Pungli Hierarkis
Amzulian Rifai ; Ketua Ombudsman Republik Indonesia
|
KORAN SINDO, 16 Maret
2016
Pungli itu singkatan
dari pungutan liar. Mungkin saja saking akrabnya istilah ini di telinga, yang
seakan telah didengar seumur-umur, sebagian kita tidak ingat lagi singkatan
dari apa kata yang populer tersebut.
Nekat juga saya jika
berani menyatakan “berani bertaruh” bahwa praktik pungli di masyarakat kita
hampir merata dalam banyak aspek kehidupan. Hanya soal besarannya dan
keterselubungannya saja yang mungkin membedakan. Memang terkadang agak susah
juga membedakan antara pungli dengan pemberian tips, ungkapan terima kasih
sebagai kontra prestasi yang dikategorikan sebagai jasa.
Di antara kota-kota di
dunia menuntut para pengguna jasa untuk memberikan sejumlah tips. Oleh karena
itu, malah terjadi pemberi jasa tanpa sungkan “terang-terangan” meminta uang
tips itu karena memandang sebagai haknya. Jika ingatan saya bagus, New York,
AS adalah salah satu kota di dunia yang terang-terangan mengingatkan tamunya
atas tradisi tips untuk setiap jasa yang diberikan.
Jangan heran apabila
seorang petugas hotel yang hanya membuka-tutup pintu mobil tamu, tangannya
penuh uang kertas pecahan satu dolar. Namun banyak juga uang tips itu jika
seharian berdiri, silakan menebak sendiri total hasilnya. Suatu waktu saya
mampir ke restoran menikmati American Grill yang terkenal itu.
Sederhananya restoran
itu menyajikan daging bakar (steak). Pelayannya seorang ibu paruh baya.
Semula senang dan takjub juga atas keramahannya. Melayani dengan sangat baik
dan ramah. Namun di pengjung menyantap hidangan, ia terang-terangan bercerita
tentang aturan di New York yang mewajibkan pemberian tips.
Termasuk tips
kepadanya tentu saja. Walhasil saya terkena tips sekitar USD10. Bagaimana
dengan di Indonesia? Inilah yang terkadang menjadi soal. Pemberian tips tidak
umum, tetapi justru melahirkan praktek pungli (pungutan liar) yang luar
biasa. Pungli seakan-akan sudah menjadi bagian dari kultur sebagian (besar)
masyarakat kita.
Macam- macam saja
ragam pungli tersebut, terutama ketika berurusan dengan birokrasi pemerintah.
Walaupun apresiasi tetap kita berikan kepada penyelenggara negara dan
pemerintahan yang terus berbenah. Pelayanan publik di Indonesia paling banyak
pungutan liarnya, kadangkadang secara terangterangan. Tengok saja di setiap
terminal angkutan darat di banyak daerah.
Menurut ketentuan
semua kendaraan umum wajib masuk ke terminal. Namun faktanya, itu tidak
terjadi. Biasanya sudah ada petugas yang berdiri di pinggir jalan memungut
uang yang terkadang dilemparkan oleh sopir kendaraan umum. Uang lemparan itu
dianggap sebagai retribusi terminal. Jangan tanyakan tanda terimanya.
Tentu saja sulit
memastikan berapa sesungguhnya pemasukan negara dalam sehari dari pungutan
yang dikategorikan sebagai retribusi terminal itu. Siapa yang mengontrol
pemasukannya? Bagaimana akuntabilitasnya? Paling utama, kendaraan umum tidak
masuk ke terminal saja sudah menjadi soal. Patut dapat diduga, ada mekanisme
pungutan ini secara sistematis dan hierarkis. Potongan dan setorannya juga
berjenjang mulai dari lini terluar, sang tukang pungut.
Sudah menjadi public
knowledge jembatan timbang juga sejak lama “terlibat” pungli hierarkis.
Pungli hierarkis juga kentara di bidang pertanahan. Di antara mereka yang
pernah mengurus sertifikat tanah mungkin pernah mengalaminya. Oknum ketua RT
mesti disogok jika ingin minta tanda tangan. Terkadang orang yang sama
“sekalian” minta tanda tangan lurah dan camat. Semua itu tidak dengan tangan
kosong.
Kemudian jika
pemberkasan ingin segera, harus juga kasakkusuk di kantor pertanahan. Cobalah
mengikuti alur yang ada maka dijamin tidak terjamin prosesnya. Setelah berkas
awal selesai, maka ada berkas lagi sebagai dokumen yang bersifat final untuk
mengajukan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional setempat. Harus ada tanda
tangan lurah dan camat lagi.
Saya mengalami langsung
di Kota Palembang, ada lurah yang mematok ongkos tanda tangannya sejumlah
jutaan rupiah, demikian juga dengan camatnya. Dalam praktik birokrasi di
Indonesia, pastilah pungli hierarkis itu terjadi di banyak institusi termasuk
di institusi hukum. Ada suatu ungkapan yang mungkin saja salah, jika ingin
menguruskan badan, diet yang paling ampuh adalah dengan terlibat masalah
hukum.
Berurusan dengan hukum
maka dijamin (badannya) kurus. Pungli hierarkis itu terjadi mulai dari urusan
pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan hingga vonis. Konon penangguhan
penahanan juga rentan dengan pungutan liar . Memang terkadang terselubung
juga siapa yang terlibat. Namun selalu saja mereka yang terlibat menunjukkan
adanya setoran berjenjang “dari bawah hingga ke atas.
”Hebatnya, semua tidak
mengakuinya dan semuanya dengan lantang serta percaya diri meminta adanya
bukti tertulis, jangan asal menuduh saja. Tentu saja yang namanya “pungutan
liar” sudah pasti tidak disertaidengantanda terima. Agaknya paham benar para
penerima uang tak jelas itu. Hukum kita memang sangat legalistik yang
mensyaratkan segala sesuatu itu dengan bukti-bukti tertulis.
Kelemahan ini yang
menjadi kekuatan para outlaws itu. Pembiaran terhadap pungli juga semakin
menjadi dalam masyarakat kita. Enteng saja mereka yang melakukan pungli
kepada setiap pengendara yang memerlukan jasa agar lancar memutar, berbelok
di tengah keramaian. Pungli ini menjadi biasa dan acceptable karena terjadi
hubungan mutualisme antara pengendara dengan para “polisi cepek” yang nyata-nyata
ilegal tersebut. Pungli di bidang perparkiran juga membuat kita mengurut
dada.
Di mayoritas kota di
Indonesia ada pungutan uang parkir illegal, tanpa izin, tanpa tiket. Biasanya
ada freeman sebagai backing -nya. Konon ada oknum secara hierarkis menerima
setoran. Itu juga yang membuat praktik pungli ini rapi-jali dan lancar-lancar
saja. Pungli tidak hierarkis saja mestinya tidak boleh ada di negeri ini.
Sementara negara lain
pada tahapan penguasaan planet selain Bumi, topik kita masih soal pungli oleh
oknum camat, lurah, bahkan oknum ketua RT. Academic guess saya, jika ada
pungli hierarkis pastilah ada pula korupsi anarkis. Memang sulit juga
melakukan korupsi sendirian, tanpa teman yang diajak bekerja sama (walau saya
sungkan menggunakan istilah korupsi berjemaah). Pungutan liar juga
merefleksikan corak suatu masyarakat.
Semakin tinggi praktek
punglinya, semakin lemah pula wajah penegakan hukumnya. Sangat mungkin
institusi hukumnya juga “kacau balau” jauh dari profesionalisme sesungguhnya
(di atas kertas dan pengakuan pejabatnya mungkin saja sebaliknya). Sudah
pasti pula pelayanan publiknya di bawah standar negara maju. Starting point
segalanya, ya itu tadi, pungli yang memang dilakukan secara berjenjang
(hierarkis). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar