Minggu, 20 Maret 2016

Uji Klinik Alat Terapi Kanker

Uji Klinik Alat Terapi Kanker

Bambang Wahjoedi  ;  Peneliti Farmakologi Eksperimental Puslit Farmasi,
Badan Litbangkes RI
                                                       KOMPAS, 19 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kita semua tahu bahwa apabila seseorang didiagnosis terkena kanker, maka ia menjadi cemas seolah-olah kematian sudah di depan mata. Apalagi bila dokter mengatakan harapan hidupnya tinggal beberapa bulan lagi.

Pengobatan kanker sampai saat ini memang belum dapat menjamin kesembuhan total, tetapi dapat memperpanjang usia harapan hidup atau mengurangi penderitaan psikis.

Jadi keputusan seseorang berobat ke Klinik Edwar Technology dan menerima semua persyaratan SOP (standard operational procedure) adalah haknya. Karena itu, tulisan dr Inez Nimpuno bahwa Kementerian Kesehatan meminta Wali Kota Tangerang menertibkan Klinik Dr Warsito berdasarkan laporan warga yang merasa dirugikan, (Kompas, 16/1/2016), perlu disertai penjelasan lebih lanjut tentang hal-hal apa yang dirugikan. Dengan demikian, masyarakat tahu dan punya banyak pertimbangan sebelum memutuskan.

Dr Inez Nimpuno mengatakan bahwa kanker membutuhkan terapi superjitu, tepat, serta cepat, dan belum tentu sembuh. Betul memang demikian walaupun belum tentu sembuh total, tetapiterapi akan selalu bermanfaat, paling tidak dapat memperpanjang usia harapan hidup atau memperbaiki mood pasien danrelasi dengan keluarganya.

Perlu hasil uji

Saya setuju bahwa semua terapi yang diberikan kepada pasien harus berdasarkan bukti hasil uji (evidence based medicine) atau uji klinik untuk mengetahui keamanan dan kemanjuran bahan uji. Karena Klinik Dr Warsito tidak memenuhi prinsip terapi dan praktik kedokteran, makaberdasarkan keputusan Menkes tanggal 2 Desember 2015, klinik tersebut dilarang menerima klien baru bagi pelayanan ECCT (electrical capacitive volume tomography) atau ECVT (electro capacitive cancer therapy) hingga hasil riset diumumkan.

Kesimpulannya, Dr Warsito harus melakukan uji klinik alat kesehatannya mengikuti standar baku WHO, di mana menurut Staf Ahli Menkes Bidang Medikolegal Tri Tarayati bahwa Badan POM telah menerbitkan pedoman cara uji klinik yang baik untuk obat dan alat kesehatan.

Prof Dr Agus Purwodianto mengatakan bahwa belum ada protokol uji alat kesehatan. Prof Agusjuga pernah menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes). Saya selama menjadi peneliti di Badan Litbangkes juga belum pernah mengetahui ada uji klinik alat kesehatan. Yang ada adalah uji klinik obat.

Sayapernah terlibat dua kali uji kliniktanaman obat. Kesulitan uji klinik obat antara lain menentukan jumlah sampel pasien yang memenuhi kriteria inklusif dan eksklusif yang dapat digunakan untuk mengetahui keamanan dan manfaat bahan uji dan untuk memenuhi uji statistik dan untuk mengatasiadanya pasien yang drop out.

Uji klinik

Sebagaimana diketahui, pelaksanaan uji klinik obat ada empat tahap. Pertama, mengetahui keamanan bahan uji; kedua, mengetahui manfaat bahan uji; ketiga, melibatkan pasien uji lebih banyak, dan keempat adalah postmarketing bahan uji.

Uji klinik alat kesehatan Dr Warsito mestinya tidak jauh berbeda dari uji klinik obat. Yang akan menjadi masalah adalah perlakuan percobaan uji klinik harus seperti yang sekarang diberlakukan pada pasien Dr Warsito, yaitu selama 6-9 bulan dan menjaga kepatuhan pasien jangan sampai drop out. Belum lagi bagaimana menentukan pembanding dan plasebo untuk alat kesehatan tersebut.

Perlu juga diperhatikan uji klinik selama 6-9 bulan tentu akan berpengaruh terhadap jalannya proses penyakit kanker. Uji klinik obat memerlukan biaya besar, apalagi uji klinik alat kesehatan ini. Lalu siapa yang akan membiayai? Apakah Dr Warsito sendiri atau melibatkanKementerian Riset dan Teknologi?

Pelaksanaan uji klinik alat kesehatan akan banyak mengalami kesulitan secara ilmiah karena protokol atau pedoman uji klinik belum ada. Indonesia juga belum pengalaman melakukan uji klinik alat kesehatan. Jadi, keputusan Menkes menghentikan penerimaan pasien sebelum ada hasil uji klinik akan berlangsung lama dan merugikan pasien yang ingin terapi ECCT.

Adalah hak pasien mencari pengobatan yang terbaik menurut pertimbangannya. Apalagi, yang dilakukan Dr Warsito bukan abal-abal, tetapi suatuhasil penelitian bidang fisika seorang peneliti Indonesia yang ikut mengharumkan nama bangsa.

Dilihat dari bidang ilmu kedokteran, memang ada kekurangannya. Namun, alangkah bijaksananya jika kita semua, termasuk pemerintah, membantu menyempurnakan hasil penelitian Dr Warsito dan bukan justru ”mematikannya”.

Jalan tengah

Barangkali jalan tengahnya adalah Dr Warsito tidak melakukan uji klinik, tetapi uji kasus (apa pun namanya). Artinya, klinik tetap menerima pasien baru dengan catatan pasien yang bersangkutan harus mendapat evaluasi pemeriksaanpendahuluan sebelum dan pasca pengobatan menggunakan metode Dr Warsito, dari ahli onkologi, psikolog/ psikiater, ataupun ahli gizi.

Dalam uji kasus ini juga harus ada kesanggupan dan kerja sama pasien. Pada hasil uji kasus ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, antara lain, aspek onkologi atau pemantauan perkembangan kankernya, kesehatan fisik dan psikologis pasien, dan apakah alat kesehatan cukup aman digunakan.

  
Kalau dikatakan Dr Warsito ”mutung” barangkali dapat dimengerti karena saya mempunyai pengalaman mengembangkan tanaman obat sebagai obat malaria selama empat tahun, dan pada akhirnya sebagai seorang peneliti kecewa karena tidak ada respons dari pemerintah.
Semoga masyarakat mendapat layanan kesehatan terapi kanker sesuai kaidah kesehatan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar