Politik Penaklukan Teritorial Tiongkok
Steven Yohanes Polhaupesy ;
Peneliti The Habibie Center
|
KOMPAS, 12 Maret
2016
Ambisi Tiongkok menguasai teritorial perairan sekaligus
kepulauan di Laut Tiongkok Selatan kian agresif dan terkoordinasi di era
Presiden Xi Jinping.
Upaya penguasaan teritorial dilakukan dengan beragam cara: mulai
dari reklamasi pulau, membangun pelabuhan, landasan udara, hingga menempatkan
rudal dan radar yang diyakini mampu mendukung operasi militer bagi angkatan
laut dan udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) pada wilayah sengketa.
Upaya Tiongkok dalam penaklukan teritorial ini perlu dilihat
dengan mempertimbangkan kontestasi politik domestik Tiongkok sehingga
membentuk pola penaklukan teritorial. Dalam konteks ini, Tiongkok memiliki
pola politik penaklukan teritorial dengan cara memobilisasi patriotisme
Tiongkok melalui klaim sejarah, militerisasi wilayah penaklukan, dan
konsolidasi kepemilikan teritorial.
Mobilisasi patriotisme adalah upaya utama membangkitkan semangat
persatuan bangsa Tiongkok sejak era Mao Zedong hingga Xi Jinping, dan tidak
terpisahkan dari sejarah hilangnya kepemilikan teritorial Tiongkok. Makna
strategis mobilisasi patriotisme dengan klaim sejarah tidak hanya bermanfaat
untuk memobilisasi rakyat Tiongkok untuk mendukung perilaku politik
teritorialnya, juga sekaligus dapat memberikan legitimasi politik domestik
Tiongkok, khususnya di tengah rentannya instabilitas politik terkait dengan
melemahnya pertumbuhan ekonomi.
Klaim sejarah bukan merupakan hal yang baru dalam upaya
penaklukan teritorial seperti yang dilakukan dalam klaim kepemilikan Laut
Tiongkok Selatan (LTS). Keberhasilan Tiongkok dalam penaklukan teritorial
Tibet pada 1949 diawali dengan penggunaan klaim sejarah. Demikian pula dengan
sengketa kepemilikan Pulau Diaoyu/Senkaku, juga didasarkan oleh klaim
sejarah. Interpretasi klaim sejarah terbukti tidak hanya memberikan
legitimasi dan stabilitas politik domestik, juga meningkatkan posisi tawar
Tiongkok untuk menantang tata aturan yang berlaku dalam norma pergaulan
internasional. Dengan memobilisasi patriotisme rakyat, setidaknya stabilitas
politik domestik dapat menjadi aset mendukung politik teritorial Tiongkok
yang agresif terhadap negara lain.
Militerisasi teritorial
Penempatan radar dan rudal HQ-9 di kawasan LTS merupakan bentuk
militerisasi untuk mendukung kontinuitas politik penaklukan teritorial
Tiongkok. Selain diarahkan untuk dapat menguasai wilayah udara dan perairan
LTS, upaya militerisasi tersebut juga mengirimkan pesan politik yang
strategis Tiongkok.
Pertama, konteks militerisasi yang dilakukan setelah KTT
ASEAN-AS, Tiongkok bermaksud mengirimkan pesan bahwa mereka merupakan
kekuatan hegemoni di Asia Tenggara sekaligus ditujukan sebagai upaya
provokasi terhadap kemesraan hubungan AS-ASEAN. Kedua, militerisasi juga
mengindikasikan kesiapan kapabilitas PLA untuk mendukung ambisi politik
teritorial Tiongkok dan mengamankan wilayah maritim di LTS yang kaya potensi
ekonomi.
Menariknya, militerisasi teritorial akan semakin terintegrasi
dengan kebijakan pembangunan Tiongkok. Dalam proposal The 13th Five Year Development Plan 2016-2020—Repelita ala
Tiongkok—disebutkan akan adanya kemungkinan ekspansi geografis dalam
aktivitas kemaritiman Tiongkok. Artinya, kesiapan dan peningkatan kapabilitas
PLA dalam hal ini berkaitan erat untuk melindungi kepentingan ekonomi
Tiongkok, khususnya dengan sumber daya alam dan nilai strategis jalur
kelautan internasional yang terdapat di LTS.
Konsolidasi teritorial yang dilakukan Tiongkok tidak hanya menggunakan
pendekatan hard power melalui upaya
militerisasi teritorial yang bersengketa, tetapi juga menggunakan pendekatan soft power dengan cara memberikan
insentif ekonomi bagi negara di kawasan yang teritorialnya bersengketa.
Hard power dilakukan Tiongkok dengan memungkinkan teritorial
sengketa berintegrasi dengan wilayah bagian Tiongkok. Artinya, Tiongkok bisa
saja memasukkan teritorial yang dipersengketakan berada dalam pemerintah
provinsi Tiongkok, seperti halnya yang terjadi di Tibet ketika Tiongkok mendefinisikan
kembali luas dan batas wilayah Tibet melalui kebijakan otonomi khusus Tibet
di tahun 1965. Sejauh ini, upaya paling mungkin dilakukan pasca militerisasi
di beberapa pulau palsu di LTS adalah dengan mendeklarasikan air defense identification zone
(ADIZ). Namun, tak juga menutup kemungkinan bahwa Tiongkok akan memasukkan
kepulauan di Spratly dan Paracel di bawah pemerintah provinsi Tiongkok dalam
waktu mendatang.
Dalam konteks soft power, Tiongkok menawarkan insentif apabila
jadi kawan dan intimidasi apabila memilih menjadi lawan. Perlu dipahami juga
bahwa insentif dan intimidasi politik penaklukan teritorial Tiongkok
dilakukan pada negara-negara yang memiliki sengketa teritorial.
Pelajaran dari gagalnya konsensus ASEAN di tahun 2012 mengenai code of conduct (COC) LTS menjadi
gambaran bahwa konsolidasi teritorial dapat dilakukan melalui jalur
diplomasi. Aktifnya Asian
Infrastructure Investment Bank (AIIB) sebagai alternatif pendanaan
internasional bagi pembangunan infrastruktur semakin berpotensi menjadi alat
diplomasi Tiongkok untuk memperkuat konsolidasi politik teritorialnya.
Saat ini, prioritas utama Tiongkok adalah menyelesaikan tahapan
militerisasi dan memulai tahapan konsolidasi teritorial. Mobilisasi
patriotisme juga akan terus dilakukan untuk mengawal kepentingan Tiongkok
demi mendapatkan ambisi penguasaan teritorial di LTS.
Politik penaklukan Tiongkok seyogianya perlu menjadi perhatian
khusus dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu
lebih giat mendorong sentralitas ASEAN yang memberikan insentif bagi Tiongkok
untuk berkomitmen mematuhi norma di ASEAN dan hukum internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar