Etos Kerja Penjaga Kuburan
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 28
Februari 2016
Beberapa waktu lalu
saya mengantarkan ibu saya untuk berziarah ke makam kerabat di Tempat
Pemakaman Umum (TPU) Panggung di Kota Tegal. Seperti layaknya TPU umumnya
yang saya ketahui, TPU Panggung ini tampak tidak terawat. Makam-makam kerabat
yang masih satu keluarga, yang kami kunjungi, terletak di bawah naungan
sebuah pohon kamboja yang teduh, tetapi dikelilingi rumput liar sehingga
tampak tidak bersih.
Kami ingin memanggil
penjaga kuburan agar makam kerabat kami itu dibersihkan. Tapi keluarga kami
yang asli Tegal mencegah, ”Tidak usah,” katanya, ”nanti sudah dikasih duit,
dia tidak kerjakan. Begitu kita pulang, mereka juga pergi.” Maka batallah
niat kami. Oh ya, ada sesuatu yang tidak saya lihat di pemakaman itu, yaitu
pembaca-pembaca doa.
Di TPU Tanah Kusir,
Jakarta, begitu terlihat ada peziarah, langsung 2- 3 tukang doa (setengah baya,
baju koko, kain sarung, sandal, peci, dan biasanya bawa payung) akan mendekat
dan mendoakan ahli kubur jika diminta dan sesudah menerima duit, mereka pun
ngeloyor pergi begitu saja.
Pemandangan seperti di
TPU Panggung dan TPU Tanah Kusir, sepengetahuan saya, ada di semua TPU.
Pemakaman yang tidak seperti itu mungkin hanya ada di Taman Makam Pahlawan,
pemakaman keluarga, atau dipemakaman komersial, yang penjaga kuburannya professional
dan dibayar dengan baik. Sisanya (maksud saya di TPU-TPU biasa) tidak terawat
karena para penjaga kuburnya cuma mau terima duitnya, tetapi nggak mau
kerjanya. Inilah yang saya namakan ”etos kerja penjaga kuburan”.
Tapi hati-hati.
Meskipun namanya ”etos kerja penjaga kuburan”, etos kerja seperti itu, bukan
monopoli penjaga kuburan. Di Kalimantan Timur, di jalan antara Balikpapan
hingga Samarinda, ada Bukit Suharto. Di era Suharto bukit itu dijadikan area
penanaman sekian juta bibit pohon untuk menghutankan kembali bukit yang sudah
gundul itu. Pemerintah menyediakan dananya dari dana reboisasi yang
diambilkan dari para pengusaha HPH (hak pengelolaan hutan). Peresmiannya
dilakukan Presiden Suharto sendiri.
Tapi ketika saya
beberapa waktu yang lalu bertugas ke Samarinda, saya masih menyaksikan
kondisi Bukit Suharto masih sama dengan keadaan sebelum Suharto lengser.
Pohon-pohon tinggi menjulang, hanya berderet di sepanjang jalan raya, tetapi
di balik itu masih bukit yang gundul belaka.
Mereka yang
bertanggung jawab pada proyek, pengembangan, dan pemeliharaannya saya bilang
juga beretos kerja penjaga kuburan karena mereka cuma mau duitnya, tetapi
emoh kerjanya. Mereka itu juga para PNS, pejabat negara, dan birokrat yang
seharusnya justru menjadi ikon etos kerja. Beberapa di antara mereka bahkan
tertangkap tangan oleh KPK dan dijebloskan ke penjara.
Di sisi lain, ada juga
penjaga kuburan yang beretos kerja tinggi, yaitu yang mau kerja keras,
optimistis, produktif, inovatif, dan berdaya saing. Istri saya yang bermata
jeli mengenali salah satu penjaga kuburan di TPU Tanah Kusir bernama Pak
Rohim yang lebih rajin daripada penjaga-penjaga kuburan yang lain. Orang ini
kemudian direkrut istri saya untuk merawat makam kedua orang tuanya dengan
diberi uang bulanan. Maka makam mertua-mertua saya itu pun selalu bersih
terpelihara dengan rumput yang selalu terpotong rapi dan pohon kamboja yang
subur menaungi makam.
Dengan demikian kapan
pun istri saya mau berkunjung, makam itu selalu dalam keadaan bersih. Dalam
hitungan menit Pak Rohim sudah hadir dengan membawa kendi berisi air bersih
untuk menyiram pusara. Untungnya istri saya cukup rajin mengunjungi makam
kedua orang tuanya dan untuk mengontrol hasil kerja Pak Rohim sekaligus.
Kesimpulannya, etos kerja itu bisa tumbuh dan berkembang jika ada niat dari
dalam dan ada kontrol dari luar.
Dengan prinsip yang
sama, para PNS, pejabat negara, dan birokrat sebetulnya juga bisa didorong
atau dibuat agar bisa mempunyai mental etos kerja seperti Pak Rohim.
Prinsipnya mudah saja, yaitu beri imbalan (gaji atau remunerasi) yang baik
dan kontrol kerjanya dengan ketat. Kalau ada yang kerja tidak baik, copot
atau pecat sekalian. Dalam bahasa psikologi, metode untuk membangkitkan etos
kerja seperti ini disebut metode reinforcement
atau reward-punishment.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa masih banyak sekali daerah dan
sektor-sektor (kementerian/ lembaga), bahkan juga anggota DPR/DPRD, yang
belum bisa menerapkan metode reinforcement
ini?
Untuk kalangan
legislatif lebih mudah menjawabnya, yaitu karena memang mereka tidak punya
etos kerja dari dalam diri sendiri (betul-betul masih beretos kerja penjaga
kuburan), juga tidak ada kontrol dari luar atas kinerja mereka. Mereka
sendiri mengklaim dirinya sebagai kontrol atas kinerja pemerintah, tetapi
mereka juga ngotot mau mengubah UU KPK yang dianggap bisa mengancam etos
kerja penjaga kuburannya.
Di lingkungan pemda,
saya perhatikan dari sesi tanya jawab dengan para PNS, pejabat negara, dan
birokrat lokal ketika saya bertugas menyosialisasi Gerakan Nasional Revolusi
Mental ke daerah-daerah, kendala untuk mengubah etos kerja itu sebetulnya
bersumber kepada kepala daerah sendiri.
Betapapun para PNS,
pejabat negara, dan birokrat setempat itu mau bekerja dengan etos kerja yang
tinggi, selalu ada perintah dari Pak Wali atau Bupati untuk menyetor sekian
persen atau menarget sekian miliar rupiah untuk pengganti biaya kampanye
beliau-beliau ketika mereka masih nyalon.
Sebaliknya saya
perhatikan juga bahwa daerah-daerah yang maju seperti Provinsi DKI, Jawa
Tengah, Kota Bandung, Surabaya, Kabupaten Batang, Jember, Bantaeng,
Banyuwangi, dan masih ada beberapa yang lain, adalah daerah-daerah yang
dipimpin kepala daerah yang sudah selesai dengan diri sendiri, sudah tidak
punya ambisi apa-apa untuk diri sendiri, dan memenangi pilkada juga terutama
karena kekuatan sendiri, bukan terutama karena sokongan parpol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar