Prospek Harga Minyak
Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti;
Pendiri ReforMiner Institute
|
KOMPAS, 11 Maret
2016
Ada sementara pandangan yang mengatakan bahwa harga minyak tak
bisa diprediksi dan oleh karena itu tak perlu bersusah payah melakukan kajian
dan analisis mendalam terhadapnya. Banyak pula yang mengatakan biarkan saja
karena harga minyak tak lebih dari sekadar siklus. Jika sekarang turun,
tinggal ditunggu saja saat kenaikannya.
Pandangan semacam itu sebenarnya wajar dan sah-sah saja. Namun,
untuk tingkat pemerintahan suatu negara, saya berpendapat tidak selayaknya
para pengambil kebijakan dan penyelenggara pemerintahannya hanya pasif saja
dalam melihat fenomena pergerakan harga minyak yang ada. Kejelian dan ketepatan
dalam membaca arah pergerakan harga minyak akan sangat membantu di dalam
merumuskan kebijakan maupun dalam memutuskan langkah apa yang perlu
dilakukan. Termasuk di dalam menyiapkan langkah antisipasi seandainya
prediksi yang dilakukan tidak cukup tepat.
Dalam konteks pergerakan harga minyak tahun 2016, saya melihat
pemerintah dan DPR sebenarnya memiliki peluang untuk dapat mengambil
kebijakan yang lebih progresif dan dapat memberikan manfaat lebih bagi
perekonomian. Mencermati perkembangan harga dan faktor yang memengaruhinya
hingga kini, saya memprediksi rata-rata harga minyak sepanjang 2016 akan
lebih berpeluang tetap berada pada kisaran rendah, di bawah 40 dollar AS per
barrel.
Pasar minyak dunia pada 2016 masih akan tetap mengalami
kelebihan pasokan, sekitar 1 juta barrel per hari (menurun dari 2 juta barrel
per hari pada 2015). Akan mulai ada pengurangan produksi di negara non-OPEC,
seperti AS, tetapi skalanya tidak signifikan, di bawah 1 juta barrel per
hari. Sementara produsen utama yang lain, seperti OPEC dan Rusia, masih akan
tetap mempertahankan tingkat produksinya saat ini. Iran berpotensi menambah
produksi OPEC hingga 600.000 barrel per hari. Di sisi permintaan, pertumbuhan
permintaan sepanjang 2016 kemungkinan akan menurun, dari kisaran 1,54 juta
barrel menjadi 1,25 juta barrel per hari.
Persediaan minyak di seluruh dunia diperkirakan akan melambat
pada semester II-2016. Namun, akumulasi persediaan masih tetap akan tinggi,
di atas 5 miliar barrel, sebagai hasil akumulasi penimbunan persediaan yang
dilakukan banyak negara sepanjang 2015. Jumlah ini sangat lebih dari cukup
untuk berfungsi sebagai ”stabilisator” harga minyak dunia untuk jangka
pendek. Dengan demikian, jika tak ada kejadian luar biasa yang dapat
menimbulkan guncangan pasokan, seperti perang atau konflik geopolitik skala
besar di negara-negara produsen, kecil kemungkinan harga akan melonjak
signifikan pada 2016. Sentimen positif yang dapat memicu lonjakan permintaan
dan harga, seperti halnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang tinggi pada 2008,
juga kecil kemungkinannya untuk terjadi pada tahun ini.
Maka, pemerintah dan DPR sebenarnya saat ini memiliki peluang
untuk menghemat APBN 2016 sekitar Rp 16 triliun dengan mencabut subsidi solar
yang selama ini ditetapkan konstan Rp 1.000 per liter. Subsidi solar dicabut,
tetapi harga tetap tidak berubah di kisaran Rp 5.000-Rp 6.000 per liter.
Sementara, harga premium yang saat ini Rp 6.950 per liter dan sudah tidak
lagi disubsidi dapat diturunkan lagi.
Beberapa kalangan, terutama yang lebih mendasarkan pandangannya
bahwa harga minyak tak lebih sekadar siklus, memprediksi bahwa harga akan
mulai membaik, di atas 50 dollar AS per barrel pada 2017 dan akan meningkat
lagi sesudahnya. Saya melihatnya sedikit berbeda. Benar bahwa fenomena turun
dan rendahnya harga minyak saat ini adalah bagian dari siklus, tetapi ini
siklus yang lebih dipicu faktor (kelebihan) pasokan, dan bukan permintaan.
Untuk pasar minyak, sisi pasokan lebih langsung berhubungan dengan faktor
produksi hulu yang dalam penyesuaiannya memerlukan waktu.
Di sisi permintaan, jika pun ada penurunan permintaan karena
tekanan ekonomi, waktu penyesuaiannya akan lebih singkat karena minyak
bagaimanapun (masih) merupakan sumber energi primer utama yang dibutuhkan
banyak negara di dunia. Dengan kata lain, untuk pasar minyak, siklus yang
disebabkan oleh faktor pasokan biasanya cenderung akan bertahan lebih lama
dibandingkan yang dipicu oleh faktor permintaan.
Setelah 2016
Lonjakan harga signifikan yang terjadi pada 2008, hingga
mencapai 147 dollar AS per barrel, tidak bertahan lama dan turun hingga di
bawah 40 dollar AS per barrel pada 2009, karena lebih dipicu oleh sentimen
kenaikan permintaan akibat tingginya pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Kondisi
itu berbeda dengan periode 2009 sampai pertengahan 2014, di mana harga
cenderung bertahan tinggi untuk saat yang lebih lama karena hal itu lebih
dipicu oleh faktor pasokan. Bahkan, faktor pasokan pun saat itu sebenarnya
tak terlalu fundamental—yaitu lebih didasari persepsi negatif bahwa akan
terjadi kelangkaan pasokan akibat adanya konflik di beberapa negara Timur
Tengah, seperti Mesir, Libya, dan Suriah.
Siklus harga rendah lama, dengan fluktuasi di dalamnya, terjadi
pada periode 1986-2000, awalnya dipicu oleh bertambahnya pasokan dari Arab
Saudi yang berusaha mendapatkan pangsa pasarnya kembali pada 1986, ditambah
dengan bertambahnya pasokan dari Iran dan Irak pasca perang 1988. Harga
semakin rendah karena permintaan minyak dunia menurun seiring terjadinya
krisis ekonomi di sejumlah negara, termasuk Indonesia, pada 1997-1998. Namun,
penurunan harga lebih rendah yang terjadi pada 1998-2000 ini, karena lebih
dipicu oleh faktor (turunnya) permintaan, juga lebih cepat kembali. Harga
mulai membaik dan terus meningkat sejak 2001.
Yang terjadi saat ini, siklus harga rendah disebabkan faktor
(berlebihnya) pasokan yang jauh lebih fundamental. Revolusi teknologi
perminyakan—yaitu perekahan batuan (fracking)
shale yang telah berhasil melipatgandakan produksi minyak mentah AS dari
”hanya” 5 juta barrel per hari pada 2005 menjadi di atas 9 juta barrel per
hari saat ini—tidak hanya akan mengubah kondisi pasokan pasar minyak dunia
untuk saat ini, tetapi juga 10-20 tahun mendatang. Konstelasi pasar minyak
global, terutama dari sisi pasokan, akan berubah.
Cadangan shale oil di AS yang secara teknis dapat diproduksikan
(technically recoverable) disebut mencapai 400 miliar barrel. Angka ini
hampir dua kali lipat cadangan minyak terbukti Arab Saudi yang saat ini 260
miliar barrel. Padahal, potensi shale oil dalam skala besar tak hanya
terdapat di AS, tetapi juga Rusia, Tiongkok, Jordania, Brasil, Maroko,
Australia, dan Kanada (Indonesia juga, tetapi sifatnya masih indikatif).
Produksi shale oil di AS terbukti dapat bertahan, tidak hanya pada tingkat
harga 60 dollar AS per barrel, tetapi juga di bawah 40 dollar AS per barrel
seperti saat ini.
Jika tidak ada faktor luar biasa yang dapat menghambat pasokan
(misalnya perang), pada rentang harga yang sedikit lebih kompetitif dari saat
ini (40-60 dollar AS per barrel) situasi pasar minyak ke depan berpotensi
terus mengalami kelebihan pasokan. Artinya, siklus harga rendah seperti
terjadi saat ini berpotensi terus bertahan lama, lebih lama daripada yang
selama ini banyak diekspektasikan. Mungkin memang tak selama dan serendah periode
1986-2000 di mana harga bergerak di kisaran 15-45 dollar AS per barrel,
tetapi melihat perkembangan faktor-faktor yang memengaruhinya saat ini, saya
memperkirakan harga pun belum akan membaik secara signifikan setelah 2016.
Hingga 2019 pun kecenderungan harga sedikit membaik, tetapi masih tetap
berada di kisaran rendah di bawah 60 dollar AS per barrel, secara fundamental
lebih berpeluang terjadi. Tak ada salahnya bagi pemerintah dan DPR untuk
mengantisipasi dan mengambil langkah kebijakan yang lebih sesuai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar