SNM PTN Bukan Yang Paling Ideal
M Hadi Shubhan ; Direktur Kemahasiswaan Universitas
Airlangga;
Dosen Teori Keadilan pada Program
Doktor (S-3) FH Unair Surabaya
|
JAWA POS, 14 Maret
2016
CUKUP menarik tulisan Saudari Dinda Lisna
Amilia yang berjudul Menyoal Pengurangan Kuota SNM PTN (Jawa Pos, 11/3/2016).
Namun, tulisan tersebut perlu ditanggapi. Sebab, sebagian didasarkan pada
proposisi yang keliru sehingga menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat serta
cenderung mendiskreditkan PTN (perguruan tinggi negeri).
Dalam tulisan tersebut, dikatakan SNM PTN
adalah jalur yang paling representatif karena didasarkan pada deretan
prestasi dan mudah diakses oleh masyarakat. Proposisi itu jelas tidak tepat.
Sebab, SNM PTN atau yang dikenal dengan jalur undangan atau nama sejenis
sebelumnya tidak didasarkan pada hasil ujian tulis. Melainkan, penilaian
berdasar portofolio yang ditentukan PTN masing-masing.
Karena didasarkan pada data portofolio,
sesungguhnya penilaian tidak menggambarkan kemampuan sebenarnya calon
mahasiswa. Belum lagi banyaknya data yang disulap oleh sebagian oknum
sekolah.
Di negara ini, ada tidak kurang dari 12 ribu
SMA atau yang sederajat. Betapa rumitnya suatu PTN dalam menentukan SMA yang
akan diberi kuota pada SNM PTN tersebut. Karena itu, banyak SMA daerah 3T
(terluar, terdepan, dan tertinggal) yang tidak katut dalam SNM PTN tersebut.
Memang ada metodologi tertentu untuk
menetapkan hal itu. Tapi, hal tersebut bisa menunjukkan bahwa subjektivitas
masih mewarnai kebijakan di tiap-tiap PTN. Belum lagi standar nilai yang
berbeda antara satu sekolah dan sekolah lain. Dengan lain kata, mereka yang
mengikuti seleksi melalui SNM PTN mengandalkan lebih banyak doa agar lolos
pada SNM PTN.
Seleksi melalui SNM PTN sebenarnya mulai
meresahkan masyarakat. Sebab, subjektivitas tiap-tiap PTN cukup tinggi. Belum
lama ini, Kementerian Agama (Kemenag) memprotes PTN besar di Jawa karena
tidak ada satu pun siswa madrasah aliyah yang diterima di PTN tersebut.
Padahal, di sejumlah PTN besar lain seperti Universitas Indonesia dan
Universitas Airlangga, banyak siswa madrasah aliyah yang lolos SNM PTN.
Bayangkan, Kemenag saja sudah tidak nyaman dengan SNM PTN, apalagi masyarakat
umum.
Hal itu berbeda dengan seleksi tulis, baik
melalui SBM PTN (seleksi bersama masuk PTN) maupun jalur mandiri. Hasil SBM
PTN dan seleksi jalur mandiri itu murni berdasarkan hasil ujian tulis calon
mahasiswa. Yang berada di peringkat paling atas akan diterima sesuai kuota
tiap-tiap perguruan tinggi.
Walhasil, tingkat objektivitasnya masih sangat
tinggi. Siapa yang mendapatkan nilai ujian tulis tertinggi berhak memperoleh
kursi untuk mengenyam pendidikan tinggi yang diimpikannya. Siswa dari daerah
3T maupun madrasah aliyah bisa tembus seleksi SBM PTN dan jalur mandiri. Asal
mereka mempersiapkan diri untuk ujian tulis seleksi itu secara baik dan
berhasil menempatkan diri pada peringkat atas sesuai kuota.
Dengan demikian, jalur SBM PTN dan mandiri
lebih baik jika dibandingkan dengan jalur SNM PTN. Dengan demikian, urutan
yang ideal sebenarnya SBM PTN, jalur mandiri, dan yang terakhir baru SNM PTN.
Ke depan, mungkin SNM PTN sebaiknya ditiadakan sehingga menjadi SBM PTN dan
jalur mandiri saja.
Karena itu, jika kuota SNM PTN dikurangi dan
ditambahkan ke jalur mandiri yang notabene seleksi tulis, itu merupakan suatu
kemajuan. Jadi, asumsi seperti yang ditulis Dinda bahwa pengurangan kuota SNM
PTN yang kemudian ditambahkan ke kuota jalur mandiri adalah kemunduran
merupakan asumsi terbalik dan keliru.
Pada bagian lain, Dinda menuliskan bahwa
pengurangan kuota SNM PTN yang kemudian ditambahkan ke kuota jalur mandiri
merupakan strategi untuk meningkatkan pendapatan PTN. Asumsi tersebut juga
keliru karena sejak tiga tahun terakhir sudah diberlakukan sistem UKT (uang
kuliah tunggal). Baik SNM PTN, SBM PTN, maupun jalur mandiri.
UKT ditetapkan oleh kementerian, bukan PTN
masing-masing. UKT merupakan SPP berkeadilan yang disesuaikan dengan
kemampuan orang tua mahasiswa. Dengan begitu, jika diasumsikan jalur SNM PTN
murah, tidak sepenuhnya benar. Sebab, bisa saja mahasiswa masuk lewat jalur
SNM PTN, tapi orang tuanya pengusaha besar. Dengan demikian, tetap saja
mahasiswa itu kena UKT yang mahal sesuai dengan kemampuan tersebut.
Di samping itu, kebijakan beasiswa bidikmisi
(beasiswa pendidikan bagi mahasiswa berprestasi) me¬rupakan beasiswa yang
dikhususkan untuk mahasiswa dari keluarga kurang mampu dan memiliki pres¬tasi
baik. Kuota bidikmisi sangat besar, kira-kira setara dengan 20 persen
mahasiswa di PTN.
Karena itu, dengan beasiswa bidikmisi,
mahasiswa dari kelompok masyarakat tidak mampu pun bisa mengenyam pendidikan
di PTN. Bahkan, dalam suatu kasus, terdapat PTN yang tidak bisa memenuhi
kuota bidikmisi karena sudah tidak ditemukan lagi mahasiswa dari kelompok
miskin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar