Senin, 21 Maret 2016

Ingatan Bisa Keliru

Ingatan Bisa Keliru

James Luhulima  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 20 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam diskusi internal Penerbit Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, 10 Maret lalu, antara lain dibahas tentang ketiadaan naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966, yang lebih dikenal dengan nama Supersemar.

Diskusi yang menghadirkan pembicara sejarawan Asvi Warman Adam serta narasumber Daniel Dhakidae, penulis buku Menerjang Badai Kekuasaan, dan Aiko Kurasawa, penulis buku Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang, disebutkan, Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga naskah yang semula dianggap sebagai naskah asli (otentik) Supersemar. Namun, ternyata ketiga naskah itu dinyatakan bukan naskah yang asli.

Arsip Nasional RI menerima naskah itu dari Sekretariat Negara, dari Pusat Penerangan TNI AD, dan dari Yayasan Akademi Kebangsaan. Namun, Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Polri kemudian menyatakan, ketiga naskah itu tidak asli.

Arsip Nasional RI telah membentuk tim khusus untuk mencari naskah asli itu. Dan, dalam diskusi yang dipandu oleh wartawan senior Kompas Ninok Leksono, muncul pembahasan bahwa dalam biografi tokoh-tokoh yang berada di Istana Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 11 Maret 1966 sore, informasinya berbeda-beda.

Baik itu tentang jumlah lembar naskah Supersemar maupun cara ketiga jenderal Angkatan Darat, yakni Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal (TNI) Amir Machmud, dan Brigjen (TNI) M Jusuf, kembali ke Jakarta dari Istana Bogor. Ada yang menyebut, naskah Supersemar hanya satu lembar dan ada pula yang menyebutkan naskah itu terdiri atas dua lembar.

Dalam buku biografi ajudan Presiden Soekarno, Letnan Kolonel (KKO) Bambang Widjanarko, dirinya mengisahkan, ketiga jenderal Angkatan Darat itu menumpang mobilnya. Namun, dalam buku biografi salah seorang dari ketiga jenderal Angkatan Darat itu, disebutkan bahwa mereka menaiki mobil sendiri.

Mendengar pembahasan itu, ingatan segera melayang ke buku Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, 2015. Buku dengan editor Hendri F Isnaeni itu menyebutkan bahwa wartawan Kompas P Swantoro mengoreksi uraian Mohammad Hatta dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam buku itu, Mohammad Hatta menyebutkan bahwa kapal perang Inggris Cumberland yang membawa Laksamana Patterson berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta, pada 16 Agustus 1945. Namun, P Swantoro dalam surat kabar Kompas, 11 Februari 1970, mengutip surat kabar Berita Indonesia, 18 September 1945, dan beberapa sumber lain, menyebutkan bahwa kapal perang Inggris Cumberland yang membawa Laksamana Patterson masuk di Teluk Jakarta pada 15 September 1945.

Dalam tanggapannya, Mohammad Hatta mengatakan, "Saya mengucapkan terima kasih banyak atas koreksi itu. Koreksi semacam itu mendekatkan orang yang menuliskan ingatannya pada kebenaran sejarah." Ingatan memang bisa keliru, semakin jauh jarak waktu antara peristiwa dan penulisannya, semakin besar kemungkinan terjadinya kekeliruan.

Itu sebabnya, dalam tanggapan atas koreksi P Swantoro, Mohammad Hatta masih tetap penasaran. Ia bertanya, apabila kapal perang Cumberland baru tiba pertengahan September 1945 di Tanjung Priok, apakah tidak ada kapal lain yang sampai di Indonesia pada 16 Agustus 1945. Bantuan ahli sejarah perlu sekali bagi saya untuk menjernihkan ingatan saya..

Dokumentasi "Kompas"

Kembali ke soal naskah asli Supersemar, beruntung harian Kompas telah terbit sejak 28 Juni 1965. Itu sebabnya, Kompas sempat memuat salinan (copy) Surat Perintah 11 Maret 1966 secara utuh di halaman 3, Kompas, Senin, 14 Maret 1966. Mengapa baru dimuat tanggal 14 Maret 1966? Itu karena tanggal 11 Maret 1966 hari Jumat.

Oleh karena Supersemar baru ditandatangani di Istana Bogor malam hari, maka wartawan Kompas baru menerima salinan Supersemar pada hari Sabtu, 12 Maret 1966. Pada waktu itu, Kompas belum terbit pada hari Minggu, maka salinan Supersemar baru dapat dimuat pada Kompas, Senin, 14 Maret 1966.

Dalam berita utama (headline) halaman 1, Kompas, Senin, 14 Maret 1966, juga diabadikan bahwa dalam surat pelaksanaan Supersemar yang ditandatangani Letnan Jenderal Soeharto atas nama Presiden Soekarno, Soeharto menghilangkan klausul tiga dari Supersemar yang menyebutkan, supaya Soeharto "melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnya seperti tersebut di atas".

Dan, sejarah kemudian mencatat bahwa Soeharto menggunakan Supersemar untuk berbagai hal atas nama Soekarno, tanpa melaporkan segala sesuatunya kepada Soekarno.

Memang salinan itu bukanlah naskah yang asli. Namun, melalui salinan itu, orang dapat mengetahui isi naskah asli Supersemar. Untuk kebenaran sejarah, salinan naskah asli dapat digunakan untuk mengetahui isi yang sesungguhnya. Namun untuk keperluan arsip, memang diperlukan naskah asli.

Mempersoalkan keaslian kadang bisa jadi sulit. Contohnya, mempersoalkan naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Naskah itu awalnya tulisan tangan Soekarno lengkap dengan coretannya yang kemudian diketik sesuai naskah tulisan tangan Soekarno. Pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00, Soekarno membacakan naskah yang diketik. Lalu, orang mempersoalkan mana yang lebih asli, naskah dengan tulisan tangan atau yang diketik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar