Reorientasi Tenaga Kerja
Ah Maftuchan ;
Direktur Eksekutif Perkumpulan
Prakarsa
|
KOMPAS, 05 Maret
2016
Kemiskinan masih
menjadi salah satu problem utama pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah rakyat miskin, penduduk dengan
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, sebanyak 28,59
juta orang, setara dengan 11,22 persen penduduk (Maret 2015). Mereka inilah
yang berada dalam kemiskinan kronis karena berada di bawah garis kemiskinan:
pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp 312.328. Bank Dunia (2014)
mencatat penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan jumlahnya
masih besar, 65 juta jiwa, sangat rentan jatuh miskin.
Lembaga pemikir dan
peneliti Perkumpulan Prakarsa (2015) menambahkan,kemiskinan moneter, ala BPS
dan Bank Dunia di atas, tidak memadai untuk melihat kemiskinan secara
komprehensif. Melalui Indeks Kemiskinan Multidimensi, Prakarsa memasukkan
tiga dimensi (kesehatan, pendidikan, dan standar hidup) untuk melihat
kemiskinan multidimensi di Indonesia. Hasilnya, angka kemiskinan multidimensi
Indonesia masih tinggi, yakni 29,7 persen pada 2014. Artinya, 79,5 juta jiwa
atau 19,3 juta rumah tangga tergolong miskin multidimensi, yakni terjerat
masalah pendidikan, kesehatan, dan standar hidup.
Sebaran pekerjaan
Meskipun sudah menjadi
anggota G-20—kelompok negara-negara yang menguasai 85 persen PDB dunia, 75
persen perdagangan dunia, dan dua pertiga jumlah penduduk dunia—Indonesia
masih tergolong negara lower-middle-income-country (pendapatan per kapita
sekitar 1.046-4.125 dollar AS). Artinya, faktor utama keikutsertaan Indonesia
di G-20 adalah karena jumlah penduduknya. Kontribusi Indonesia dari sisi
produksi dan perdagangan masih minim.
Dengan jumlah angkatan
kerja pada Agustus 2015 mencapai 122,38 juta orang, yang bekerja hanya 114,82
juta orang. Sebanyak 48,5 juta orang atau 42,24 persen bekerja pada sektor
formal dan 66,3 juta orang atau 57,76 persen bekerja pada sektor informal.
Dari latar belakang pendidikan, pekerja formal masih didominasi penduduk
berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah sebanyak 50,8 juta orang atau 44,27
persen; SMP sebanyak 20,7 juta orang atau 18,03 persen; dan sebanyak 12,6
juta orang berpendidikan tinggi (BPS: 2015).
Sementara itu,
pengangguran terbuka (unemployment) masih tinggi, mencapai 7,56 juta orang.
Di sisi lain, ada kecenderungan kelompok setengah pengangguran
(under-employment) meningkat setiap tahunnya.
Berdasar data BPS,
jika tenaga kerja dilihat dari sektor pekerjaannya, sektor 1 (pertanian,
kehutanan, perburuan, kehutanan, dan perikanan) masih menjadi sektor paling
banyak menyerap tenaga kerja, yakni 37,75 juta orang (32,88 persen) pekerja.
Sektor 3 (industri pengolahan/ manufaktur) menyerap 15,2 juta (13,29 persen)
tenaga kerja, sektor 5 (bangunan dan konstruksi) menyerap 8,2 juta (7,15
persen) pekerja dan sektor 6 (perdagangan, rumah makan, hotel dan retail)
menyerap 25,6 juta pekerja (22,37 persen).
Tingginya sektor
informal di Indonesia menunjukkan ketidaksinkronan antara struktur ekonomi
dan struktur pasar kerja. Perekonomian mengalami pergeseran dari sektor
agraris (cenderung informal) ke sektor industri dan jasa (cenderung formal).
Tenaga kerja masih berada pada sektor agraris, tetapi bergerak ke arah
formal. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan
masih tertinggi, tetapi kontribusi sektor ini dalam perekonomian nasional
cukup rendah. Sektor ini hanya menyumbang 15 persen PDB.
Dengan singkat,
pergeseran struktur ekonomi nasional tidak diikuti dengan reorientasi pasar
tenaga kerja. Bahkan, pemerintah terkesan gamang dalam menyikapi perubahan
ini. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah menjadikan infrastruktur
salah satu prioritas pembangunan, yang tentu membutuhkan tenaga kerja ahli di
bidang teknik sipil, pertukangan, dan bangunan. Jika pasar ini tidak segera
ditangkap, tenaga kerja pertukangan dan bangunan akan didatangkan dari negara
lain, Tiongkok dan Filipina, misalnya.
Jelas kiranya
pemerintah perlu melakukan upaya lebih sistematis penyiapan tenaga kerja dan
penciptaan tenaga kerja yang selaras dengan struktur ekonomi yang berjalan.
Kementerian Ketenagakerjaan yang bertugas di bidang ketenagakerjaan belum
memiliki ”cetak biru” penciptaan tenaga kerja terampil dalam jumlah lebih
besar dan selaras dengan pasar kerja.
Balai latihan kerja
yang menjadi garda depan kementerian ini untuk mencetak tenaga kerja terampil
di berbagai bidangjumlahnya terlalu sedikit dan dengan kualitas yang kurang
baik, bahkan ”hidup segan, mati tak mau”. Revitalisasi dan reposisi peran,
pengembangan infrastruktur, kurikulum, tenaga pendidik, dan jumlah peserta
didik harus segera dilakukan dengan cepat dan baik.
Sudah waktunya
kebijakan dan anggaran negara hadir untuk mendukung kesempatan bagi pencari
kerja dan angkatan kerja Indonesia mendapatkan pekerjaan dengan upah layak.
Minimnya dana
Salah satu masalah
adalah minimnya pendanaan bidang ketenagakerjaan di Indonesia. Negara-negara
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) rerata, setiap tahun (2004-2011),
mengeluarkan 0,6 persen anggaran dari total PDB-nya untuk program
pelatihan-pemagangan kerja kejuruan teknis (TVET) dan dukungan aktif
penciptaan lapangan kerja baru.
Sementara total
alokasi APBN untuk Kementerian Tenaga Kerja kurang dari 0,1 persen dari total
PDB Indonesia, yakni Rp 3,8 triliun (2016), turun dari Rp 4,2 triliun (2015).
Jika pemerintah berkomitmen mendukung sumber daya manusia Indonesia yang
berdaya saing global, produktif, dan terampil, sudah waktunya dilakukan
reorientasi kebijakan alokasi anggaran untuk percepatan penciptaan tenaga
kerja.
Estimasi awal,
sedikitnya perlu alokasi dana Rp 10 triliun-Rp 20 triliun per tahun. Dengan
alokasi sebesar ini, sebanyak 1 juta-1,5 juta tenaga kerja terampil dapat
disiapkan per tahun.
Reorientasi diarahkan
untuk penciptaan tenaga kerja yang cakap, masif, dan selaras dengan pasar
kerja. Langkah yang dapat dipacu antara lain revitalisasi pelatihan,
pemagangan dan pendampingan kerja; fasilitasi penciptaan lapangan kerja baru
(start-up); program kerja sama dengan korporasi; program padat karya;
sertifikasi; subsidi tenaga kerja sosial; dan basic income bagi pengangguran.
Jika program ini dijalankan, hal itu akan menjadi pull factor dan sekaligus
menjadi push-factor bagi upaya mewujudkan kesejahteraan di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar