Sabtu, 12 Maret 2016

Catursila Pasokan Listrik

Catursila Pasokan Listrik

Nengah Sudja ;  Dosen Pascasarjana Energi Ekonomi UKI, Jakarta
                                                       KOMPAS, 12 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Artikel kritis praktisi bisnis Arifin Panigoro, ”’Quo Vadis’Energi Bersih Indonesia” (Kompas, 11/2), mempertanyakan seberapa penting BaliClean Energy Forum, 11-12 Februari 2016, dalam pengembangan energi terbarukan di Tanah Air.

Di BaliClean Energy Forum (BCEF), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyatakan, empat tahun ke depan akan dikembangkan 8,8 gigawatt (GW), berarti 25 persen energi terbarukan (ET), dari proyek 35 GW. Tanpa merinci apa jenis ET yang akan dibangun, berapa besar, dan di mana lokasinya. Bagaimana sinkronisasi ini terkait pengurangan gas rumah kaca (GRK) sesuai Kesepakatan KTT Perubahan Iklim COP21 Paris 2015?

Pembangkitan listrik dari nuklir, fosil perlu input bahan bakar hasil tambang. ET—energi surya, angin, air terjun, biomassa, sampah, panas bumi—tidak perlu input bahan bakar dan tersediadi alam bebas. Teknologi ET telah berkembang, bersaing memproduksi listrik secara bebas, tanpa biaya input bahan bakar, dirancang tidak rentan gangguan, dan tak kekurangan bahan bakar.

Tiga langkah upaya perlu dilakukan pengurangan GRK. Pertama, bukan hanya dengan pembangunan proyek ET. Tidak kalah penting upaya kedua: peningkatan efisiensi energi. Upaya ketiga, penyusunan, penetapan peraturan regulasi cerdas dan bijak.

Proyek energi terbarukan

Sifat pasokan ET penuh perubahan, ketidakpastian, sehingga perlu sistem cadangan dari baterai atau sumber daya energi lain. Negara industri maju sudah memiliki daya terpasang besar, sistem cadangan besar pula dibandingkan negara berkembang. Karena itu, negara maju dapat membangun lebih banyak ET.

Disistem interkoneksi Jawa-Bali dengan daya terpasang yangsudah relative besar (beban puncak 25 GW, daya terpasang 40 GW) dapat membangun ET lebih banyak daripada di sistem kecil seperti di luar Jawa-Bali.

Disistem Jawa-Bali sudah dapat dibangun energi surya (ES) di atas atap rumah sebesar 4 GW, tanpa pakai baterai sebagai cadangan karena masih mahal. Untuk 4 GW dibutuhkan 400.000 rumah berluas atap 100 m2.

ES hanya memproduksi listrik pada siang hari. Untuk kebutuhan malam hari, perlu cadangan pengganti. Ini dapat dibangkitkan dari sistem hidro bendungan besar, seperti PLTA Jati Luhur, Cirata, Saguling, Panglima Sudirman, dan Sutami, jumlah cadangan 1.000 megawatt (MW). Juga dari sistem cadangan pembangkit termis besar (PLTU Batubara Suralaya, Paiton, Cirebon, Batang, PLTGU Muara Karang, dan Muara Tawar)2.000 MW. Juga dari pompa simpan PLTA Cisokan Hulu yang sedang dibangun berdaya 1.000 MW.

Tambahan pembangunan ES dapat ditingkatkan sejalan dengan pertambahan pembangunan sistem pembangkitan termis maupun hidro, terutama pompa simpan, misal PLTA Matenggeng, Jawa Barat. Untuk itu perlu sistem jaringan cerdas, selaras kecepatan perubahan beban sistem jaringan serta daya bangkit ES.

ESdi atap-atap rumah di Jakarta danJawa Baratakan mengurangi imporlistrik dari Jawa Timur. ES adalah sistem pembangkitan tersebar sehingga mengurangi pemakaian lahan, beban, serta pembangunan jaringan transmisi 150 kilovolt dan 500 kV yang panjang dan mahal. Waktu pembangunan ES singkat, 6-9 bulan, dapat mempercepat target pembangunan proyek listrik 35.000 MW. Bandingkan waktu pembangunan PLTU batubara 4-5 tahun dan PLTN 6-10 tahun.

Biaya pembangkitan ES menyaingi PLTU batubara. Padahal, kontrak jual beliPLN dengan PLTU Batubara Batang di Jawa Tengah, 6,1 sen dollar AS per kilowatt hour (kWh) juga jauh lebih murah dari perkiraan harga jual listrik swasta Studi Kelayakan Konsultan Jepang untuk PLTN Bangka, 12 sen dollar AS per kWh. Artinya, dari modal pembangunan PLTN dapat dibangun 3-5 unit PLTU Batubara dengan daya terpasang sama. Di daerah terpencil juga dapat dipasang ES kecil dengan baterai atau pembangkit lainuntuk malam hari.

Energi biomassa

Indonesia terletak di kawasan tropis, tidak memiliki potensi energi angin sebesar negara di kawasan subtropis, tetapi memiliki potensi sumber energi biomassa besar. Maka, bisa dibangun PLT Biomassa 2.000-4.000 MW dengan biaya pembangkitan 8 sen per kWh.

Sementara referensi potensi panas bumi (PB) Indonesia masih mengacu versi lama 29 GW, tanpa memperbarui kelayakannya. Sebagaimana energi hidro, tidak semua potensi PB layak dibangun. Perlu penelitian dan evaluasi kelayakan ulang karena hanya PB dengan harga 4-7 c per kWh pantas dikembangkan, agar tariff listrik kompetitif.

Energi efisiensi memang harus cermat diterapkan. Langkah kebijakan energi efisiensi pada dasarnya tidak merupakan upaya padat modal, tidak memerlukan air pendingin, tidak mengeluarkan GRK, dan tidak melelehkan bahan bakar nuklir. Tujuan utamanya mengurangi penggunaan sumber daya energi, yang suatu saat akan habis.

Langkah efisiensi ini dinamakan Negawatt, antitesis Megawatt, proyek besar. Langkah kebijakan peningkatan EE dilaksanakan di sisi pasokan dankonservasi di sisi pemakaian. Semisal naik sepeda, jalan kaki, pengurangan pemakaian kendaraan bermotor, penggunaan lampu hemat energi, pengurangan suhu kamar, akan mendorong penghematan energi. Di negara maju, langkah-langkah tersebut terbukti menurunkan beban puncak dan menunda investasi pembangunan sistem pembangkitan.

Sebuah studi di Amerika Serikat melaporkan langkah efisiensi menunda program pembangunan 1.300 pembangkit untuk 20 tahun kemudian.

Untuk itu perlu disiapkan peraturan standar nasional dengan pengawasan ketat. Indonesia bisa belajar standar emisi kendaraan angkutan dari Standar Eropa 1-6 bagi berbagai jenis kendaraan bermotor dan mengurangi kemacetan lalu lintas. Sayangnya, langkah kebijakan efisiensi energi di Indonesia seperti tidak terdengar dipikirkan, padahal potensi penghematannya besar.

Selain penguasaan teknis, proses penyusunan kebijakan regulasi sepatutnya dilakukan berdasarkan studi, analisis, dan bukti-bukti. Agar transparan proses penetapannya mengacu asas good governance, melalui proses dengar pendapat publik.

Pemilik rumah di Jakarta pembayar Pajak Bumi Bangunan tinggi, bisa diberi keringanan pajak agar tertarik berinvestasi. Ini terkait regulasi pengaturan subsidi, perpajakan, kebijakan harga cerdas,demi kepentingan konsumen, investor, serta kesejahteraan bangsa dan negara.

Arifin Panigoro menorehkan lompatan teknologi. Maka, BCEF dapat menjadisaranakerja sama untuk ambil-alih teknologi.

RUPTL 2016-2025

Guna pencapaian target energi baru dan terbarukan 23 persen, draf Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disampaikan ke Kementerian ESDM memuat pembangunan 3 GW PLTN. Sungguh suatu hal yang aneh karena PLTN yang sudah dioperasikan sejak 1954 diklasifikasikan sebagai energi baru. Di dunia internasional yang digolongkan sebagai energi baru adalah yang benar-benar baru dan belum berkembang, seperti energi arus dan gelombang laut.

Keanehan selanjutnya, sementara negara industri sudah sadar betapa mahal dan berbahayanya PLTN, mulai meninggalkan atau menguranginya, Indonesia malah memasukkan dalam draf perencanaan. Italia, Swiss, Jerman, dan Austria sudah phase out. Bahkan, Perancis mengurangi PLTNdari produksi75 persen jadi 50 persen pada 2030.

Dalam Pedoman Pengamalan Catursila Penyediaan Tenaga Listrik, keamanan pasokan energi diutamakan dengan pasokan energi yang kompetitif, berkelanjutan, ramah lingkungan, dan menjangkau seluruh wilayah dan warga Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar