Disorientasi Penerimaan Cukai
Haryo Kuncoro ;
Dosen Keuangan Negara FE
Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 07 Maret
2016
Beberapa waktu lalu
Menteri Keuangan memberikan penghargaan kepada empat perusahaan rokok skala
besar atas kontribusi mereka terhadap penerimaan cukai pada APBN 2015.
Realisasi penerimaan
cukai rokok pada APBN-P 2015 tercatat Rp 139,5 triliun. Empat perusahaan
rokok tersebut menyetor cukai lebih dari 90 persen atau ekuivalen dengan Rp
125,55 triliun. Penghargaan itu sontak menuai kontroversi dari berbagai
pemangku kepentingan. Tindakan Menkeu tersebut, dari sisi institusional dan
etika, dinilai sebagai sesuatu yang tidak elok.
Pertama, peningkatan
penerimaan cukai rokok khusus untuk kasus Indonesia identik dengan kenaikan
konsumsi rokok. Ini berarti Menkeu seakan-akan mengharapkan masyarakat
Indonesia menjadi perokok aktif.
Kedua, Menkeu secara
implisit mendukung proses pemiskinan massal. Porsi pengeluaran rumah tangga
termiskin untuk rokok terbesar kedua (12,4 persen) setelah padi-padian (19
persen). Hal ini menunjukkan rumah tangga termiskin lebih rela mengurangi
konsumsi padi-padian daripada mengurangi konsumsi rokok.
Jika kemiskinan
ditandai dengan batas pengeluaran tertentu selama sebulan, maka rokok kian
memperbesar angka kemiskinan. Kontribusi rokok pada garis kemiskinan sebesar
8,08 persen di perkotaan dan 7,68 persen di pedesaan.
Terlepas dari
kontroversi di atas, kesan yang timbul dari penghargaan tersebut adalah bahwa
cukai dibayar oleh produsen. Industri rokok membeli pita cukai sebelum rokok
diedarkan. Dalam setiap batang rokok yang dibeli konsumen terkandung di
dalamny komponen cukai.
Dalam konteks ini,
pembayar cukai adalah produsen, tetapi beban akhir penanggungnya adalah
konsumen rokok. Jadi, yang lebih layak mendapat penghargaan adalah konsumen
tembakau.
Lebih jauh lagi,
menggeserkan beban akhir cukai kepada konsumen tembakau telah membelokkan
logika bahwa status cukai seolah-olah sama kedudukannya dengan pajak tak
langsung. Tampaknya, dari titik inilah awal mula terjadi ketidaktepatan
penafsiran cukai. Patut dicatat, sumber penerimaan negara yang utama adalah
pajak, bukan nonpajak (termasuk cukai). Pajak merupakan beban pungutan yang
bersifat memaksa atas obyek pajak dan pembayar pajak tidak mendapat balas
jasa secara langsung.
Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2007 tentang Cukai menyebutkan cukai dikenakan kepada barang-barang
tertentu yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi,
pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan
hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan
keseimbangan. Pada kedua pemahaman konseptual di atas, pajak dan cukai
memiliki fungsi masing-masing. Bahwa dengan penerapan cukai negara memperoleh
penerimaan itu tujuan sekunder. Kesalahan logika selama ini adalah fungsi
penerimaan cukai justru sebagai tujuan primer alih-alih fungsi pencegahan
konsumsi.
Jika Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai memandang cukai sebagai sumber penerimaan negara, maka
”harus” diikuti kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi jumlah konsumen
produk terkena cukai, termasuk perokok. Tentunya ini sangat kontradiktif
dengan kepentingan Kementerian Kesehatan.
Salah awas terhadap
cukai terbaca pula dari persentase tarifnya. Cukai tembakau dipungut maksimal
57 persen, tetapi pajak rokok dikenakan paling tinggi 10 persen atas harga
jualnya.
Perolehan cukai masuk
ke kas negara, tetapi pajak rokok dikembalikan ke pemerintah daerah penghasil
cukai. Perimbangan antara persentase pengenaan tarif dan distribusinya sudah
dengan sendirinya menjelaskan prioritas penggaliannya. Artinya, sumber
penerimaan yang benar- benar di bawah kendali Ditjen Bea dan Cukai adalah
cukai.
Sejalan dengan shortfall pajak APBN-P 2015 akibat
pelambatan ekonomi global, Ditjen Bea dan Cukai merasa ”terpanggil” untuk
menyumbang pada penerimaan negara. Dengan sifat rokok yang adiktif dan
inelastis terhadap harga, maka cara paling mudah adalah menaikkan tarif
cukai.
Kekeliruan dalam
memersepsikan cukai berlanjut pada pemanfaatannya. Penerimaan cukai
dimasukkan ke dalam postur APBN menjadi satu pos besar, yaitu penerimaan
negara. Konsekuensinya, perolehan cukai—sebagaimana pajak—dapat digunakan
untuk membiayai berbagai program pemerintah.
Per definisi, cukai
adalah charge. Ini membawa akibat langsung bahwa alokasi belanjanya harus
dikembalikan ke hal-hal yang terkait erat dengan barang yang terkena cukai.
Dengan demikian, pihak yang terkena efek rokok ini bisa mengklaim atas cukai
yang terkumpul di kas negara.
Alhasil, nilai cukai
yang diterima pemerintah tidaklah sebanding dengan dampak sosial ekonomi yang
ditimbulkannya. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (2015) menghitung
rata-rata besaran cukai yang diraih pemerintah hanya seperempat dari dampak
negatifnya.
Dengan konfigurasi
problematika semacam ini, normatifnya, hasil pungutan cukai seharusnya
dikeluarkan dari pos ”penerimaan” APBN dan dikelola tersendiri. Hal ini
ditujukan agar cukai tidak menjadi satu dengan penerimaan pajak dalam
membiayai belanja pemerintah lainnya.
Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) patut jadi contoh. BPDP memungut hasil ekspor kelapa sawit,
hasilnya dipulangkan kepada komunitas sawit untuk merehabilitasi lahan,
peremajaan, dan penanggulangan efek negatif lingkungan hidup.
Selama cukai rokok
masih dipandang sebagai sumber penerimaan negara, maka sistem cukai di
Indonesia senantiasa gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai instrumen
pengendalian konsumsi rokok. Apalagi nantinya Ditjen Bea dan Cukai dan Ditjen
Pajak akan dilebur menjadi satu wadah dengan nama Badan Penerimaan Negara.
Lengkap sudah disorientasi ”penerimaan” cukai yang sejatinya bukanlah
penerimaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar