Menjadi Sarjana
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 26
Februari 2016
Sekitar empat dekade
yang lalu, menyandang titel sarjana dari perguruan tinggi negeri (PTN) itu
sangat membanggakan dan jaminan diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS)
bagi yang berminat. Bagi orang tua pada umumnya, kalau anaknya sudah tamat
kuliah dan meraih titel sarjana, maka langkah berikutnya adalah masuk menjadi
PNS.
Dalam pandangan
masyarakat kampung, menjadi PNS itu merupakan idaman tertinggi. Orang tua
sering berkata, PNS itu tiap bulan pasti panen, tidak kenal musim kemarau
atau musim hujan seperti yang dialami para petani.
Sawahnya tidak pernah
dimakan tikus. Penghasilannya ajeg, setiap bulan terima gaji. Makanya banyak
orang tua yang menginginkan anak atau menantunya bekerja sebagai pegawai
negeri. Tapi sekarang keadaan sudah berubah.
Untuk diterima menjadi
PNS, peluangnya semakin sempit. Saking banyaknya peminat, sering terbetik
berita bisik-bisik bahwa untuk bisa diterima mesti membayar uang koneksi
minimal Rp50 juta.
Pada tahun 80-an
ketika tamat kuliah dari IAIN, jumlah pegawai negeri di kampung saya,
Pabelan, Magelang, tak melebihi jumlah jari tangan. Salah satunya adalah ayah
saya, Imam Hidayat, seorang tentara berpangkat prajurit, katanya sebagai
hadiah dari keikutsertaannya bergerilya melawan Belanda dan Jepang.
Sekolahnya setingkat SD pun tidak tamat. Ayah saya perangainya sangat halus,
sangat jauh dari kesan seorang militer.
Saya tidak pernah
bercerita pengembaraanku sampai berhasil jadi sarjana. Setahunya, saya
bekerja di Jakarta. Yang selalu saya lakukan hanyalah minta doa restu semoga
selamat lahir-batin bekerja di Ibu Kota.
Menjelang tamat dari
IAIN, almarhum Prof Harun Nasution, waktu itu menjabat rektor, meminta agar
saya nantinya mau bergabung menjadi dosen, berarti masuk PNS. Sebuah tawaran
yang menggembirakan, meskipun saya tidak terlalu antusias karena sudah
menikmati bekerja di dunia jurnalistik. Sejak kecil, saya memang mencintai
profesi guru. Kenangan masa kecilku tentang guru begitu indah, damai, dan
terhormat. Masih mudah mengingat kembali guru-guru SD yang telah menjadi
bagian dari perjalanan intelektual saya, antara lain Pak Djumali, Bu Ambar,
Pak Sugriwo, Pak Suratmin, Pak Suparman, Bu Romlah. Kadang muncul keinginan
berjumpa dan mencium tangan mereka sebagai tanda hormat dan terima kasih,
sekalipun saya tahu mereka sudah meninggal. Sering terpikir, sebagai seorang
dosen ataupun guru, apakah kesan dan penilaian mahasiswa terhadap saya?
Sampai hari ini,
jumlah sarjana ilmu sosial di Indonesia jauh lebih banyak dibanding ilmu-ilmu
alam dan teknik sehingga kekayaan alam yang sedemikian melimpah belum bisa
dieksplorasi secara efektif oleh putra-putra bangsa sendiri. Konon ceritanya,
Bung Karno banyak mengirimkan putra-putri bangsa terbaik belajar ke negara
blok Uni Soviet untuk mendalami ilmu teknik dan nuklir, agar kekayaan alam
Nusantara dikelola oleh bangsa sendiri. Tetapi mimpi Bung Karno itu
berantakan dengan terjadinya tragedi Gestapu, dan setelah itu kiblat
pendidikan kita beralih ke Barat, di mana ilmu sosial jadi primadonanya.
Sumber alam dieksplorasi dan dikuasai oleh modal asing (Barat).
Dari sekian banyak
program studi, rasanya hanya kedokteran yang paling jelas keahliannya. Begitu
tamat langsung bekerja sebagai dokter. Sebagai sarjana Ilmu Perbandingan
Agama, saya sendiri merasa tidak jelas profesi apa yang paling tepat. Saya
mempelajari berbagai agama dan filsafat, namun tidak cukup mendalam. Mirip
profesi wartawan, merasa mengetahui banyak hal tetapi serbasedikit. Sok tahu.
Untunglah saya senang membaca buku ilmu-ilmu sosial, meskipun hanya
pengantar, sehingga sangat membantu untuk melakukan intellectual adabtability dan mencari titik temu serta
interkoneksitas antardisiplin ilmu. Ini sangat diperlukan mengingat kehidupan
ini pada kenyataannya merupakan sebuah jejaring yang saling berkaitan (the web of life).
Sebagai sarjana Ilmu
Perbandingan Agama, suatu keniscayaan untuk mempelajari psikologi,
antropologi, sosiologi, dan sejarah, mengingat semuanya itu sangat
instrumental untuk memahami perkembangan agama dari masa ke masa.
Diperlukan interdisiplin
ilmu untuk mengkaji beragam ekspresi dan praktik keberagamaan dalam
masyarakat, sejak dari yang menonjolkan aspek sufisme sampai gerakan
fundamentalisme-radikalisme yang ingin mendirikan kekhilafahan dan senang
mengafirkan kelompok lain yang berbeda mazhab. Jadi, praktik keberagamaan itu
melahirkan banyak mazhab dan wajah.
Bagi orang luar, siapa
pun alumni IAIN dianggap ahli ilmu keislaman. Padahal, Islam sebagai warisan
peradaban dan studi keilmuan, dibagi ke dalam banyak cabang dan ranting sebagaimana
tecermin dalam banyaknya jumlah fakultas dan program studi UIN (Universitas
Islam Negeri) hari ini.
Oleh karena itu,
muncul candaan dan kritik terhadap alumni IAIN yang bergelar S Ag atau
Sarjana Agama, lalu dipelesetkan menjadi Sarjana Alam gaib, karena yang
dibicarakan seputar akhirat, atau Sarjana Acan gawe, karena sulit cari
pekerjaan.
Dengan berubahnya IAIN
menjadi UIN, dari institut ke universitas, banyak kajian dibuka, khususnya di
UIN Jakarta, seperti kedokteran, ekonomi, psikologi, politik, sains, yang
diintegrasikan dengan studi keislaman sebagai sarana mobilitas intelektual
anak-anak santri agar memiliki kecakapan teknokratik. Tapi sangat disayangkan,
pihak Kemenristek-Dikti tidak paham atau tidak ingin memahami agenda
integrasi keilmuan ini sehingga kurang sportif pada agenda UIN untuk membuka
prodi sains, misalnya jurusan Pertambangan atau Geologi yang jelas-jelas
dibutuhkan oleh kaum santri agar ikut serta mengeksplorasi dan mengelola
kekayaan alam negeri tercinta ini.
Dunia perguruan tinggi
sekarang ini tidak lagi hanya menekankan diri sebagai Teaching University, tetapi sudah bergerak menjadi Research University. Bahkan beberapa
perguruan tinggi sudah berada dalam tahapan Entrepreneurial University. Masing-masing memiliki standar dan
karakter tersendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar