Ini Lho, kalau Mau Menguatkan KPK
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 27
Februari 2016
Ada materi
undang-undang (UU) yang bisa diperbaiki jika ingin menguatkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, sebelum itu, mari kita sambut dulu dengan
penuh hormat keputusan pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan
Rancangan Undang- Undang (RUU) Perubahan UU KPK.
Gerakan rakyat untuk
menolak revisi UU-KPK itu hebat. Gerakan-gerakan itu pula yang berkali-kali
berhasil menyelamatkan KPK sebagai anak kandung Reformasi. KPK memang
dibangun sebagai lembaga perkasa dengan berbagai kewenangan khusus dan sifat
superbody untuk memerangi korupsi.
Kehadiran KPK di dalam
mozaik penegakan hukum kita semula disambut gembira dan gegap gempita.
Koruptor harus diperangi oleh lembaga super karena sulit efektif kalau hanya
dihadapi lembaga-lembaga biasa.
Di dalam konsiderans
”Menimbang” UU No 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa KPK dibentuk karena
lembaga-lembaga biasa yang ada tidak optimal dan tidak efektif dalam
memberantas korupsi.
Tetapi, begitu KPK
mulai berhasil menangkap dan memenjarakan pejabat-pejabat korup, mulailah
terjadi serangan-serangan terhadapnya. Banyak yang menempuh jalur hukum untuk
membonsai KPK melalui gugatan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi. Sampai awal 2013 saja tidak kurang dari 12
kali UU KPK dimintakan judicial review.
Tetapi, sampai saat itu pula MK selalu memenangkan penguatan KPK.
Serangan terhadap KPK
tidak hanya melalui jalur hukum, tetapi juga melalui serangan fisik dan
psikis terhadap KPK. Ada beberapa peristiwa yang mengancam kelangsungan KPK,
tetapi selalu saja rakyat turun tangan menyelamatkannya. Hati nurani dan akal
sehat publik mendorong munculnya gerakan spontan dari masyarakat untuk membela
KPK sehingga KPK selalu selamat dari hantaman-hantaman yang destruktif
terhadapnya.
Terakhir, pembelaan
publik terhadap KPK berhasil menggagalkan pengesahan RUU tentang Perubahan UU
KPK yang sudah disahkan Badan Legislasi DPR untuk dibahas dalam proses legislasi.
RUU tersebut diprotes publik karena muatannya bertendensi dan sangat
berpotensi untuk melemahkan KPK. Meski para pengusul dan pembela RUU
mengklaim bahwa RUU tersebut dimaksudkan untuk menguatkan KPK, mereka tidak
pernah bisa menjelaskan, bagian atau kalimat mana dari empat butir materi
perubahan tersebut yang dimaksudkan untuk menguatkan KPK.
Sebaliknya, kalangan
yang menolak RUU tentang perubahan tersebut bisa menunjukkan bahwa empat hal
yang dirancangkan untuk perubahan justru malah melemahkan KPK. Saya sendiri
sudah menulis panjang lebar melalui media ini pekan lalu bahwa untuk ide
penataan penyadapan saja misalnya justru sangat jelas bisa melemahkan KPK.
Kita bersyukur,
ternyata Presiden peka terhadap gerakan nurani masyarakat ketika menyatakan
sikapnya dan mengajak DPR untuk bersikap sama dengannya yakni menunda
pembahasan RUU revisi UU KPK itu. Meski istilah yang dipakai adalah menunda
(bukan membatalkan), kita mensyukuri dan memberi apresiasi kepada Presiden
yang telah menyatakan sikapnya itu dengan gagah berani sehingga DPR pun tak
bisa menolaknya. Presiden telah mengambil langkah yang sesuai dengan tuntutan
masyarakat di alam yang demokratis sehingga layak diapresiasi.
Terbukti lagi untuk
kesekian kalinya, gerakan suara nurani rakyat berhasil mengalahkan gerakan
yang dinilai akan memundurkan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Gumpalan aspirasi rakyat telah menyelamatkan kembali KPK dari gempuran yang
akan melumpuhkannya. KPK harus berterima kasih kepada rakyat yang selama ini
telah membelanya habis-habisan. Rasa terima kasih itu harus diwujudkan dalam
tindakan nyata untuk memerangi korupsi dengan serius.
Masyarakat Indonesia
mengetahui dengan jelas kasus-kasus korupsi yang masuk dan ditangani KPK.
Masyarakat juga tahu kasus-kasus mana yang terasa diambangkan atau seakan
dihindari untuk disentuh. Jadi, KPK harus benar-benar profesional karena
masyarakat sudah cerdas.
Yang tersisa dari
ribut-ribut soal rencana revisi UU KPK ini adalah pengumuman resmi dari
Presiden dan DPR bahwa RUU revisi tersebut hanya ditunda, bukan dicabut dari
Prolegnas 2016. Rasanya ini masih menyandera UU KPK karena sewaktu-waktu bisa
dimunculkan lagi. Maka itu, sebaiknya pemerintah dan DPR segera membuat
kesepakatan bahwa revisi UU KPK dikeluarkan dari prolegnas, bukan hanya
ditunda pembahasannya. Prolegnas itu sederhana, ia hanyalah kesepakatan
antara pemerintah dan DPR tentang UU yang akan dibuat atau direvisi pada
periode yang bersangkutan.
Ia pun hanya
dituangkan dalam keputusan DPR dan bukan dituangkan dalam bentuk UU sehingga
lebih mudah untuk mencabutnya. Meski begitu, upaya memperkuat KPK tak perlu
terburu-buru dan materi penguatannya harus diubah. Ada dua hal yang dapat
direkomendasikan jika memang ingin menguatkan KPK.
Pertama, arahkan
perubahan UU No 30 Tahun 2002 agar untuk level dan skala tertentu hukum acara
pembuktian korupsi menggunakan pembuktian terbalik. Asal mau, tidaklah sulit
untuk membuat hukum acara yang seperti ini. Kedua, arahkan perubahan pada
ancaman hukuman bagi tindak pidana korupsi seperti yang dimuat di dalam UU No
20 Tahun 2001 menjadi diancam dengan maksimal hukuman mati.
Tak perlu lagi
disertai syarat ”jika korupsi dilakukan dalam keadaan krisis atau bencana”.
Tentukan saja bahwa ancaman maksimal bagi pelaku korupsi adalah hukuman mati
dan hukuman lain yang penerapannya diserahkan pada proses pengadilan sesuai
dengan skala korupsi dan level koruptornya. Ke arah dua hal itulah, perubahan
perlu dilakukan jika kita benar-benar ingin menguatkan KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar