Akhir Suatu Episode, Awal Suatu Ordo
Bambang Hidayat ; Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 18 Maret
2016
Pelajar sejarah sudah
paham ihwal keluruhan Hindia Belanda tahun 1942 di Kalijati, Jawa Barat.
Umumnya mereka merunut kekalahan Belanda itu dari sumber Barat atau
pengamatan sendiri.
Tentu tidak ada
salahnya mendayagunakan sumber mana pun untuk menghadirkan kebenaran. Tahun
2016 ini, pelajar sejarah yang ingin mengetahui lebih rinci perang
pengambilalihan Hindia Belanda bisa membaca buku baru yang 100 persen
dicitrakan melalui optik Jepang. Dokumen ini menyajikan pengalaman dan
pandangan pelaku dalam kerangka penguasaan wilayah selatan yang kini bernama
Indonesia.
Berupa jurnal perang,
buku tersebut berisi pengalaman dan pemahaman pelaku dalam penyerangan dan
pengambilan kebijakan saat kegentingan situasional dan semangat khas kawula
Tenno Heika.
Seri sejarah perang
Buku terbitan tahun
2015 itu adalah jilid ke-3 dari serial sejarah perang untuk mengusir kekuatan
Barat di wilayah Asia Timur, sekaligus mengejar kebutuhan bahan pangan dan
mineral dari wilayah selatan yang kaya.
Desakan melepaskan
diri dari embargo ekonomi Barat terhadap Jepang hampir mencekik wibawanya
dan, karena itu, harus dilawan demi keagungan. Tidak kalah pentingnya ialah
membangun citra kebesaran keturunan Amaterasu, citra bangsa Jepang.
Terdiri dari 102 jilid,
awalnya merupakan kajian para veteran dan pelaku perang Jepang. Jilid ke-3 diterjemahkan
oleh Dr Willem Remmelink, ahli hubungan segitiga Belanda-Jepang-Indonesia. Ia
tekun mempelajari budaya dan kebudayaan Jepang serta hubungannya dengan dua
negeri yang pernah membesarkannya.
Dia sebenarnya adalah
penderita zaman karena waktu mudanya (1942-1945) hidup dalam kelamnya
penjajahan Jepang di Hindia Belanda. Ayah dan kedua kakak perempuannya pernah
hidup di kamp tawanan. Namun, suntikan semangat dari ayahnya membuat
Remmelink muda kuat, berpegang pada diktum bahwa dia hanya manusia yang hidup
di zaman dan tempat yang salah.
Hindia Belanda jatuh
Serangan tentara Jepang
keHindia Belanda seperti gerak kelompok semut marabunta. Semua wilayah Hindia
Belanda jatuh dalam ideologi pembangunan Asia Timur Raya pada 8 Maret 1942,
dalam perang yang punya banyak nama. Ada Perang Pasifik (karena serangan terhadap
Pearl Harbour di
Samudra Pasifik; 8 Desember 1941); Perang Asia Timur Raya, atau Perang
”Kesemakmuran Asia Timur Raya”.
Tahun 1955, ”Senshi
Sosho” (harfiahnya ”Sejarah Perang”) adalah bagian tata kerja ”War History
Office” (Kantor Sejarah Peperangan) yang mengumpulkan banyak ilmuwan dan
veteran perang, menjumput sejumlah besar memoar, mewawancarai pelaku dan
pengambil keputusan yang terlibat. Tujuan penerbitan buku ialah menghadirkan
catatan jalannya peperangan. Maka, catatan itu tidak hanya panoramik, tetapi
juga beraksen kebijakan militer. Namun, karena diterbitkan dari kacamata
Jepang, buku itu meniadakan fakta-fakta penting: dari keterlibatan Tenno
Heika dalam perang sampai masalah pemerkosaan wanita dan kerja paksa.
Belanda terseret
perangkarena 7 jam setelah Pearl Harbour (Hawaii) diluluhlantakkan armada
laut Kekaisaran Jepang, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (waktu itu) Tjarda
van Starkenborgh-Stachouwer di Batavia (kini Jakarta) menyatakan perang
terhadap Jepang, ungkapan kesetiakawanan kepada Inggris dan Amerika. Dialah
penguasa Belanda terakhir dari 30 penguasa Hindia Belanda sejak Van der
Capellen mencengkeram Nusantara, 19 Agustus 1816.
Kekalahan Belanda
memijah euforia bangsa Indonesia yang mencatat kelahiran ordo baru.
Sebaliknya, di pihak Belanda kekalahan itu dimaknai sebagai akhir dari kuasa
kolonial Belanda di Asia Tenggara (Groen, 2016).
Diawali the ”War
History Office” tahun 1955, monograf ”Senshi Shoso” (Seri Sejarah Perang),
muncul akhir tahun 1980 lewat ”The National Defence College of Japan”.
Catatan monumental itu adalah hasil-bersama 135 veteran, yang menorehkan pengalaman
dan pengetahuannya.
”SenshiSosho”, yang
berisi pengalaman perang, memang berbeda dengan dokumen terbitan Yale
University Press (1965) ”Japanese
Military Administration in Indonesia” (Selected Documents, dengan redaksi Benda, Irikura dan Kishi).
Dokumen Benda dkk inimemunggah semua peraturan militer Jepang untuk orang
Indonesiatahun 1941 (sebelum memasuki Hindia Belanda) sampai 7 Agustus 1945.
Dalam dokumen tertera
juga diktum pembentukan dan pembubaran Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang
dipimpin empat serangkai: Soekarno, M Hatta, K H Mas Mansyur, Ki Hajar
Dewantara (hal 133-144, tahun 1944).
Dari dokumen Benda dkk
mudah tercium bau kekuasaan Jepang atas tanah ”jajahan” baru (termasuk
bagaimana mempersiapkan ”kemerdekaan” Indonesia (tahun 1944, dokumen 73, hal
263);yang berbeda sama sekali dengan denyut dan semangat Proklamasi
Kemerdekaan kita. Buku Remmelink menyajikan pandangan pelaksana perang tanpa
interpretasi.
Putusan eselon rendah
Kalau penulis gunakan
istilah ”kebijaksanaan” sesaat yang genting, buku Remmelink mencontohkan
keputusan Kolonel Shoji di Eretan Wetan (Jabar) yang pada 1 Maret 1942 menyerang
Lanuma Kalijati dan Bandung. Terjadi pertempuran besar di stelling Ciater
(Jabar) tanpa menunggu perintah Panglima tertinggi tentara ke 16 Jenderal
Imamura. Kolonel Shoji beruntung karena angkatan perang Jepang menghargai
inisiatif pengambilan keputusan oleh eselon rendah selama tidak menyalahi tujuan
perang. Inovasi Shoji membuat pemerintah kolonial bertekuk lutut di hadapan
Panglima Imamura di Kalijati.
Kegunaan buku Remmelink
adalah menyimak siasat strategis dan taktis tentara menyerbu wilayah baru.
Penulis sadari sekarang bahwa serangan ke Selatan adalah strategi dua langkah
pemanfaatan sinergi kekuatan angkatan laut dan darat Jepang. Langkah pertama
ialah menelikung Inggris dan di Semenanjung Malaka (sekarang Malaysia) dan
kedua mematikan angkatan perang Amerika di Filipina.
Caranya dengan menghancurkan
armada angkatan udara dan laut Amerika di Pearl Harbour. Setelah itu,
angkatan darat Jepang bisa meneruskan penyerangan ke Jawa.
Berikutnya adalah
mengambil alih lapangan terbang. Merebut lapangan terbangLedo (Kalbar)dan
Tarakan adalah aksi strategis untuk menguasai wilayah udara di Jawa. Jepang
juga berupaya menguasai Lapangan Terbang (militer) Kalijati, Andir dan
Tasikmalaya, sebagai kunci merebut Bandung, yang merupakan pusat pemerintahan
dan militer Hindia Belanda.
Kegunaan lain buku
Remmelink adalah mengungkap pandangan ”lawan” untuk mengeja sejarah yang kini
bisa kita lihat sebagai telaah kolonialisme. Tujuh puluh lima tahun post-dato dapat membebaskan kita dari
persoalan masa kolonial waktu lalu dengan masalah pasca kolonial sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar