Tak Mudah Menjadi Penengah
Siti Mutiah Setiawati ;
Dosen Fisipol dan Kajian Timur
Tengah,
Sekolah Pascasarjana UGM
|
KOMPAS, 05 Maret
2016
Dukungan Indonesia
terhadap kemerdekaan Palestina selalu konsisten sejak Presiden Soekarno
hingga Presiden Joko Widodo. Dukungan Indonesia dapat diamati dari masa
kepemimpinan presidennya. Dukungan Soekarno yang menonjol ialah diundangnya
Grand Mufti Jerusalem Haji Amin al-Husseini pada Konferensi Asia Afrika di
Bandung tahun 1955; Presiden Soeharto mengakui Organisasi Pembebasan
Palestina (PLO) dan membuka Kantor PLO di Jakarta pada tahun 1989; Presiden
Megawati Soekarnoputri menghadiri KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tahun
2003 di Putrajaya, Malaysia, dengan mengatakan tidak ada perdamaian dunia
tanpa penyelesaian konflik Arab-Israel dengan adil; Presiden SBY mengunjungi
pemakaman Yasser Arafat di Mesir tahun 2004 sebagai kunjungan kepresidenan
yang pertama di sesi pertama kepemimpinannya, dan Presiden Joko Widodo
menerima permintaan Maroko dan OKI agar Indonesia menjadi penyelenggara KTT
OKI Luar Biasa pada 2016.
Alasan penerimaan
Indonesia menjadi tuan rumah KTT OKI yang akan diselenggarakan pada 6-7 Maret
2016 karena Indonesia ingin berperan sebagai penengah konflik internal
Palestina antara Hamas dan Fatah agar negara Palestina merdeka cepat
terwujud. Apakah Indonesia dapat menjadi penengah yang baik dalam konflik
ini, adalah pertanyaan yang jawabannya ditunggu oleh masyarakat
internasional.
OKI, dahulu disebut
Organisasi Konferensi Islam, adalah organisasi internasional yang anggotanya
terdiri dari negara-negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Latar belakang pendirian OKI ialah munculnya solidaritas
Islam ketika Masjidil Aqsa di Jerusalem dibakar oleh seorang Yahudi pada 21
Agustus 1969. Pada 22-25 September 1969 beberapa negara Islam bertemu di
Rabat, Maroko, sepakat mewujudkan solidaritas Islam dalam organisasi.
Indonesia sejak awal
menunjukkan dukungan terhadap OKI dengan menghadiri Konferensi OKI di Jeddah
tahun 1972. Akan tetapi, Indonesia menolak menandatangani Deklarasi OKI yang
menyebutkan anggota OKI adalah negara Islam. Indonesia pada akhirnya bersedia
menandatangani Deklarasi OKI menjelang kejatuhan Presiden Soeharto tahun
1998.
Peranan yang dapat dimainkan
Ada beberapa peranan
yang biasa dimainkan oleh suatu negara dalam penyelesaian suatu konflik
antarnegara atau kelompok, yaitu mediator, fasilitator, justifikator, dan
partisipan. Dalam hal penyelesaian konflik Arab-Israel, Indonesia telah
menunjukkan peranannya terutama sebagai partisipan atau pihak yang
berpartisipasi aktif mengimplementasikan perdamaian dengan mengirimkan
pasukan perdamaian ke Sinai pasca Perang Sinai 1956 yang tergabung di dalam
United Nations Emergency Forces (UNEF), dan ke Lebanon khususnya setelah
serangan Israel atas Lebanon Selatan tahun 2006 yang kemudian tergabung dalam
pasukan Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa di Lebanon (UNIFIL). Dua
peranan ini sepertinya berjalan lancar hingga saat ini meskipun Israel pernah
menolak pasukan perdamaian asal Indonesia yang dinilai terlalu berpihak
kepada Palestina.
Akan tetapi, jika
Indonesia menginginkan berperan sebagai mediator atau penengah, saat ini
kasus yang dihadapi bukan antara Arab Palestina dan Israel, tetapi sesama
Palestina. Syarat utama menjadi mediator ialah netral, mengetahui
permasalahan yang menjadi sumber konflik utama maupun pendukung, dan diterima
serta dipercaya oleh kedua belah pihak.
Konflik internal
Palestina yang dimaksud ialah konflik antara Hamas dan Fatah yang merupakan
unsur utama bangsa Palestina. Hamas atau Gerakan Perlawanan Islam didirikan
oleh Ahmad Syah Yassin tahun 1987. Gerakan ini sejak awal termasuk gerakan
politik Islam, yaitu gerakan yang bertujuan menerapkan hukum Islam (syariat
Islam) sehingga negara Palestina merdeka yang dicita-citakan adalah negara
Islam. Sangat kontras dengan Fatah yang didirikan Yasser Arafat tahun 1967,
mencita-citakan Palestina merdeka nanti merupakan negara sekuler yang
memisahkan urusan agama dengan negara. Perbedaan ideologi ini tidak mudah
disatukan ataupun dikompromikan karena perbedaan ini justru merupakan
identitas yang menjadi daya tarik dukungan masing-masing.
Dukungan terhadap
Hamas tampak pada kemenangannya dalam pemilu Otoritas Palestina tahun 2006.
Kemenangan ini tidak diakui Israel ataupun Amerika Serikat dan selanjutnya
dianulir. Sikap negara lain terhadap kemenangan Hamas menunjukkan dukungan
mereka terhadap Fatah yang dikenal moderat. Cara perjuangan Hamas sebagai
gerakan politik sering menggunakan kekerasan sehingga gerakan ini
dikategorikan sebagai gerakan teroris, khususnya oleh AS.
Perbedaan kontras di
antara keduanya ditambah dengan perlakuan tidak demokratis terhadap
kemenangan Hamas membuat kedua kelompok ini terlibat perang setelah 2006 yang
menelan korban sedikitnya 600 orang Palestina dari kedua belah pihak.
Selanjutnya Fatah yang kemudian pemimpinnya, yaitu Mahmoud Abbas, menjadi
presiden yang menguasai wilayah Otoritas Palestina (Palestinian National
Authority) yang sebagian besar berada di Tepi Barat, sementara Hamas di bawah
kepemimpinan Khaled Messal seolah menguasai seluruh Jalur Gaza.
Perbedaan ideologi
mengakibatkan perbedaan yang lain, yaitu perbedaan sikap dalam menghadapi
Israel. Hamas cenderung tidak kompromi dan tidak bersedia mengakui eksistensi
Israel, serta sering dituduh melakukan serangan roket Katyusha ke arah
wilayah teritori Israel. Akibatnya, Israel pernah membombardir Gaza tahun
2008 dan 2014 yang mengakibatkan kerusakan dan korban masif di pihak Hamas
dan warga Gaza. Sementara Fatah cenderung moderat, mengakui eksistensi
Israel, dan bersedia berunding dengan negara Yahudi ini.
Dipercaya kedua pihak
Dengan latar belakang
seperti itu, jika ingin mendamaikan keduanya dengan berperan sebagai penengah
atau mediator selain harus netral terhadap perbedaan mereka, Indonesia juga
harus dipercaya oleh kedua belah pihak. Untuk syarat yang terakhir sepertinya
Indonesia telah mendapatkan, yaitu dengan kunjungan Mahmoud Abbas ke
Indonesia beberapa waktu lalu. Adapun dari pihak Hamas, Indonesia diakui
sebagai negara yang berjasa membuka perbatasan Rafah dengan Mesir ketika Gaza
diserang Israel tahun 2008, dan pembukaan rumah sakit di Gaza yang didukung
oleh Palang Merah Indonesia dan Mer-C.
Kepercayaan terhadap
Indonesia bertambah karena Indonesia menjadi anggota ”Committee on Al-Quds”
yang didirikan pada 1975, anggotanya terdiri atas 15 negara dari 50 negara
anggota OKI. Komite ini merupakan bagian dari OKI yang di antaranya bertugas
mengimplementasikan resolusi-resolusi konflik Arab-Israel, khususnya yang
berhubungan dengan masalah Al-Quds (Jerusalem) dalam konflik tersebut.
Seperti diketahui bahwa masalah Jerusalem termasuk masalah inti yang
disengketakan antara Palestina dan Israel. Bagi Hamas, Palestina merdeka
kelak akan menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota, sementara Israel telah lama
menjadikan Jerusalem sebagai ibu kotanya meskipun belum diakui secara
internasional karena masih dalam sengketa.
Indonesia dalam
kerangka Committee on Al-Quds dapat menjadikan masalah rencana pembangunan
3.600 unit permukiman Israel di Jerusalem Timur sebagai persoalan bersama
Hamas dan Fatah sehingga mereka dapat bersatu. Hal ini sesuai dengan resolusi
pada KTT OKI ke-12 yang menghasilkan ”Cairo Final Communiqué Al-Quds
al-Syarif” yang mengimbau masyarakat internasional untuk mengimplementasikan
resolusi-resolusi yang menyangkut nasib bangsa Palestina. Biasanya masalah
bersama dapat menyatukan pihak yang bersengketa selama keduanya juga
mempunyai kepentingan bersama, yaitu kemerdekaan Palestina yang diwujudkan
secara damai mengingat korban sudah terlalu banyak.
Bagi Indonesia,
peranan sebagai mediator memang tak mudah, tetapi juga bukan tak mungkin.
Meski demikian, peranan sebagai fasilitator tampaknya lebih mudah, artinya
kita menyediakan fasilitas perundingan, tetapi memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada Hamas dan Fatah menemukan sendiri cara bersepakat.
Indonesia sudah pernah berhasil mendamaikan Kamboja, juga Moro di Filipina
Selatan, dengan berperan sebagai fasilitator. Sementara sebagai partisipan,
Indonesia dihargai partisipasinya dalam pasukan perdamaian, dan Indonesia
selama 2008-2013 telah membantu capacity building Palestina mencakup
pembangunan sosial, ekonomi, pemerintahan, infrastruktur, dan keuangan.
Semoga Pemerintah
Indonesia dapat menjalankan peranannya dengan baik di dalam KTT Luar Biasa
OKI 2016 ini. Dengan demikian, selain meneruskan konsistensi politik luar
negeri Indonesia yang turut mewujudkan perdamaian internasional, juga turut
mendorong kemerdekaan Palestina dengan cara mengatasi masalah internalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar