.
Mekanisme operasional
dari IT dilakukan melalui penetapan tingkat suku bunga acuan yang diukur
berdasarkan rumus yang disusun John Taylor dari Universitas Stanford. Menurut
rumus itu, BI menetapkan tingkat suku bunga acuannya berdasarkan (i) tingkat
suku bunga riil keseimbangan jangka panjang, (ii) kesenjangan tingkat laju
inflasi, dan (iii) kesenjangan pendapatan nasional. Kesenjangan tingkat laju
inflasi merupakan perbedaan antara tingkat laju inflasi yang sebenarnya
terjadi dan target yang ditetapkan oleh bank sentral. Kesenjangan pendapatan
nasional merupakan selisih antara realitas pendapatan nasional yang dicapai
dan potensinya.
Efisiensi bank
Karena tingkat suku
bunga riil jangka panjang dianggap konstan, perubahan suku bunga acuan jangka
pendek hanya dipengaruhi kesenjangan inflasi dan pendapatan nasional.
Berbagai negara maju, dewasa ini, menurunkan tingkat suku bunga menjadi
negatif karena terus-menerus terjadi deflasi atau penurunan tingkat harga di
negaranya. Selain itu, tingkat laju pengangguran tenaga kerja juga tetap
tinggi yang mencerminkan masih tingginya potensi pertumbuhan ekonominya.
Sebaliknya, di Indonesia, tingkat laju inflasi tetap tinggi dan pengangguran
tenaga kerja juga tinggi karena kurangnya barang modal sebagai alat kerja
ataupun karena kurangnya keterampilan serta pendidikan.
Cara yang paling mudah
untuk menurunkan tingkat suku bunga bank di Indonesia dewasa ini adalah
dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas bank-bank pemerintah, baik
milik negara maupun BPD. Hal itu dapat dilakukan dengan mengakhiri kebijakan
yang memberikan hak monopoli kepada mereka untuk menyimpan kekayaan finansial
dan menyelenggarakan transaksi keuangan sektor pemerintah termasuk BUMN/BUMD.
Kelompok bank
pemerintah itu kini menguasai lebih dari separuh pasar industri perbankan.
Karena mengalami represi finansial selama 32 tahun Orde Baru, operasi
kelompok bank-bank negara tidak berbeda dengan kas negara. Pada waktu itu,
dana kredit bank-bank pemerintah disediakan oleh negara dan semua risiko bank
(kredit, operasional, dan pasar) diambil alih oleh negara ataupun perusahaan
asuransi kredit milik negara.
Pimpinan BUMN dan
bank-bank pemerintah ditunjuk oleh Menteri Negara BUMN berdasarkan kolusi,
korupsi, dan nepotisme (KKN). Dua orang Batak yang dipercaya Citibank menjadi
CEO di Jakarta dan di luar negeri tidak laku di mata Menteri Negara BUMN
untuk memimpin bank-bank negara. Penjualan sebagian saham BUMN tidak
memengaruhi tata kelolanya karena pemerintah tetap memegang golden share yang dapat menetapkan
pimpinan dan kebijakan operasional BUMN. Biaya operasional bank pemerintah
terlalu besar karena organisasinya yang terlalu besar, kantor cabang dan
karyawannya di dalam negeri terlalu banyak. Di luar Indonesia, bank-bank
negara hanya mampu bersaing dengan Western Union mengirim remittances TKI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar