Menakar Juru Damai Timur Tengah
Ibnu Burdah ; Koordinator Kajian Timur Tengah
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
|
REPUBLIKA, 14 Maret
2016
Apakah Indonesia
memiliki kapasitas untuk menjadi peace maker di Timur Tengah? Mampukah negeri
kita memainkan peran strategis dalam upaya perdamaian di Timur Tengah, baik
sebagai mediator, fasilitator, ataupun peran strategis lain?
Rencana pembukaan
konsulat kehormatan RI di Ramallah dan Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta (6-7/3) adalah sedikit jawaban
atas pertanyaan di atas. Indonesia telah berhasil melakukan konsolidasi awal
dunia Islam untuk mendukung perjuangan Palestina dan menggemakan kembali isu
itu ke fora internasional di tengah mengecilnya perhatian negara-negara Arab.
KTT itu menghasilkan
dua dokumen penting, yakni resolusi yang berisi prinsip umum dan Deklarasi
Jakarta yang berisi langkah konkret OKI untuk mendukung perjuangan Palestina.
Konferensi segera disusul dengan langkah lebih konkret, yakni pembukaan
perwakilan kita di tanah Palestina sepekan kemudian.
Pihak Palestina begitu
berterima kasih atas dukungan konsisten dan riil dari Indonesia terhadap
perjuangan mereka selama ini, termasuk penyelenggaraan konferensi dan rencana
pembukaan perwakilan ini. Semua itu begitu berharga bagi Palestina di tengah
ketidakpedulian negara-negara Arab beberapa tahun terakhir akibat meluasnya
pergolakan di kawasan itu.
Hal itu memperlihatkan
kemajuan penting posisi Indonesia di kalangan negara-negara berpenduduk
Muslim. Indonesia seolah telah menjadi pemimpin poros baru negara-negara
Muslim di luar kelompok Arab Saudi dan Iran. Posisi itu sangat strategis
mengingat kedua kelompok itu terlibat dalam konflik yang dalam di mana-mana
dan membawa persoalan serius di dunia Islam. Kepemimpinan Indonesia bisa
menjadi alternatif baru bagi masa depan dunia Islam yang lebih baik.
Semakin mantabnya
posisi Indonesia ini juga membuka peluang peran Indonesia yang lebih besar
dalam proses perdamaian di Timur Tengah. Selama ini, negara-negara Muslim
seolah hanya menjadi penonton dalam proses damai di kawasan itu.
Kuartet yang begitu
dominan dalam proses perdamaian justru bukan berasal dari negara Muslim.
Mereka adalah AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB. Apakah Indonesia punya kapasitas
untuk memainkan peran itu, setidaknya menjadi salah satu pemain kunci bersama
pihak-pihak lain sebagaimana "hasil" dari KTT tersebut?
Jika dicermati,
capaian Indonesia saat ini dan dibandingkan dengan negara-negara di dunia
Islam yang lain khususnya di Timur Tengah, maka kita akan mengambil sikap
optimistis. Kita juga berargumen bahwa permintaan Presiden Abbas kepada
Indonesia untuk menghelat acara itu memang didasarkan pada bobot objektif
Indonesia sebagai negara dan bangsa dalam pergaulan internasional saat ini.
Sejak dulu, Indonesia
memang negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, hal ini bukan
modal utama untuk memainkan peran penting dalam perdamaian Timur Tengah.
Faktanya, selama ini Indonesia lebih memainkan peran "pinggiran"
dalam penyelesaian damai di Timur Tengah atau tepatnya "penonton".
Tentu ada alasan lain
mengapa Indonesia tiba-tiba berpeluang masuk ke tengah arena. Jawabannya
adalah postur Indonesia di fora internasional terkerek naik berkat capaian
pembangunan Indonesia dalam bidang keamanan, demokrasi, ekonomi, dan sosial
keagamaan, setidaknya dibandingkan negeri-negeri Muslim lain.
Dalam bidang
pembangunan demokrasi, misalnya, Indonesia mencapai tahap yang dalam takaran
berbagai teori demokratisasi sebagai matang. Kita telah menyelenggarakan
empat kali pemilu parlemen dan beberapa kali pemilu presiden secara langsung.
Bahkan, pemilu kepala daerah diselenggarakan secara langsung dan serentak.
Tak ada guncangan berarti dalam proses itu sejauh ini.
Kendati di sini kita
menganggap itu biasa, tapi itu sungguh kemewahan bagi negara-negara
berpenduduk Muslim yang lain. Dari 57 anggota OKI, hanya beberapa gelintir
negara yang mampu melandingkan demokrasi dengan nyaris tanpa guncangan
seperti Indonesia.
Indonesia telah mampu membuktikan
dalam teori dan praktik bahwa Islam dan demokrasi bisa seiring sejalan.
Indonesia telah mampu membuktikan bahwa militer bisa diajak kembali ke barak
dan berfokus pada persoalan pertahanan, bukan mengurus politik ataupun
ekonomi sebagaimana di kebanyakan negara Timur Tengah. Indonesia juga telah
membuktikan bahwa suara masyarakat sipil dan media adalah pilar-pilar penting
yang menentukan arah dan masa depan bangsa.
Indonesia juga mampu
membangun perekonomian yang relatif stabil di tengah-tengah euforia demokrasi
di masyarakat. Sejauh ini, perekonomian kita cukup tahan dari guncangan
akibat proses-proses politik yang kadang dramatis. Kemakmuran yang
benar-benar adil memang masih jauh dari kenyataan. Tapi, perbaikan tingkat
kesejahteraan, terutama di bidang akses pelayanan kesehatan dan pendidikan
sudah mulai terasa.
Berbeda dengan
kebanyakan dunia Islam lain, ekstremisme dan perpecahan sektarian di
Indonesia juga relatif bisa diredam kendati ancaman itu tetap tak bisa
diremehkan. Keislaman Indonesia yang moderat hingga saat ini masih mampu
meredam arus dan gelombang yang biasanya datang dari kawasan-kawasan konflik
di dunia Islam itu.
Bahkan, banyak dari
kita yang mulai euforia dalam menyikapi pengalaman keislaman Indonesia dalam
bermasyarakat dan berbangsa. "Pengalaman keislaman Indonesia patut
menjadi model bagi negara-negara Muslim lain," demikian sebagian
ekspresi euforia itu.
Dengan tetap mengakui
kekurangan dalam banyak hal, capaian Indonesia saat ini memang menjadikannya
sebagai negara paling tepat untuk mengambil peran penting dalam perdamaian di
Timur Tengah. Apalagi, negara-negara Timur Tengah yang biasanya terdepan
dalam perjuangan Palestina melalui jalur politik tengah menghadapi gelombang
masalah di dalam negeri dan kawasan dan justru terlibat secara mendalam dalam
konflik.
Tak hanya masalah
Palestina sebagaimana yang didorong dalam KTTLB OKI kemarin, tapi juga dalam
upaya penciptaan perdamaian di negara-negara lain di kawasan itu, seperti
Suriah, Yaman, Libya, dan lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar