Sabtu, 19 Maret 2016

Akhir Suatu Episode, Awal Suatu Ordo

Akhir Suatu Episode, Awal Suatu Ordo

Bambang Hidayat  ;   Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                       KOMPAS, 18 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pelajar sejarah sudah paham ihwal keluruhan Hindia Belanda tahun 1942 di Kalijati, Jawa Barat. Umumnya mereka merunut kekalahan Belanda itu dari sumber Barat atau pengamatan sendiri.

Tentu tidak ada salahnya mendayagunakan sumber mana pun untuk menghadirkan kebenaran. Tahun 2016 ini, pelajar sejarah yang ingin mengetahui lebih rinci perang pengambilalihan Hindia Belanda bisa membaca buku baru yang 100 persen dicitrakan melalui optik Jepang. Dokumen ini menyajikan pengalaman dan pandangan pelaku dalam kerangka penguasaan wilayah selatan yang kini bernama Indonesia.

Berupa jurnal perang, buku tersebut berisi pengalaman dan pemahaman pelaku dalam penyerangan dan pengambilan kebijakan saat kegentingan situasional dan semangat khas kawula Tenno Heika.

Seri sejarah perang

Buku terbitan tahun 2015 itu adalah jilid ke-3 dari serial sejarah perang untuk mengusir kekuatan Barat di wilayah Asia Timur, sekaligus mengejar kebutuhan bahan pangan dan mineral dari wilayah selatan yang kaya.

Desakan melepaskan diri dari embargo ekonomi Barat terhadap Jepang hampir mencekik wibawanya dan, karena itu, harus dilawan demi keagungan. Tidak kalah pentingnya ialah membangun citra kebesaran keturunan Amaterasu, citra bangsa Jepang.

Terdiri dari 102 jilid, awalnya merupakan kajian para veteran dan pelaku perang Jepang. Jilid ke-3 diterjemahkan oleh Dr Willem Remmelink, ahli hubungan segitiga Belanda-Jepang-Indonesia. Ia tekun mempelajari budaya dan kebudayaan Jepang serta hubungannya dengan dua negeri yang pernah membesarkannya.

Dia sebenarnya adalah penderita zaman karena waktu mudanya (1942-1945) hidup dalam kelamnya penjajahan Jepang di Hindia Belanda. Ayah dan kedua kakak perempuannya pernah hidup di kamp tawanan. Namun, suntikan semangat dari ayahnya membuat Remmelink muda kuat, berpegang pada diktum bahwa dia hanya manusia yang hidup di zaman dan tempat yang salah.

Hindia Belanda jatuh

Serangan tentara Jepang keHindia Belanda seperti gerak kelompok semut marabunta. Semua wilayah Hindia Belanda jatuh dalam ideologi pembangunan Asia Timur Raya pada 8 Maret 1942, dalam perang yang punya banyak nama. Ada Perang Pasifik (karena serangan terhadap
Pearl Harbour di Samudra Pasifik; 8 Desember 1941); Perang Asia Timur Raya, atau Perang ”Kesemakmuran Asia Timur Raya”.

Tahun 1955, ”Senshi Sosho” (harfiahnya ”Sejarah Perang”) adalah bagian tata kerja ”War History Office” (Kantor Sejarah Peperangan) yang mengumpulkan banyak ilmuwan dan veteran perang, menjumput sejumlah besar memoar, mewawancarai pelaku dan pengambil keputusan yang terlibat. Tujuan penerbitan buku ialah menghadirkan catatan jalannya peperangan. Maka, catatan itu tidak hanya panoramik, tetapi juga beraksen kebijakan militer. Namun, karena diterbitkan dari kacamata Jepang, buku itu meniadakan fakta-fakta penting: dari keterlibatan Tenno Heika dalam perang sampai masalah pemerkosaan wanita dan kerja paksa.

Belanda terseret perangkarena 7 jam setelah Pearl Harbour (Hawaii) diluluhlantakkan armada laut Kekaisaran Jepang, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (waktu itu) Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer di Batavia (kini Jakarta) menyatakan perang terhadap Jepang, ungkapan kesetiakawanan kepada Inggris dan Amerika. Dialah penguasa Belanda terakhir dari 30 penguasa Hindia Belanda sejak Van der Capellen mencengkeram Nusantara, 19 Agustus 1816.

Kekalahan Belanda memijah euforia bangsa Indonesia yang mencatat kelahiran ordo baru. Sebaliknya, di pihak Belanda kekalahan itu dimaknai sebagai akhir dari kuasa kolonial Belanda di Asia Tenggara (Groen, 2016).

Diawali the ”War History Office” tahun 1955, monograf ”Senshi Shoso” (Seri Sejarah Perang), muncul akhir tahun 1980 lewat ”The National Defence College of Japan”. Catatan monumental itu adalah hasil-bersama 135 veteran, yang menorehkan pengalaman dan pengetahuannya.

”SenshiSosho”, yang berisi pengalaman perang, memang berbeda dengan dokumen terbitan Yale University Press (1965) ”Japanese Military Administration in Indonesia” (Selected Documents, dengan redaksi Benda, Irikura dan Kishi). Dokumen Benda dkk inimemunggah semua peraturan militer Jepang untuk orang Indonesiatahun 1941 (sebelum memasuki Hindia Belanda) sampai 7 Agustus 1945.

Dalam dokumen tertera juga diktum pembentukan dan pembubaran Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpin empat serangkai: Soekarno, M Hatta, K H Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantara (hal 133-144, tahun 1944).

Dari dokumen Benda dkk mudah tercium bau kekuasaan Jepang atas tanah ”jajahan” baru (termasuk bagaimana mempersiapkan ”kemerdekaan” Indonesia (tahun 1944, dokumen 73, hal 263);yang berbeda sama sekali dengan denyut dan semangat Proklamasi Kemerdekaan kita. Buku Remmelink menyajikan pandangan pelaksana perang tanpa interpretasi.

Putusan eselon rendah

Kalau penulis gunakan istilah ”kebijaksanaan” sesaat yang genting, buku Remmelink mencontohkan keputusan Kolonel Shoji di Eretan Wetan (Jabar) yang pada 1 Maret 1942 menyerang Lanuma Kalijati dan Bandung. Terjadi pertempuran besar di stelling Ciater (Jabar) tanpa menunggu perintah Panglima tertinggi tentara ke 16 Jenderal Imamura. Kolonel Shoji beruntung karena angkatan perang Jepang menghargai inisiatif pengambilan keputusan oleh eselon rendah selama tidak menyalahi tujuan perang. Inovasi Shoji membuat pemerintah kolonial bertekuk lutut di hadapan Panglima Imamura di Kalijati.

Kegunaan buku Remmelink adalah menyimak siasat strategis dan taktis tentara menyerbu wilayah baru. Penulis sadari sekarang bahwa serangan ke Selatan adalah strategi dua langkah pemanfaatan sinergi kekuatan angkatan laut dan darat Jepang. Langkah pertama ialah menelikung Inggris dan di Semenanjung Malaka (sekarang Malaysia) dan kedua mematikan angkatan perang Amerika di Filipina.

Caranya dengan menghancurkan armada angkatan udara dan laut Amerika di Pearl Harbour. Setelah itu, angkatan darat Jepang bisa meneruskan penyerangan ke Jawa.

Berikutnya adalah mengambil alih lapangan terbang. Merebut lapangan terbangLedo (Kalbar)dan Tarakan adalah aksi strategis untuk menguasai wilayah udara di Jawa. Jepang juga berupaya menguasai Lapangan Terbang (militer) Kalijati, Andir dan Tasikmalaya, sebagai kunci merebut Bandung, yang merupakan pusat pemerintahan dan militer Hindia Belanda.

Kegunaan lain buku Remmelink adalah mengungkap pandangan ”lawan” untuk mengeja sejarah yang kini bisa kita lihat sebagai telaah kolonialisme. Tujuh puluh lima tahun post-dato dapat membebaskan kita dari persoalan masa kolonial waktu lalu dengan masalah pasca kolonial sekarang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar