Menyoal Perpanjangan Izin Penyiaran
Sabam Leo Batubara ;
Koordinator Masyarakat Pers dan
Penyiaran Indonesia (MPPI) yang Merancang Awal RUU Penyiaran 1999-2002
|
KOMPAS, 12 Maret
2016
Setelah beroperasi 10
tahun, 10 stasiun televisi swasta harus mengajukan permohonan perpanjangan
izin penyelenggaraan penyiaran. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50
Tahun 2005, pemohon izin penyelenggaraan penyiaran mengajukan perpanjangan
izin secara tertulis ditujukan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika
melalui Komisi Penyiaran Indonesia.
Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) mengevaluasi program siaran setiap 10 stasiun televisi swasta
tersebut. Bahan yang dinilai adalah tumpukan surat teguran tertulis yang
pernah diterima oleh setiap media itu selama 10 tahun ini. Kemudian, Menteri
Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) akan memutuskan menolak atau
memperpanjang izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) pemohon setelah
mempertimbangkan hasil evaluasi KPI.
Jika 10 stasiun
televisi swasta tersebut taat asas atas ketentuan UU No 32/2002 tentang
Penyiaran dan UU No 40/1999 tentang Pers, perpanjangan IPP semestinya tidak
perlu dicemaskan. Namun, permasalahannya, tercatat paling tidak dua hal.
Pertama, KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belum
mempunyai pengalaman bagaimana menolak atau memperpanjang IPP memedomani dua
UU tersebut. Kedua, KPI dan Kementerian Kominfo belum memiliki kepastian
hukum tentang jenis pelanggaran dan jenis sanksinya.
Pelanggaran dan sanksi
Di negara-negara
demokrasi yang menjunjung demokratisasi penyiaran, seperti Inggris dan
Australia, dikenal paling tidak tiga jenis pelanggaran dan sanksi.
Pelanggaran berkategori fatal dapat berakibat pemberedelan. Pelanggaran berat
atau setengah berat dikenai denda proporsional. Pelanggaran ringan diberi
sanksi peringatan.
Di Inggris, IPP satu
lembaga penyiaran milik komunitas Kurdi pernah diberedel karena melakukan
pelanggaran fatal. Program siaran mereka dinilai berisi provokasi tuntutan
kemerdekaan bangsa Kurdi di negeri asalnya. Konten media itu dinilai tidak
sejalan dengan politik luar negeri Inggris.
Ketika saya bertemu
pimpinan Australia Broadcasting
Authority (ABA) di Sydney, Oktober 2002, Ketua ABA Prof Flint
menjelaskan: ”Bagi ABA, memberedel
media penyiaran dapat diibaratkan dengan mengebom atom media itu. Supaya
lembaga penyiaran tidak dibom atom, ABA melakukan pembinaan agar media
penyiaran berkembang sehat isi dan sehat bisnis. Dengan mengenakan sanksi
denda proporsional untuk pelanggaran setimpal yang dilakukan, ABA belum
pernah melakukan pemberedelan.”
Berdasarkan Pasal 55
UU Penyiaran, ketentuan sanksi untuk pelanggaran oleh lembaga penyiaran
tercatat tiga jenis: teguran tertulis, denda, dan pemberedelan atau
pelarangan penyiaran. Sanksi pemberedelan masih dirinci dengan penghentian
siaran sementara, pembatasan durasi waktu siaran, pembekuan kegiatan siaran,
tidak memperpanjang IPP, atau pencabutan IPP.
Selama 10 tahun ini,
lembaga penyiaran banyak melakukan pelanggaran. Namun, KPI dan Kementerian
Kominfo belum pernah melapor ke jalur hukum tentang media yang dituduh
melakukan pelanggaran fatal, yang sanksinya pemberedelan. Sanksi denda pun
belum pernah dikenakan. Padahal, di negara-negara demokrasi, denda-lah yang
banyak digunakan. KPI cukup rajin mengenakan teguran tertulis, dan tumpukan
teguran tertulis selama 10 tahun itulah sekarang digunakan untuk menilai
layak tidaknya IPP diperpanjang.
Merujuk pada uraian di
atas dan untuk mendorong kehidupan industri penyiaran mendatang sesuai
harapan semua pemangku kepentingan, maka dikemukakan beberapa catatan
berikut.
Pertama, karena selama
10 tahun ini KPI dan pemerintah tidak pernah mendapati dan memublikasikan
bahwa ada di antara 10 stasiun televisi swasta itu yang melakukan pelanggaran
fatal, maka tidak terdapat alasan untuk tidak memperpanjang IPP bagi 10 media
itu.
Kedua, di akhir setiap
kampanye Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014,
KPI merilis penilaian: enam dari 10 stasiun tersebut melanggar peraturan
bahwa program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan golongan pemilik
penyiaran. Kendati jenis pelanggaran itu berat, KPI dan/atau Menkominfo (kala
itu) Tifatul Sembiring tidak meneruskan perkara pers tersebut ke jalur hukum
untuk dikenai sanksi.
Kini, akankah KPI dan
Menkominfo Rudiantara menggunakan penilaian KPI tersebut sebagai bahan untuk
tak memperpanjang IPP enam stasiun tersebut?Karena enam stasiun itu
perusahaan pers dan pelanggarannya pun terkait produk pers, maka berdasarkan
Pasal 4 Ayat (2) juncto Pasal 18 Ayat (2) UU Pers, enam stasiun itu hanya
dapat didenda maksimum Rp 500 juta. Menilai pelanggaran itu jadi bagian dari
alasan untuk tak memperpanjang IPP enam media itu, KPI dan/atau Kementerian
Kominfo dapat diancam pidana penjara maksimum 2 tahun berdasarkan Pasal 18
Ayat (1) UU Pers.
Ketiga, KPI menyurati
Menkominfo Tifatul Sembiring (27/6/2014) tentang performa TVOne dan MetroTV.
KPI menilai TV One melakukan pelanggaran atas iklan kampanye empat kali dan
pelanggaran netralitas isi program siaran jurnalistik tiga kali. MetroTV
melakukan pelanggaran atas iklan kampanye tiga kali dan pelanggaran
netralitas isi program siaran jurnalistik empat kali.
Evaluasi KPI itu
diakhiri dengan rekomendasi: ”Oleh
karena itu, kami menyampaikan rekomendasi atas penilaian KPI Pusat yang
sekiranya dapat digunakan oleh Kementerian Kominfo RI untuk melakukan
evaluasi terhadap kelayakan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran
dan/atau bahan pertimbangan utama dalam proses perpanjangan izin
penyelenggaraan penyiaran.”
Mengingat evaluasi KPI
itu berisi penilaian, bahwa rekomendasi itu dapat digunakan sebagai bagian
dari evaluasi terhadap kelayakan perpanjangan IPP dua media itu, alangkah
bijaknya jika Menkominfo Rudiantara sudi berkonsultasi dengan Dewan Pers.
Untuk diketahui, rekomendasi KPI itu jelas melabrak Pasal 4 Ayat (2) UU Pers
yang berbunyi: ”Terhadap pers nasional tidak dikenai pemberedelan atau
pelarangan penyiaran”.
Teguran dan sanksi
Keempat, berdasarkan
UU Penyiaran dan UU Pers, media selayaknya mendapat teguran dan sanksi untuk
pelanggaran yang dilakukan. Teguran dan putusan atau rekomendasi sanksi KPI
harus segera diupayakan dan dijatuhkan agar corrective actions dapat segera dilakukan media yang
bersangkutan. KPI sepatutnya dihargai sebagai mitra yang membantu dan
melindungi industri penyiaran agar menjadi sehat dan bertanggung jawab.
Tidak pada tempatnya
lagi KPI mengumpul-kumpulkan surat teguran tertulis, dan baru setelah 10
tahun menjadikannya sebagai ”bom waktu” yang mengancam industri penyiaran
dalam proses perpanjangan izin siarannya.
Kelima, karena revisi
UU Penyiaran belum jelas kapan selesainya, KPI dan Kementerian Kominfo
mendesak untuk mengajak Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi
Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Dewan Pers duduk bersama merumuskan
nota kesepahaman dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung tentang
jenis pelanggaran oleh lembaga penyiaran. Nota kesepahaman itu diharapkan
berisi jenis pelanggaran apa yang (1) dapat berakibat pemberedelan, (2)
didenda proporsional, atau (3) cukup diberi teguran berisi penilaian yang
wajib disiarkan oleh lembaga penyiaran terkait. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar