Kesenjangan Kompetensi dan Pembangunan Nasional
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEUI
|
KORAN SINDO, 14 Maret
2016
Kesenjangan (inequality) yang ekstrem dianggap
sebagai salah satu faktor penghambat tidak optimalnya pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Persoalan melebarnya kesenjangan dan
ketimpangan menjadi tantangan tidak hanya di negara miskin dan berkembang,
melainkan juga menjadi persoalan pelik di sejumlah negara maju. Organisasi
Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendokumentasikan ekonomi sejumlah
negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Italia akan memiliki akumulasi
pertumbuhan ekonomi lebih tinggi apabila melebarnya kesenjangan pendapatan (income inequality) dapat dikurangi
secara signifikan.
Penelitian yang
dilakukan Deininger dan Squire (1998) serta Birdsall dan Londono (1997)
menunjukkan kesenjangan kepemilikan aset (asset
inequality) mengurangi secara signifikan pertumbuhan ekonomi. Selain itu,
kesenjangan akses (access inequality)
di berbagai penelitian empiris juga membuat pembangunan ekonomi tidak dapat
berjalan secara baik.
Deretan dampak negatif
kesenjangan akan semakin banyak apabila kita tambahkan risikorisiko lain
seperti persoalan sosial, keamanan, ketertiban, dan bahkan instabilitas
politik sebagai akibat tinggi dan beragamnya jenis kesenjangan. Selain
bentuk-bentuk kesenjangan di atas, menurut saya Indonesia saat ini sedang
menghadapi bentuk kesenjangan lain yang berpotensi membuat pembangunan
ekonomi nasional tidak berjalan secara optimal.
Kesenjangan tersebut
adalah kesenjangan kompetensi (competence
inequality) di berbagai aspek kehidupan. Semisal tidak meratanya
distribusi kemampuan manajerial vertikal berdasarkan ukuran perusahaan dari
level mikro, kecil, menengah, besar, dan multinasional. Meningkatkan
kompetensi manajerial level mikro, kecil, dan menengah perlu dilakukan di
saat pemerintah meningkatkan akses permodalan melalui penurunan suku bunga
kredit usaha rakyat (KUR) menjadi single digit.
Hal ini menjadi kontekstual
bagi Indonesia mengingat 99% bentuk badan usaha adalah UMKM (usaha mikro,
kecil dan menengah). Kompetensi marketing, produksi, pengelolaan keuangan,
dan jalur distribusi di sektor UMKM perlu ditingkatkan untuk membuat sektor
ini lebih produktif dan efisien.
Selain itu,
kesenjangan kompetensi juga dapat kita deteksi melalui tingginya ketimpangan
distribusi pengetahuan (knowldege),
skill, kompetensi, dan kapabilitas
sumber daya manusia (SDM) antarwilayah di Indonesia yang belum merata. Hal
ini tecermin dari masih terkonsentrasinya the
best people di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung, Medan, Yogyakarta, Palembang, dan Makassar.
Sementara itu
kota-kota lain terutama kawasan timur Indonesia (KTI) tidak memiliki
kompetensi sumber daya manusia yang secara rata-rata sama baiknya dengan yang
dimiliki kota-kota besar di kawasan barat dan tengah Indonesia. Hal inilah,
menurut hemat saya, menjadi kendala terbesar mengapa pembangunan di KTI
tertinggal dari dua kawasan lain di Indonesia.
Padahal kawasan timur
memiliki sumber daya alam (perikanan, pariwisata, kelautan, mineral dan
tambang, serta sektor jasa) yang luar biasa untuk dikembangkan. Kualitas SDM
merupakan kunci utama berdenyutnya aktivitas perekonomian. Ketika suatu
wilayah atau negara memiliki SDM yang berkualitas, inovasi dan kreativitas
pemanfaatan potensi ekonomi dapat bernilai lebih tinggi.
Pengembangan teknologi
tepat guna dalam aktivitas perekonomian juga akan menjadi lebih baik. Begitu
pun sebaliknya, meski suatu wilayah memiliki potensi ekonomi yang luar biasa,
tetapi bila tidak memiliki SDM yang memadai, pemanfaatannya akan terbatas.
Sumber daya alam dan potensi ekonomi akan menjadi idle dan tidak
termanfaatkan.
Kebijakan nasional
yang mempercepat peningkatan kompetensi, knowledge,
skill dan kapabilitas tenaga kerja di KTI menjadi faktor penting apabila
kita ingin pembangunan di daerah ini bisa mengatasi ketertinggalannya dari
kawasan lain di Indonesia. Persoalan berikutnya adalah bagaimana jumlah
manusia atau tenaga kerja yang memiliki kompetensi memadai di KTI semakin
banyak jumlahnya?
Salah satu solusi
kebijakan affirmative-action yang
dapat ditempuh adalah program nasional untuk perluasan akses pendidikan ke
jenjang vokasi, sarjana, atau lebih tinggi bagi putra-putri di KTI dilakukan.
Alokasi beasiswa ke sejumlah perguruan tinggi terbaik di Indonesia bagi
putra-putri di KTI perlu diperbesar. Selain itu beasiswa ke luar negeri bagi
putra-putri di KTI perlu terus diperbesar agar nantinya memperluas cakrawala
dan pengetahuan baru bagi daerahnya.
Selain itu, program
kerja sama pengampuan universitas dan perguruan tinggi terbaik di Indonesia
ke sejumlah institusi pendidikan di KTI juga perlu dilakukan. UI, ITB, UGM,
IPB, ITS dan perguruan tinggi lain yang memiliki keunggulan spesifik suatu
keilmuwan dan teknologi terapan dapat dimobilisasi untuk mengampu dan
membantu baik pengelolaan maupun pendirian program studi yang dibutuhkan di
sejumlah daerah.
Tanpa adanya program
nasional seperti ini, dikhawatirkan kesenjangan kompetensi di KTI Indonesia
akan semakin tertinggal dan pembangunan ekonomi sulit untuk dikembangkan.
Selain program intervensi pemerintah yang bersifat jangka pendek, dalam
jangka menengah dan jangka panjang sejumlah aspek lain juga perlu
diperhatikan.
Hal ini mengingat
secara alamiah dan natural konsentrasi mengapa terpusatnya the best people di kota-kota besar di
Jawa dan Sumatera merupakan fungsi dari beberapa faktor. The best people secara alamiah akan mengikuti ketersediaan
lapangan kerja dan industri, universitas atau perguruan tinggi yang
berkualitas sebagai center of
excellence, serta fasilitas umum lain seperti kesehatan, rekreasi,
kualitas ICT (information communication
and telecommunication), dan ketersediaan moda transportasi yang menjamin
mudahnya mobilitas manusia.
Harus kita akui halhal
tersebut menjadi kendala terbesar mengapa the
best people enggan untuk ke daerah utamanya daerah pelosok di Indonesia.
Kondisi ini membuat program nasional yang bertujuan membangun pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa perlu menjadi salah satu
prioritas nasional saat ini.
Memang selama ini
sudah muncul banyak gerakan dari civil-society
dan inisiatif individu yang luar biasa untuk melakukan pengabdian di
daerahdaerah terpencil baik di bidang pendidikan, kesehatan, social entrepreneurship, maupun
bidang-bidang lainnya. Namun untuk bisa memiliki dampak yang lebih besar,
perlu ada rancangan nasional untuk membuat lebih banyak orang yang
berkualifikasi baik kembali ke daerah.
Atau paling tidak
membuat tenaga kerja di desa dan derah terpencil tetap tinggal di daerahnya
dan tidak pergi ke kota mencari kerja (urbanisasi). Indonesia saat ini
memiliki sejumlah kebijakan nasional seperti komitmen nasional membangun dari
pinggiran, anggaran pembangunan dalam bentuk dana desa, dan skemaskema
lainnya seperti pembangunan infrastruktur dasar di sektor pertanian dan
kelautan.
Program-program ini
sekali lagi juga perlu disertai dengan peningkatan kualitas tidak hanya SDM
desa tetapi juga aparatur dan perangkat desa. Intensifikasi dan perluasan
program nasional di bidang pelatihan, workshop dan training birokrat daerah
penting dilakukan agar terjadi pemerataan kemampuan pengelolaan anggaran yang
berkualitas dan memiliki dampak pengganda (multiplier effect) besar bagi kemajuan ekonomi di daerah.
Dengan demikian,
antara infrastruktur dan aktivitas ekonomi untuk mengisinya dapat berjalan
secara paralel. Tentunya tugas untuk mengurangi tingginya kesenjangan
kompetensi tidak hanya menjadi tugas pemerintah pusat saja. Pemerintah daerah
memiliki peran yang sangat strategis dalam meningkatkan kompetensi SDM
daerah.
Koordinasi yang baik
antara pusatdaerah misalnya dalam pendirian dan pemanfaatan Balai Latihan
Kerja (BLK) dapat menjadi entry-point
bagi peningkatan skill dan
keterampilan tenaga kerja. Selain itu, universitas dan perguruan tinggi
terbaik di Indonesia juga memiliki peran untuk membantu institusi pendidikan
di daerah. Bestpractice sharing perlu menjadi gerakan nasional dan semangat
baru untuk lebih memeratakan kompetensi di Indonesia.
Sementara itu, elemen-
elemen masyarakat di daerah juga perlu memiliki kesadaran dan tekad kuat
untuk terus meningkatkan kemampuan dan kompetensinya. Ketika hal-hal
initerjadi, kita bisa lebih optimistis pembangunan ekonomi Indonesia menjadi
jauh lebih baik, merata, adil, dan makmur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar