Joey Alexander dan Politik Kreativitas
Yudi Latif ;
Direktur Eksekutif Pusat Studi
Pancasila Universitas Pancasila
|
KOMPAS, 01 Maret
2016
Di tengah mentalitas
pecundang yang melumpuhkan prestasi bangsa di berbagai bidang, seorang musisi
prodigy asal Bali, Joey Alexander, mengibarkan bendera Indonesia menjulang
tinggi di belantika musik dunia. Untuk pertama kali dalam sejarah Grammy
Awards, bocah berusia 12 tahun dinominasikan dalam dua kategori untuk
pencapaian yang luar biasa dalam kreativitas improvisasi musik jazz. Bukan
hanya itu, ia pun tampil di panggung utama Grammy Awards dan ditahbiskan
sebagai simbol regenerasi musik dunia.
Joey tidak sendirian.
Ada jutaan anak berbakat yang terus terpendam dalam lumpur waktu. Tidak
seberuntung Joey yang dapat menemukan ekosistem kreativitas, berkat
perjumpaannya dengan berbagai musisi melalui pengembaraan studi musiknya dari
Bali, Jakarta, hingga New York; bahan-bahan batu mulia Indonesia lainnya
tetap teronggok di tempatnya tanpa wahana yang memungkinkan bisa digosok
menjadi permata.
Kisah tersebut
menjelaskan kreativitas tidak semata-mata menyangkut soal bakat. Kreativitas
adalah proses penciptaan melalui mana domain simbolik dalam kebudayaan
berubah (nyanyian baru, ide baru, mesin baru). Kreativitas adalah segala
tindakan, ide, atau produk yang mengubah domain budaya, atau yang
mentransformasikan domain yang ada menjadi sesuatu yang baru.
Orang-orang berbakat
hanya akan menjadi pribadi kreatif apabila menemukan ekosistem kreativitas
yang dihasilkan oleh interaksi dari suatu sistem yang terdiri dari tiga
elemen. Pertama, domain simbolik (biasanya disebut budaya) yang berisi
seperangkat aturan, prosedur, pengetahuan, dan informasi (meme) simbolik;
sebagai titik tolak sekaligus titik ubah dari kreativitas.
Kedua, bidang
pendukung meliputi segala orang, institusi, dan jaringan yang bertindak
sebagai penjaga pintu (gatekeepers) yang mendukung, menyaring, dan
memvalidasi setiap inovasi untuk bisa masuk dan membawa perubahan dalam
domain budaya. Penting dicatat bahwa suatu domain (budaya) tak bisa diubah
tanpa dukungan (persetujuan) secara eksplisit atau implisit dari suatu bidang
(field) yang bertanggung jawab atas hal itu. Ketiga, barulah faktor kehadiran
orang kreatif, yakni seseorang yang pikiran dan tindakannya mengubah suatu
domain atau membentuk domain baru (Mihaly Csikszentmihalyi, 2013).
Kurang berkembangnya
kreativitas di negeri ini disebabkan kurangnya dukungan politik terhadap
reproduksi pengetahuan dan pengembangan minat-bakat, pemuliaan warisan
budaya, serta kegiatan riset dan pengembangan. Kegiatan riset berhenti
sebagai kertas laporan penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga riset negara
tanpa kemampuan membangun budaya riset dan inovasi.
Negeri ini juga hampir
tidak melahirkan politik kebudayaan yang dapat memperluas bidang pendukung
kreativitas, seperti gedung-gedung pertunjukan, sarana-sarana tekno-estetika,
studio-studio seni, pusat-pusat inkubasi, komunitas-komunitas epistemik,
gugus kendali mutu, jaringan media, galeri, kurator, dan kritik seni. Tanpa
dukungan politik kreativitas yang dapat memfasilitasi pengembangan domain
simbolik dan bidang pendukung, banyak anak berbakat yang lekas layu sebelum
berkembang atau berhenti sebagai jago kandang.
Kreativitas merupakan
jantung dari industri kreatif yang amat menentukan daya hidup bangsa di era
globalisasi. Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class (2002)
melukiskan peran esensial dari kreativitas dalam perekonomian kontemporer.
Pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidaklah seperti pada transisi dari era
pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik (tanah dan tenaga
manusia), tetapi bersandarkan pada inteligensia, pengetahuan, dan
kreativitas. Kreativitas manusialah satu-satunya sumber daya yang tak
terbatas. Negara-negara dengan creative capital yang tumbuh baik, seperti
Finlandia, Swedia, Denmark, Belanda, Irlandia, Kanada, Australia, dan
Selandia Baru, terbukti memiliki daya saing perekonomian yang lebih kuat.
Isu utamanya di sini
bukanlah human capital dalam arti konvensional yang semata-mata diukur
berdasarkan pendidikan formal, melainkan pada pemuliaan daya-daya kreatif
lewat penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan kreativitas. Ekosistem
kreativitas yang baik merupakan sinergi dari ketersediaan teknologi, talenta,
dan toleransi—dengan tiadanya hambatan bagi ragam ekspresi budaya.
Adapun pelaku utama
dari ekonomi kreatif (the creative economy) ini tak lain adalah anak-anak
muda dengan etos kreatif kuat. Itulah sebabnya mengapa dalam perekonomian
global hari ini banyak pengusaha sukses yang tumbuh dan berkembang dari
orang-orang muda.
Pada titik inilah
titik genting pertaruhan Indonesia masa depan. Mengapa demikian? Sebab,
bentuk piramida penduduk Indonesia pada awal milenium ini membesar di tengah,
mengindikasikan besarnya jumlah pemuda berusia kerja. Meski jumlahnya banyak,
peran pemuda dalam berbagai bidang dan lapis kehidupan sosial-politik dan
sosial-ekonomi nasional masih terasa lemah, seiring rendahnya kapasitas daya
saing mereka dalam kompetisi antarbangsa.
Karena itu, penciptaan
ekosistem kreativitas bagi pengembangan sumber daya muda merupakan prioritas
penting pembangunan. Tanpa kesungguhan dalam politik kreativitas, apa yang
disebut bonus demografi bisa menjadi bencana demografi.
Apabila Joey yang
berjuang sendiri dapat mengibarkan panji-panji kebesaran bangsa, mestinya
negara dengan segala dukungan sumber daya dan personelnya yang berlipat ganda
lebih berdaya memfasilitasi lahirnya generasi kreatif Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar