Senin, 21 Maret 2016

Relawan dan Partai

Relawan dan Partai

Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 19 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sekali lagi tentang kata deparpolisasi. Secara harfiah kata benda ini artinya ’pengurangan jumlah partai politik’. Tetapi, ia secara relatif tentu bisa juga ditafsirkan sebagai pengurangan pengaruh partai.

Agar kita paham, deparpolisasi pernah dilakukan ketika Orde Baru memaksakan fusi partai tahun 1973. Partai-partai yang ketika itu jumlahnya lebih dari 10 dipaksa bergabung berdasarkan pengelompokan/gabungan partai-partai nasionalis dan satu lagi berdasarkan agama Islam.

Maka sistem politik kita sering disebut dengan dua partai, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Golkar acap kali enggan disebut sebagai partai, lebih nyaman disebut sebagai golongan.

Kalaupun mau mencium jejak deparpolisasi, itu telah terjadi ketika Presiden Soekarno memberlakukan Dekrit 5 Juli 1959. Salah satu turunannya adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 1959 yang melarang PNS golongan F ke atas untuk menjadi anggota partai.

Setelah Orde Baru berkuasa, seluruh perpres produk Dekrit 5 Juli 1959 ditinjau kembali. Apa lacur, deparpolisasi Orde Baru justru semakin menjadi-jadi melalui Peraturan Pemerintah No 6/1970.

Kalau Perpres No 2/1950 melarang PNS untuk golongan-golongan tertentu, Peraturan Pemerintah No 6/1970 melarang tujuh jenis jabatan yang bersih dari parpol. Jenis jabatan itu di antaranya anggota ABRI, PNS hankam, hakim, jaksa, dan jajaran Dewan Gubernur Bank Indonesia.

Dengan kata lain, presiden pertama dan kedua republik ini sedikit banyak bersikap risi dengan ”parpolisasi”. Sikap risi itulah yang kita basmi bersama-sama melalui Reformasi 1998 yang menegakkan kembali kepartaian sebagai tujuan berbangsa dan bernegara.

Ruang publik telah terbagi rata antara partai dan kita rakyat yang tidak tertarik bergabung dengan partai. Toh, pada kenyataannya kita rakyat yang tak berpartai tetap memilih politisi pada setiap pilpres, pileg, ataupun pilkada.

Fakta ini memperlihatkan bahwa politik bukan cuma monopoli partai. Partai dan politisi justru memperoleh legitimasi dari kita rakyat yang belum tentu ikut partai.

Sayangnya, saat ini partai dan sebagian dari kita rakyat, yakni relawan, seolah seperti minyak dengan air. Partai bak balok es yang keras membeku, relawan ibarat minyak oli bekas yang tercecer ke mana-mana.

Partai entitas politik yang menyatukan para anggotanya dengan ”ideologi”. Khusus di negeri ini, ideologi itu rupanya, suka atau tidak, sudah sarat dengan kepentingan yang pragmatis dan transaksional.

Relawan tidak memiliki ideologi, hanya kepentingan yang bersifat sesaat. Sama dengan partai, kepentingan relawan kurang lebih juga bersifat pragmatis dan transaksional.

Setelah merumuskan ideologi, partai menetapkan AD/ART yang mengikat. Mereka juga buka ”cabang” ke semua provinsi, lengkap dengan kepengurusan dari tingkat pusat hingga anak ranting.

Berhubung tidak punya ideologi, relawan mungkin tak perlu membuat AD/ART, membuka cabang atau membentuk pengurus yang sah dan didukung. Mungkin sekarang ini ada 1-2 kelompok relawan yang mengupayakannya, siapa tahu kelak pada tahun 2019 bisa ”naik kelas” menjadi partai.

Bagi partai, ideologi, AD/RT, dan cabang masih belum cukup. Mereka wajib mengadakan berbagai pertemuan (kongres, muktamar, musyawarah, dan lainnya) dari tingkat paling rendah sampai pusat. Pengurus harus disegarkan secara rutin demi menjaga kelangsungan kaderisasi.

Relawan tentu tidak sekaku itu, cuma bisa ”ngumpul-ngumpul” jika dibutuhkan. Tapi yang berjuang untuk kemerdekaan bukan cuma partai, relawan juga ikut menyingsingkan lengan baju.

Relawan kadang bersikap self righteous jika jagonya menang. Pengurus partai terbiasa menunggu instruksi alias tidak boleh mendahului sikap dan pernyataan resmi dari Dewan Pengurus Pusat (DPP).

Kalau lagi bete dengan pemimpin partai, kita bisa melancarkan demonstrasi mendatangi kantor mereka. Kalau bete sama pemimpin relawan yang menjadi pejabat publik, kita bingung mau nga- pain?

Di negara-negara Barat, independensi merupakan alternatif ideologi ketiga terhadap sistem dua partai seperti Partai Independen di Inggris atau capres seperti Ross Perot di Amerika Serikat. Di negeri ini, independensi menyeruak antara lain karena kekecewaan terhadap partai.

Apalagi ada sebagian kalangan menganggap relawan berperan sentral dalam memenangi Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014. Padahal, suara rakyatlah yang paling menentukan.

Independensi politik oleh relawan, juga partisipasi ”massa mengambang” seperti kita rakyat, akan semakin dinamis di masa mendatang akibat hiruk-pikuk pencalonan Pilgub DKI belakangan ini. Partai-partai hendaknya melihat fenomena ini sebagai pelajaran baru dalam demokrasi kita yang baru seumur jagung ini.

Relawan bukanlah ancaman atau lawan yang harus diversuskan. Relawan adalah kawan seiring-sejalan dalam proses memilih pemimpin-pemimpin, termasuk dari kalangan perseorangan, yang bertujuan memajukan serta menyejahterakan bangsa dan negara. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar