Transplantasi Organ
Syafaatun Almirzanah ;
Center for Bioethics and Medical Humanities,
Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS, 11 Maret
2016
Transplantasi organ merupakan salah satu cerita sukses di dunia
kedokteran. Lima puluh tahun lalu, kegagalan organ vital berarti penderitaan
luar biasa, bahkan kematian bagi pasien.
Dengan kemajuan transplantasi organ secara klinis, harapan akan
adanya kesempatan kedua untuk hidup bagi ribuan pasien muncul. Transplantasi
jadi pilihan terapi pasien gagal organ.
Transplantasi dimulai pada awal 1950-an oleh Joseph Murray dan
almarhum David Hume. Terapi dengan transplantasiberkait dengan turunnya
secara signifikan biaya perawatan kesehatan masyarakat. Karena itu, profesi
medis dan masyarakat secara moral dan humanistis perlu membuat organ lebih
tersedia dan mengalokasikan organ ini kepada pasien yang amat butuh sesuai
dengan tata aturan etis.
Kasus kegagalan organ vital yang kian meningkat dan suplai yang
tak mencukupi memenuhi kebutuhan itu, khususnya dari cadaver (jenazah yang dapat digunakan dokter dan ilmuwan untuk
telaah anatomi, identifikasi penyakit, dll), telah menciptakan gap yang tinggi antara suplai dan
kebutuhan organ. Akibatnya, ada antrean pasien yang panjang dan lama menunggu
donor sehingga meningkatkan angka kematian.
Donasi organ dari cadaver
di sebagian besar pusat transplantasi masih amat sedikit dan amat tak mencukupi
kebutuhan populasi gagal organ. Beberapa cara telah dilakukan untuk
meningkatkan donasi organ, termasuk edukasi publik mengenai kebutuhan dan
untung melakukan donasi organ sebagai ”memberi kehidupan” untuk menyelamatkan
sesama manusia, penetapan consent
registration bagi calon donor saat membuat surat izin mengemudi atau
dokumen lain. Namun, usaha ini masih sangat sedikit menghasilkan donasi organ
cadaver.
Yang terbukti sangat efektif di sebagian dunia adalah penerimaan
dan implementasi prinsip presumed
consent, masyarakat menyetujui bahwa semua orang dewasa yang mati adalah
calon donor, kecuali dia menunjukkan keberatan selama hidupnya. Banyak usaha
dilakukan di Barat mengimplementasikanprinsip presumed consent ini. Meski demikian, kritik juga muncul karena presumed consent mengandung paksaan.
Di beberapa negara, di samping isu etik, ada kesulitan lain
terkait sikap sosial, budaya, dan agama. Di Tiongkok, misalnya, terdapat
praktik pengambilan organ dari individu yang dihukum mati segera setelah
eksekusi.
Cara lain meningkatkan donasi organ adalah objective appre-
ciation bagi keluarga cadaver yang telah mendonasikan organ dengan dukungan
finansial. Jadi, bukan pembayaran untuk organ, melainkan membantu keluarga
membiayai pemakaman ataupun konsekuensi biaya lain akibat kematian itu.
Kompensasi seperti ini berbeda dengan pembelian organ karena pembayaran tak
langsung kepada keluarga, tetapi ke rumah pemakaman, hotel, dan agen
transportasi.
Cara ketiga adalah penggunaan lebih optimal marginal atau
suboptimal organ. Organ marginal dalam hal ini adalah ginjal dari donor
berusia lebih dari 60 tahun, dari anak kecil berumur kurang dari lima tahun,
dari donor yang berpenyakit diabetes, dari ginjal yang telah disimpan lebih
dari 40 jam, serta ginjal cadaver
dengan jantung tak berdetak.
Di awal 1980-an, rumah sakit di Kuwait mengimpor lebih dari 100
ginjal dari donor marginal AS dan Eropa, dan menunjukkan bahwa organ dengan
pengelolaan bedah medis yang tepat akhirnya akan berfungsi dan telah membantu
menyelamatkan pasien. Tentu sebelum menggunakan organ yang ”tak ideal” itu,
pasien perlu mendapat informasi penuh ihwal manfaat dan risikonya.
Alternatif lain adalah menggunakan organ para volunter donor.
Donasi dari orang yang masih punya hubungan keluarga, hubungan emosi atau
altruistik, sangat dibolehkan atas dasar landasan humanistis dan secara etik
dan medis dapat diterima. Yang penting ada evaluasi atas donormedis ataupun
psikologis sejalan dengan protokol yang ada, termasuk inform consent kepada donor. Angka rata-rata hidup transplantasi
ginjaljauh lebih tinggi pada organ asal cadaver.
Perdagangan organ
Adanya gap yang tinggi antara suplai dan kebutuhan memunculkan banyak
isu baik etik, moral, maupun sosial. Itu juga yang membawa kepada praktik
perdagangan organ dengan cara mengeksploitasi orang miskin, sebagaimana juga
terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Sejak1980, lebih dari 2.000 ginjal telah
dijual tiap tahun di India untuk orang kaya Timur Tengah, Timur Jauh, dan Eropa,
dan diperkirakan sekarang ini ribuan pasiendari Teluk Arab telah menerima ginjal
yang dijual di India, Irak, Filipina, Iran, dan lain-lain.
Praktik jual beli organ manusia ini mengancam profesi dokter,
masyarakat umum, dan pemerintah. Dari laporan tahun 1993, berdasarkan
pengalaman di Kuwait dan wilayah Teluk Arab yang telah memperoleh ginjal dari
India, penjualan organ telah menyebabkan dampak negatif pada semua aspek dan
setiap orang yang terlibat dalam transplantasi, termasuk donor, penerima,
program transplantasi lokal, profesi dokter, serta nilai-nilai moral dan
etika di masyarakat (Abouna GM, 1991).
Penjualan organ bukan hanya bertentangan dengan altruisme,
martabat manusia, ataupun pendekatan utilitarian. Ini karena penjualan organ
mempromosikan dan mengeksploitasi orang miskin, mendorong munculnya kualitas
rendah dalam kesehatan terhadapdonor ataupun penerima akibat seleksi donor
dan screening tak memadai, dan
menguntungkan para petualang dan dokter jahat yang terlibat dalam proses ini.
Hal itu menjadikan organ manusia sebagai komoditas bagi untung
dan perdagangan sehingga mengundang korupsi dan sistem yang tak adil mengenai
akses dan distribusi organ. Lebih penting lagi, ini bisa bertendensi criminal
untuk membunuh anak dan perempuan demi perdagangan organ. Maka, perdagangan
organ dilarang di masyarakat Barat, juga semua agama besar, dan beberapa
negara lain (Sheil, 1995).
Di samping keberatan di atas, beberapa pelaku penjualan organ
mengklaim bahwa pembelian organ yang dikontrol dengan baik juga punya untung
besar: membuat organ tersedia lebih banyak bagi pasien yang membutuhkan
sekaligus mengurangi biaya keseluruhan pengobatan pasien.
Komunitas transplantasi profesional bahkan meyakini bahwa akan
lebih produktif dan juga protektif—paling tidak di negara yang tak ada donor
dari cadaver—jika praktik penjualan organ diatur organisasi independen.
Keberatan atas penjualan organ untuk orang kaya tak berarti harus
menghilangkan satu-satunya harapan bagi pasien. Camerun dan Hoffenberg (1999)
merekomendasikan organ harus dibayar melalui jaringan yang didirikan secara
nasional untuk memastikan kualitas pelayanan dan mendorong kesamaan
distribusi.
Radcliffe-Richards dkk (1998), dalam artikel mereka di The Lancet, menekankan bahwa
eksploitasi donor yang ada sekarang dan ketiadaan inform consent melalui pembelian organ adalah karena kemiskinan
dan ketiadaan pendidikan, yang tidak bisa menjustifikasi larangan penjualan
organ. Mereka mengusulkan organisasi nasional untuk meregulasi pengelolaan
organ untuk memberi pendidikan, konsultasi, dan segala sesuatu yang
diperlukan bagi pasien ataupun pendonornya.
Organisasi ini juga yang meregulasi dan mengontrol perolehan
organ, membayar fee dan provisi
untuk pelayanan, sekaligus mencegah eksploitasi dan risiko pemindahan organ. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar