Sabtu, 05 Maret 2016

Aborsi Pendidikan

Aborsi Pendidikan

Sidharta Susila ;   Pendidik di Muntilan
                                                       KOMPAS, 05 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun pembelajaran baru masih beberapa bulan ke depan. Namun, geliat mendapatkan siswa baru telah gencar digerakkan. Bagaimanapun, adanya siswa adalah keniscayaan bagi kehidupan sebuah sekolah.

Meski adanya siswa sebuah keniscayaan bagi keberlangsungan sekolah, adalah tragedi apabila demi keberlangsungan hidup sekolah, siswa hanyalah angka. Pada kondisi itu, siswa tak lagi disikapi dan digulati sebagai pribadi. Ia tak lebih sarana untuk menjaga keberlangsungan hidup sekolah. Nasibnya lebih rendah daripada martabat budak: ia cuma sarana tak berjiwa.

Adalah hal yang pantas disyukuri ketika masyarakat ikut terlibat mengelola pendidikan di negeri ini. Mereka melakukannya dengan membangun sekolah swasta. Ada beragam alasan mengapa membangun sekolah swasta. Kini, kita mengenal sekolah swasta berbasis agama dan swasta nasional.

Meski demikian, kini banyak sekolah swasta mulai kekurangan siswa, khususnya sekolah-sekolah swasta di daerah-daerah. Di daerah-daerah terjadi persaingan mendapatkan siswa baru.

Layaknya persaingan, berbagai jurus digunakan untuk menggaet siswa-siswa baru. Sayangnya, jurus-jurus persaingan yang dilancarkan acap kali jauh dari hakikat pendidikan. Itu semacam jurus mabuk. Jurus itu dimabukkan oleh target yang penting mendapatkan siswa.

Jurus-jurus mabuk itu berupa: rayuan gratis uang gedung dan uang sekolah bulanan selama sejumlah waktu; membangun sarana sehingga mengesankan sekolah megah dan mewah meski sarana itu belum tentu dibutuhkan; tawaran fasilitas antar-jemput; tawaran asrama; hingga—yang paling menyedihkan dan mengkhawatirkan—memainkan muslihat isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Akibatnya, begitu banyak persaingan mendapatkan siswa baru itu tak lagi sehat, kasar, pembual lagi licik. Namun, yang lebih tragis adalah sesungguhnya hakikat pendidikan sendiri yang ingin membentuk manusia yang tumbuh berkembang utuh bermartabat telah dihancurkan ketika dinamika pendidikan belum dimulai. Itulah aborsi pendidikan.

Aborsi pendidikan digencarkan kepada orangtua calon siswa baru yang diintimidasi dengan isu SARA ketika hendak menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah berbasis agama yang berbeda dengan agama yang dihayati. Aborsi pendidikan juga terjadi ketika sekolah menjanjikan pendidikan yang memanjakan siswa dengan aneka fasilitas. Pendidikan yang memanjakan siswa dengan sarana-prasarana efektif menghancurkan sendi-sendi karakter pembelajar siswa.

Sekolah yang gelisah

Janji fasilitas asrama juga berpotensi mengaborsi pendidikan. Ini bisa terjadi pada sekolah yang ketika didirikan tak dirancang sebagai sekolah yang terintegrasi dengan asrama.

Aborsi pendidikan jadi nyata ketika setelah pembelajaran dimulai pengelola sekolah tak memberdayakan diri dalam pengelolaan sekolah berasrama. Pengelola sekolah seperti menangkap kejenuhan dan kewalahan begitu banyak orangtua mendampingi anaknya dan memanfaatkannya hanya demi memperoleh siswa baru. Tanpa sadar, roh hedonisme dan pragmatisme terinjeksi pada sekolah itu justru sebelum dinamika pendidikan dimulai. Masih banyak wujud aborsi pendidikan yang lain.

Semoga para orangtua lebih sadar akan jebakan muslihat pencarian siswa baru bagi anak-anaknya. Sekolah-sekolah yang mencari siswa baru dengan jurus mabuk yang membabi buta itu adalah sekolah yang dikelola dengan gelisah. Dalam kegelisahan itu, mereka akan berjuang melindungi siswanya, bukan demi mendidik, tetapi hanya demi angka. Sebab, pada setiap siswa menjanjikan angka rupiah dari negara yang luar biasa.

Sekolah yang memainkan isu SARA dalam merekrut siswa baru juga berdinamika serupa. Muslihat menyelamatkan jiwa dalam jalur SARA menjadi alasan untuk mengikat siswa. Lalu mereka membangun benteng untuk memisahkan dan mengeksklusifkan. Dinamika pembelajaran pun kerap kali dirancang ekstrem dan eksklusif.

Tidakkah dengan cara semacam ini anak-anak kita sedang dikerdilkan, diciutkan horizon hidupnya, dan efektif memasukkan mereka dalam tempurung sempit hidupnya? Anak-anak kita tak lagi dididik dalam kemerdekaan dan kebermartabatannya. Anak-anak kita hanyalah sarana penuntas melepas dera kegelisahan pengelola sekolah.

Waspadalah! Cintailah anak-anak kita. Jadikan mereka tumbuh berkembang menjadi manusia bermartabat dengan memilih sekolah yang dikelola dengan bermartabat pula. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar