Senin, 21 Maret 2016

Tes Masuk PTN dan Utopia Pendidikan

Tes Masuk PTN dan Utopia Pendidikan

Ardhie Raditya  ;  Mengajar Pendidikan Kritis di Sosiologi Unesa;
Sedang studi doktoral di KBM UGM Yogyakarta
                                                      JAWA POS, 17 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

"SELEKSI Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM PTN) Bukan Yang Paling Ideal". Begitulah judul tulisan M. Hadi Shubhan di halaman opini Jawa Pos (14/3/2016). Isinya tanggapan atas tulisan Dinda Lisna Amilia di halaman yang sama (Jawa Pos, 11/3/2016). Tapi, tulisan Shubhan pun tak luput dari cacat bernalar. Tulisan ini mencoba menanggapi nalar tulisan Saudara Shubhan.

Sebagai birokrat kampus, di bagian kemahasiswaan pula, Shubhan tentu sudah banyak makan garam menangani manajemen penerimaan mahasiswa di berbagai jalur. Tapi, penjelasannya mengandung bias epistemik. Bahkan bias kelas sosial.

Menurut Shubhan, SNM PTN perlu dikaji ulang karena hanya berdasar penilaian portofolio. Dia meyakini sering adanya sulap-menyulap berkas administrasi dari pihak sekolah. Karena itu, metode yang objektif menjaring ujian masuknya haruslah melalui tes tulis. Dan tes ini lebih dominan di SBM PTN dan jalur mandiri.

Tapi, benarkah tes tulis di dua jalur itu objektif?

Sejak dulu ilmu pengetahuan di Indonesia terasa timpang karena memuja nalar positivistik. Dalam logika positivistik, menjaga jarak antara penilai dan yang dinilai suatu kemutlakan. Karena itu, Henry Giroux (2006), pakar pendidikan kritis di Amerika, dengan sangat keras mengkritik nalar edukasi seperti itu. Sebab, pengetahuan dan pengalaman hidup peserta didik tak ubahnya batangan angka statistik. Sehingga posisi mereka hanyalah objek kepentingan birokrasi yang bekerja seperti tangan besi.

Artinya, memprioritaskan tes objektif seperti itu memaksa para peserta didiknya mengikuti logika ilmu eksakta. Sebuah ilmu pasti yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Padahal, tidak semua peserta tes memiliki minat dalam ilmu eksakta.

Bahkan, kampus yang didominasi ilmu sosial-humaniora, misalnya UIN, UNS, UNY, UNJ, dan Unesa, pun tetap tinggi peminat. PTN ternama seperti UI, UGM, dan Unair juga memiliki fakultas noneksakta. Misalnya fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, fakultas hukum, fakultas psikologi, dan fakultas ilmu budaya.

Karena itulah, tes kualitatif, psikologis, dan praktik dianggap lebih mumpuni daripada tes objektif. Bagaimana mungkin para calon mahasiswa sosial-humaniora dituntut mengerjakan rumus matematika, sedangkan saat diterima di jurusannya kelak lebih banyak belajar kajian sosial dan budaya? Ini namanya utopia pendidikan.

Dari sisi pembiayaan, peserta yang lolos melalui SNM PTN terbilang lebih terjangkau apabila dibandingkan dengan jalur SBM PTN (seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri) dan mandiri. Tak heran, banyak orang tua siswa yang berharap anaknya diterima melalui jalur SNM PTN.
Ini bukan soal financial cost, melainkan social cost. Tak terlalu memforsir tenaga, waktu, jiwa, dan biaya. Apalagi, biaya formulir pendaftaran SNM PTN tidak dibebankan kepada peserta alias gratis.

Secara fleksibilitas, SBM PTN memang lebih layak dipertimbangkan. Sebab, tiap peserta bisa memilih PTN lintas wilayah. Tetapi, beban biaya formulirnya dibebankan kepada peserta. Dan tesnya dilakukan serentak dengan standar soal dari pihak pusat.

Selain itu, hasil tesnya pun dinilai menggunakan komputer. Jika ada kesalahan mengarsir jawaban atau terjadi masalah lembar jawaban, pupus sudah peluang peserta diterima di PTN yang dipilih.

Pada sisi pembiayaan formulir saja sudah beda. Antara SNM PTN dan SBM PTN. Apalagi pada jalur mandiri yang istilah banyak orang dianggap "swastanya" PTN. Jadi, tak salah kiranya jika Dinda menganggap pengurangan kuota SNM PTN terindikasi kepentingan ekonomi politik.
Tapi, Dinda dan Shubhan mungkin lupa. Di negeri ini PTN telah dipetak-petak berdasar status badan hukum milik negara (BHMN). UI, Unair, UGM, ITB, dan beberapa PTN bonafide lainnya adalah PTN berstatus BHMN. Tetapi, status tersebut batal demi hukum melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Kini PTN-PTN itu punya status baru bernama PTN BH (PTN ber¬badan hukum).

Artinya, selain mendapat bantuan operasional dari negara, mereka berhak memperoleh dana dari masyarakat. Maka, jangan heran jika ada perbedaan besaran UKT (uang kuliah tunggal) antara PTN BH dan non-PTN BH.

Kalau benar adanya, mencerdaskan kehidupan bangsa akan selalu bias kelas. Intinya, akar persoalan tes masuk PTN itu berakhir pada logika yang sama: "UUD" (ujung-ujungnya duit). Benar tidak? Tanyakan kepada hatimu, kawan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar