Kartel Pangan
Dwi Andreas Santosa ;
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB;
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih
dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI)
|
KOMPAS, 11 Maret
2016
Gejolak harga pangan merupakan hal rutin yang terjadi di
Indonesia. Meski demikian, sejak awal 2015 hingga awal 2016 ini peningkatan
harga pangan yang terjadi tergolong tinggi justru di tengah inflasi yang
cukup rendah (3,35 persen) serta merosotnya harga-harga komoditas di dunia
termasuk komoditas pangan.
Rata-rata harga beras medium nasional tercatat naik 13,2 persen
atau hampir empat kali inflasi, telur ayam ras 9,5 persen, daging sapi 6,1
persen, dan ayam pedaging 3,0 persen. Rata-rata kenaikan harga pangan justru
lebih tinggi dibandingkan tahun 2014 di mana inflasi tercatat sebesar 8,36
persen.
Kenaikan harga pangan ternyata tidak diikuti oleh peningkatan
kesejahteraan petani kecil. Dalam enam bulan awal pemerintahan tercatat
570.000 petani jatuh miskin. Harga gabah di tingkat usaha tani di musim panen
Februari-Maret 2015 di banyak tempat tercatat hanya Rp 3.100 hingga Rp 3.300,
jauh lebih rendah dibandingkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah
kering panen sebesar Rp 3.700 per kilogram.
Kejadian tersebut berulang pada musim panen tahun ini. Meskipun
panen baru sedikit dan sporadis di berbagai tempat, dari laporan jaringan
Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia di hari-hari ini harga gabah
di tingkat petani sudah terjerembab ke angka Rp 2.900-Rp 3.700 per kg dengan
rata-rata di sekitar Rp 3.400 per kg di banyak tempat di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Sangat ironis karena harga beras medium rata-rata nasional justru
meningkat menjadi Rp 10.933 per kg (7/3) yang lebih tinggi dibandingkan
rata-rata Februari 2016 (Rp 10.801 per kg), Januari 2016 (Rp 10.799 per kg),
dan Desember 2015 (Rp 10.744).
Harga sempat tertekan sedikit ketika ada pengumuman seremonial
panen raya (28/2), tetapi sehari setelahnya (29/2) harga sudah naik kembali
bahkan melebihi sebelumnya. Pada tingkat harga beras tersebut seharusnya
harga gabah di tingkat usaha tani masih berada di sekitar angka Rp 4.500
sampai Rp 5.000 per kg. Gejolak harga tidak hanya terjadi di beras, tetapi
juga jagung, daging sapi, daging ayam, dan telur. Untuk bawang merah dan
cabai karena sifatnya yang musiman dan tidak tahan penyimpanan gejolak harga
yang terjadi lebih dahsyat. Melihat kecenderungan seperti itu banyak pihak
berkesimpulan bahwa mafia, spekulan, dan kartel pangan bermain di belakang
layar.
Gerakan harga pangan berdasarkan berbagai literatur yang ada
disebabkan beberapa faktor utama, yaitu (1) nisbah stok dibandingkan konsumsi
pangan, (2) harga minyak bumi, (3) nilai tukar mata uang, (4) tingkat suku
bunga, (5) iklim yang tidak menguntungkan, (6) kebijakan fiskal dan moneter,
(7) peningkatan pendapatan dan populasi kelas menengah yang meningkatkan
kebutuhan daging, (8) konversi pangan untuk energi (biofuel) di negara-negara
maju, serta (9) spekulasi finansial di pasar komoditas.
Nisbah stok/konsumsi, harga minyak bumi serta nilai tukar mata
uang merupakan penyebab utama yang membentuk harga pangan (Baffes dan Dennis, 2013). Nisbah
stok/konsumsi dibentuk oleh tingkat produksi pangan, konversi komoditas
pangan menjadi bahan bakar nabati, serta pendapatan masyarakat.
Permainan kartel
Di dalam terminologi pembentukan harga pangan dikenal istilah
spekulasi finansial. M Lagi dan kawan-kawan (New England Complex System Institute, 2011) menyimpulkan bahwa
spekulasi finansial merupakan penyebab utama krisis pangan dunia tahun
2007/2008 dan 2010/2012. Meski demikian, hal tersebut dibantah oleh Paul
Krugman, pemenang Nobel Ekonomi, yang menyimpulkan bahwa spekulan pangan
tidak memiliki pengaruh terhadap pembentukan harga karena investor dalam future market tidak memegang barang.
Spekulasi finansial berbeda dengan kartel. Kartel adalah
struktur pasar yang terbentuk akibat perilaku oligopoli kolusif. Oligolopi
kolusif adalah model pasar oligopolistik di mana beberapa pelaku usaha
memproduksi produk atau jasa yang sama atau mirip dan melakukan monopoli di
pasar. Perjanjian dibuat di antara perusahaan-perusahaan oligopoli yang
menguasai bagian terbesar pasar. Perjanjian dalam bentuk kerja sama dan aksi
bersama tersebut kemudian memunculkan struktur pasar yang disebut sebagai
kartel.
Perjanjian kartel meliputi harga produksi yang sama dan bersifat
monopolistik, kuantitas produksi, dan pembagian teritorial pasar (Severova
dan Bendl, 2013). Kartel cederung untuk menaikkan harga atau membatasi
kuantitas produksi untuk memaksimalkan keuntungan.
Dengan demikian, fenomena kartel pangan tampaknya sulit
digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah gejolak harga pangan di
Indonesia, meskipun saat ini kartel yang terdiri atas 12 perusahaan sedang
disidik intensif karena diduga melakukan pengaturan stok ayam (Kompas, 6/2).
Di komoditas beras, penggilingan padi merupakan rantai penting
di dalam pembentukan harga beras. Jumlah total penggilingan padi sebanyak
182.184 yang sebagian besar merupakan penggilingan padi skala kecil dengan
kapasitas kurang dari 3 ton per jam. Penggilingan besar berjumlah 2.075
perusahaan (Bulog, 2016). Dengan jumlah perusahaan yang sedemikian banyak,
kemungkinan terbentuknya kartel di beras juga sulit terjadi.
Data produksi
Bila demikian apa yang menentukan harga pangan? Nisbah
stok/konsumsi tampaknya merupakan faktor pembentuk harga yang dominan di
pasar tidak hanya untuk beras, tetapi juga komoditas pangan lainnya. Nisbah
stok/konsumsi terutama disusun oleh produksi pangan domestik dan impor.
Sangat disayangkan, bila pisau analisis tersebut digunakan untuk
memahami pergerakan harga pangan di Indonesia, akan dihasilkan data yang
ambigu. Berdasarkan angka sementara yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS)
produksi gabah kering giling mencapai 75,36 juta ton atau meningkat 6,37
persen. Setelah dikurangi dengan penggunaan gabah sebanyak 2 persen, dan
kehilangan gabah sebanyak 5 persen, akan dihasilkan produksi neto setara
beras sebesar 44,045 juta ton. Ditambah dengan impor sebesar 0,862 juta ton
dan stok awal tahun sebesar 5,501 juta ton, maka total ketersediaan beras
tahun 2015 sebanyak 50,408 juta ton. Dengan menggunakan angka ketersediaan
beras untuk konsumsi sebesar 124,89 kg/kapita/tahun (Kementerian Pertanian),
penggunaan beras untuk keperluan lain sebanyak 0,9 persen dan kehilangan
beras sebanyak 2,5 persen, maka akan menghasilkan surplus 16,8 juta ton beras
pada 2015 yang menjadi stok awal 2016.
Dengan penambahan stok yang luar biasa besar tersebut, maka
dengan menggunakan formula nisbah stok/konsumsi harga beras awal 2016 akan
turun sebesar 60 persen dibandingkan harga beras di awal 2015 atau hanya Rp
3.858 per kg beras medium.
Dengan menggunakan ”teori kartel” sangat sulit dipahami di mana
beras yang jumlahnya 16,8 juta ton tersebut berada. Apabila beras tersebut
benar ada di tangan penggilingan ataupun pedagang, mereka akan mengalami
kerugian sangat besar karena stok tersebut tidak akan pernah bisa dilepas ke
pasar karena harga beras akan terjun bebas apalagi sebentar lagi panen raya.
Di sisi lainnya, bila tren produksi masih berlanjut, maka dalam lima tahun
Indonesia akan surplus beras sebesar 52 juta ton, jumlah yang sama sekali
tidak masuk akal.
Dengan demikian, terdapat masalah besar terkait dengan data
produksi pangan yang juga sering diulas di harian ini. Akibat kesalahan data
tersebut, semua pisau analisis untuk memahami pergerakan harga pangan di
Indonesia menjadi tumpul yang sekaligus mengacaukan tata kelola pangan di
Indonesia.
Perilaku kartel, bila itu terbukti, memang harus ditindak tegas
karena merugikan baik produsen maupun konsumen dan mengacaukan sistem pangan
di Indonesia. Pemerintah saat ini dituntut fokus untuk melindungi produsen
pangan terutama petani kecil melalui perlindungan harga di tingkat usaha
tani. HPP gabah di tingkat usaha tani harus dinaikkan, karena HPP saat ini
hanya meningkat 10-12 persen sejak 2012 sedangkan inflasi sudah meningkat 25
persen.
Perlindungan harga di tingkat konsumen dapat dicapai melalui
kebijakan stabilisasi harga yang bisa ditempuh melalui dua kebijakan utama,
yaitu meningkatkan stok pangan pemerintah dan kebijakan perdagangan
internasional yang berlandaskan data akurat. Selain itu, upaya untuk
membentuk saling percaya (trust) antarpelaku usaha swasta dan pemerintah yang
saat ini berada pada titik nadir perlu dibangun kembali. Melalui berbagai
upaya tersebut diharapkan gejolak pangan 2015 hanya menjadi sebuah kenangan
dan pembelajaran penting untuk mengelola pangan di masa datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar