Kinerja Penyidikan Kasus Korupsi
Febri Hendri AA ;
Divisi Investigasi ICW
|
KOMPAS, 07 Maret
2016
Kinerja penyidikan
kasus korupsi di tahun 2015 menurun. Banyak kasus berstatus penyidikan dari
tahun sebelumnya yang mangkrak dan tidak kunjung naik ke penuntutan di
pengadilan.
Berdasarkan pemantauan
Indonesia Corruption Watch (ICW),
sepanjang 2010-2015 ditemukan 3.042 kasus korupsi berhasil diselidiki oleh
aparat penegak hukum (APH)-kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan
Korupsi-yang statusnya naik jadi penyidikan. Kerugian negara mencapai Rp 33,3
triliun dan nilai suap sebesar Rp 999,6 miliar. Sementara jumlah tersangka
yang terseret seluruh kasus ini mencapai 6.733 orang.
ICW juga memantau
perkembangan penanganan kasus di tahap penyidikan. Kasus ini dibagi tiga
kelompok. Pertama, kasus yang telah naik P21 (tahap penuntutan). Kedua, kasus
yang ada informasi perkembangan di mana APH tetap memberi informasi
penanganan kasus berupa pemeriksaan saksi dan tersangka, menunggu perhitungan
kerugian negara, dan informasi lainnya. Ketiga, kasus yang tidak ada
informasi perkembangan sama sekali sejak ditetapkan masuk tahap penyidikan.
Dari total kasus yang
berada di tahap penyidikan: 2.492 kasus masuk tahap penyidikan dalam periode
2010-2014, sisanya 550 kasus baru pada 2015. Dari 2.492 kasus yang masuk
penyidikan dalam periode 2010-2014, 1.940 di antaranya telah P21 atau masuk
tahap penuntutan di pengadilan dengan kerugian negara Rp 24,5 triliun dan
suap Rp 520,4 miliar.
Sementara kasus yang
belum ada perkembangan informasi 410 kasus dengan kerugian negara Rp 4,3
triliun dan nilai suap Rp 3,5 miliar. Terakhir, terdapat 142 kasus tidak ada
informasi perkembangan sama sekali dengan kerugian negara Rp 1,4 triliun
dengan nilai suap Rp 25,1 miliar.
Kejaksaan penyumbang
terbesar dalam jumlah kasus korupsi yang belum ada informasi perkembangan
kepada publik. Dari 410 kasus, 311 di antaranya adalah kasus korupsi yang
ditangani kejaksaan, 88 kasus di kepolisian, dan 2 kasus oleh KPK, serta 9
kasus belum diketahui APH mana yang menyidiknya.
Kejaksaan juga
penyumbang terbesar atas kasus yang tidak ada informasi perkembangan sejak
pertama kali disidik. Dari 142 kasus yang tak ada informasi perkembangan, 80
kasus ditangani kejaksaan, 40 kasus oleh kepolisian, 2 kasus ditangani KPK,
dan 20 kasus belum diketahui APH mana yang menanganinya.
Kasus korupsi yang
ditangani kejaksaan dan naik ke penuntutan sebagian besar kasus yang masuk
tahap penyidikan pada 2010-2012, yakni 93 kasus (2010), 65 kasus (2011), dan
39 (2012). Sementara kasus korupsi ditangani kepolisian dan belum P21 adalah
kasus yang masuk tahap penyidikan tahun 2010 dan 2014, masing-masing 18 dan
28 kasus.
Dengan demikian,
jumlah kasus yang belum ada perkembangan sampai 2015 adalah 552 kasus. Inilah
jumlah tunggakan kasus korupsi di kejaksaan dan kepolisian. Tunggakan ini
menjadi utang dua lembaga ini untuk diselesaikan dan perlu dijaga agar tidak
diselewengkan.
Penentu kinerja
Banyak faktor
menentukan kinerja penyidik kasus korupsi. Pertama, ketersediaan dan
kecukupan anggaran. Selain butuh anggaran guna menyidik kasus korupsi untuk
memanggil dan memeriksa saksi dan tersangka, penyidik juga butuh anggaran
untuk memanggil saksi ahli.
Penyidik pun butuh
biaya transportasi untuk mengumpulkan alat bukti yang berada cukup jauh,
terutama di luar kota. Tidak jarang penyidik mengeluarkan dana pribadi untuk
membiayai perjalanan keluar kota karena biaya operasional penyidikan telah
habis atau tidak kunjung diperoleh. Hal ini tentu akan meningkatkan potensi penyelewengan
kasus oleh penyidik.
Kedua, ketersediaan
dan kemampuan penyidik. Ketersediaan penyidik juga menentukan cepat-lambatnya
proses penyidikan. Beberapa kasus butuh penyidik dalam jumlah besar karena
melibatkan banyak pelaku serta saksi yang harus diperiksa. Selain itu,
kemampuan penyidik dalam menggali informasi dan mengumpulkan alat bukti juga
menentukan apakah kasus tersebut cepat tuntas atau tidak.
Sering kali proses
penyidikan terhambat karena penyidik kurang atau bahkan tidak mampu
menyediakan alat bukti. Hal ini terjadi karena penyidik belum mengetahui
dengan tepat bagaimana dan di mana alat bukti tersebut bisa didapatkan.
Kemampuan intelijen dan pencarian lokasi tempat alat bukti juga menentukan
kinerja penyidikan.
Ketiga, perhitungan
kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau BPKP. Sering kali proses
penyidikan terhambat karena dua lembaga pemeriksa ini lambat dalam menghitung
kerugian negara. Kelambatan ini bisa disebabkan auditor BPK atau BPKP tidak
atau belum mendapatkan informasi atau bukti yang kuat dari penyidik dalam
menghitung kerugian negara.
Keempat, lamanya
pemberkasan antara penyidik dan penuntut umum. Sebagian penyidikan kasus
korupsi terhambat karena ada perbedaan pendapat dan penilaian antara penyidik
dan penuntut umum. Akibatnya, sering kali berkas perkara bolak- balik dari
penyidik ke penuntut umum sehingga proses penyidikan menjadi lebih lama.
Kelima, penyelewengan
dalam penyidikan kasus korupsi. Penyelewengan berupa menyembunyikan alat
bukti, menghambat pengiriman alat bukti perhitungan kerugian negara ke BPK
atau BPKP, atau menghindari memeriksa saksi kunci. Penyidik menyampaikan
berbagai dalih dan alasan yang menghambat penyidikan, padahal sebenarnya
sudah memiliki bukti yang kuat.
Hal ini dilakukan
penyidik karena berbagai hal, seperti adanya intervensi dari atasan atau
otoritas tertinggi penegak hukum. Juga bisa karena penyidik berusaha memeras
pihak yang berperkara. Pelambatan proses penyidikan juga terjadi karena
penyidik telah menerima suap dari pihak berperkara. Pemerasan ini dilakukan
secara langsung oleh penyidik atau pihak lain.
Solusi
Kinerja penyidikan
kasus korupsi harus ditingkatkan. Untuk itu, pemerintah dapat melakukan
penambahan anggaran untuk proses penyidikan dan memastikan dana tersebut
benar-benar digunakan untuk proses penyidikan, tidak dikorupsi.
Pemerintah juga harus
meningkatkan ketersediaan penyidik yang memadai di seluruh Indonesia. Tidak
hanya itu, pemerintah harus meningkatkan kemampuan penyidik melalui pelatihan
dan cara lainnya sehingga penyidik memiliki kemampuan lebih andal.
Manajemen perkara
korupsi juga harus ditingkatkan agar lebih efektif, efisien, akuntabel, dan
profesional. Bareskrim Mabes Polri, Jampidsus Kejagung, dan KPK harus
memiliki sistem pengendalian perkara korupsi sehingga bisa memantau
perkembangan penanganan perkara satu per satu di setiap unit kinerja di
seluruh Indonesia.
Sistem bisa dibangun
dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang bisa diakses publik,
terutama terkait informasi yang tak dikecualikan. Sistem ini harus dijadikan
dasar promosi dan mutasi penyidik serta atasannya, seperti direktur, kepala
polda, kepala kejaksaan tinggi, kepala polres, dan kepala kejaksaan negeri.
Penyidik dan komandan yang berkinerja rendah diberi sanksi dan tak diberi
promosi. Sementara penyidik dan komandan yang berkinerja tinggi harus
diapresiasi dan promosi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar