Memajukan Dunia Riset Kita
Elfindri ; Profesor Ekonomi SDM dan Sekretaris Majelis
Riset DPT
|
KORAN SINDO, 14 Maret
2016
Menarik memang apa
yang dilansir oleh Richard Horton. Chief editor jurnal Lancet edisi 27
Februari 2016. Beliau menulis masa pasang-surut dunia riset kesehatan dan
kedokteran Indonesia.
Padahal tahun 1960-an
saja, FK UI saja dosennya telah mampu menembus jurnal internasional sekelas
Lancet. Tentu ini tidak saja berlaku pada dunia kesehatan dan kedokteran,
berlaku untuk semua bidang keilmuan yang ada di Indonesia. Salah satu
penjelasan beliau adalah kultur akademisi kita lebih suka berbicara,
dibandingkan dengan menulis.
Komunitas riset kita
tidak familier dengan bahasa ilmiah yang berlaku umum di dunia publikasi
internasional. Untuk membuktikannya memang mudah. Periksa saja jumlah
publikasi akumulasi dosen Indonesia. Indeks publikasi profesor saja pada 2012
tidak akan lebih dari 0,20. Artinya hanya 20% profesor yang memiliki
publikasi internasional. Sementara Malaysia sudah mencapai 1
jurnal/dosen/tahun dan dua jurnal/dosen/tahun di Jepang.
Atau periksa media
sosial, seperti WhatsApp (WA), Facebook, atau media sosial lainnya yang ada.
Ketika postingan akademik masuk, para anggota berlarian tidak banyak yang
mengomentari. Cerita selain akademik dalam WA dosen justru lebih menarik,
ketimbang cerita bagaimana dunia riset dapat dikembangkan.
Ketika penulis
berbicara dengan salah seorang dosen di York, UK akhir semester lalu, beliau
langsung menyatakan, “saya sudah senang”. Karena akhir semester ini sudah
memasukkan dua buah jurnal untuk direviu. Jadi jelas target publikasi menjadi
budaya akademik di negara di mana PT-nya sudah maju.
Akar Masalah
Tiga hal yang perlu
diperbaiki agar dunia riset kita maju. Pertama, sistem pendanaan riset yang
terikat dengan model penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sudah selayaknya
dipertimbangkan ulang. Dengan skema seperti ini, pundi-pundi penerimaan
negara kelihatannya secara terselubung diminta kepada perguruan tinggi yang
menjadi beban berat perguruan tinggi.
Selama ini formulanya
adalah besarnya dana riset sebanding dengan besarnya dana PNBP. Akibatnya
perguruan tinggi “terpaksa” meladeni pemenuhan unsur pemerataan, dengan
menerima mahasiswa banyak, ketimbang memajukan riset di perguruan tinggi
secara berkualitas dan meningkatkan kualitas.
Dosen-dosen muda
dipaksa mengajar banyak. Yang semula dua mata ajar, setara dengan 6 SKS,
kemudian ditugaskan mengajar tambahan di diploma 3. Padahal dosen muda mesti
merampungkan persiapan untuk studi lanjutan, persiapan bahasa Inggris, dan
ikut riset dengan dosen seniornya. Ini membuat tawaran mengajar memperoleh cash money yang menarik, ketimbang
menempuh dunia akademik yang berat di awal.
Akibatnya kultur dosen
untuk riset tidak terbangun. Kedua, skema riset dengan sistem sekarang lebih
mengutamakan capaian administratif ketimbang substansi hasil riset.
Skema-skema riset yang digabung secara nasional, masih umum sifatnya tidak
memecahkan bidang keilmuan di mana sebuah universitas menjadi kuat. Sebagai
pemeriksa proposal sejak 2010 dan pemonitor riset, terkesan pemenuhan unsur
administratif sangat menonjol.
Semua bukti autentik
diperlihatkan oleh dosen pemenang hibah. Namun ketika kita periksa publikasi,
buku ajar, paten, atau hilirisasinya, banyak yang mengelak dengan seharusnya
dijanjikan di awal penetapan pemenang riset. Dosen-dosen kita menjadi
“favorit” penyelenggara seminar domestik dan internasional.
Termasuk juga para
pengelola jurnal yang mencari dosen-dosen kita dan menawarkan publikasi, yang
ternyata jurnalnya banyak yang bodong. Seminarnya lebih kepada pemenuhan entertainment, karena proses reviu
dari pembicara sangat longgar.
Ketiga, adalah research center di perguruan tinggi
kita belum berkembang. Yang ada adalah lembaga penelitian, liason officer-nya
perguruan tinggi, yang mengurusi administrasi riset. Kontrak riset banyak
yang dilaksanakan secara individu. Padahal, sebuah riset mesti dikerjakan
lintas bidang dan jauh lebih baik hasilnya terinstitusionalisasi.
Research center tidak
berkembang, karena masing-masing dosen tidak membudayakan proses riset pada
sebuah institusi riset. Proses pembimbingan mahasiswa juga tidak berjalan
secara baik. Besar dugaan kegiatan seminar belum terlaksana secara baik. Ini
berdampak buruk pada suasana akademik yang terjadi di universitas-
universitas.
Jurnalnya juga tidak
berkembang dan sering mati pucuk setelah beberapa edisi terbit. Anehnya
prestasi menghasilkan jurnal, publikasi dalam bentuk jurnal, atau buku ajar,
tidak dijadikan sebagai sebuah penilaian bagi prestasi dosen. Akibatnya dosen
berpotensi hijrah untuk memburu jabatan nonakademik, sekelas rektor/dekan
atau pembantunya. Jarang yang mau melanjutkan riset doktoralnya setelah
kembali ke perguruan tinggi setempat.
Solusi
Dengan skema pendanaan
desentralisasi maka masih banyak ruang gerak yang dapat diusulkan untuk
memajukan riset di Indonesia. Pertama, perlu pengembangan skema dosen
peneliti inti di masing-masing jurusan. Mereka yang berstatus dosen peneliti
inti memperoleh mandat lebih kuat untuk menghasilkan riset akademik yang
bermutu. Kepada mereka dapat diberikan block
grant riset dengan sasaran akhir publikasi, buku ajar, atau paten.
Kedua, proses
penelitian dapat didorong lahir dalam research center/research group,
laboratorium di masing-masing universitas. Kelahiran research center yang
khas sangat membuat para dosen berafiliasi di research center. Proses pembimbingan mahasiswa pascasarjana dapat
terjadi di sana. Ini juga untuk menjaga agar terjadi sustainability proses
riset yang mumpuni.
Ketiga, para profesor
dapat memajukan research center
dengan terlebih dahulu menyusun payung penelitian yang strategis dalam jangka
panjang. Satu profesor dapat beranggotakan dua atau tiga doktor, serta
mahasiswa calon doktor atau mahasiswa program master yang turut serta secara full time di research center. Ketika tiga tahapan itu bisa dihasilkan dalam
pengembangan pendidikan tinggi, mungkin daya ungkit publikasi, buku ajar,
maupun paten membuat daya saing perguruan tinggi kita akan maju.
Orientasi pendidikan
tinggi sarjana sebaiknya diarahkan pada kualitas. Sementara untuk perguruan
tinggi yang tidak banyak risetnya, mandat pengajaran boleh lebih menonjol,
atau diarahkan untuk calon angkatan kerja yang terampil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar