Senyawa Islam dan Demokrasi Kita
Zacky Khairul Umam ;
Kandidat Doktor Sejarah
Intelektual Islam di Freie Universitaet Berlin; Ketua Nahdlatul Ulama Cabang
Istimewa Jerman
|
KOMPAS, 01 Maret
2016
Salah satu hal yang
membuat telinga kita bising ialah debat kusir yang tak kunjung berhenti
antara pendukung imajiner Joko Widodo versus Prabowo Subianto. Setidaknya itu
masih tecermin dalam wicara sehari-hari di media sosial.
Pada tataran lain, di
luar ranah politik, yang terjadi justru adalah diskusi sangat sehat. Mengapa?
Publik disajikan bukan hanya soal dukungan asal-asalan, melainkan mereka juga
disuguhkan diskusi dengan argumen yang memadai. Hal ini tecermin dari
pro-kontra isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, transjender) yang muncul belakangan
ini. Yang pro dan anti isu ini ada yang menyajikan data dan gugusan argumen
yang runut dan dapat dipertanggungjawabkan.
Manakala kontestasi
seperti di atas berlangsung terus-menerus dengan mengelola kewarasan nalar
kita, kepandiran publik yang sering diukur hanya dengan like di Facebook, misalnya, tak perlu dirisaukan. Sama seperti
omongan Donald Trump dan dukungan kaum konservatif di belakangnya, Amerika
tak akan ceroboh mengikuti tren politik yang primitif ini. Demikian halnya
kita, Indonesia, tak akan kita biarkan bangkrut gara-gara sebagian kecil yang
berisik yang selalu memerintahkan perbaikan moralitas tanpa mau introspeksi
diri.
Karena itu, pesimisme
adalah pilihan paling terakhir dari pikiran kita. Atas perbedaan pendapat
yang terjadi, justru kita menemukan diri semakin bijak. Tak ada pro-kontra
yang benar-benar hitam-putih. Seperti dalam persoalan homoseksualitas
belakangan ini. Pada kelompok Islam yang seperti kehilangan kelenturannya,
ada nada semacam negosiasi publik yang diharapkan sehat, dan meminimalisasi
intimidasi serta diskriminasi sosial; penyakit yang sangat tidak ideal dari
keindonesiaan kita.
Umat Muslim harus
sadar bahwa homoseksualitas merupakan invensi Barat. Sebelum modernitas
Barat, Islam tidak mengenal politik dan konsep homoseksualitas yang kaku.
Sosiolog Jerman, Georg Klauda, dalam bukunya, Die Vertreibung aus dem Serail: Europa und die Heteronormalisierung
der islamischen Welt (2008), membantah Islam yang keras atas fenomena
homoseksualitas. Ia bersikukuh bahwa penyokong fundamentalisme yang membuat
opini publik bahwa homofobia dan persekusi atas homoseksualitas dibenarkan
kebudayaan Islam merupakan cerita yang salah tentang peradaban Islam. Justru
kolonialisme Baratlah, menurut dia, yang menularkan gejala homofobia-sebagaimana
fasisme modern-ke dunia Muslim.
Mereka yang menutup
mata pada jenis penelitian akademis ini tidak masalah selagi mereka masih
mengukur permasalahan sosial kita melalui kacamata kewarganegaraan dan
kemanusiaan. Kadang kala ada kegelisahan psikologis yang menghantui para
orangtua (dan mereka bukanlah kaum beragama yang ekstrem) yang enggan
generasi penerusnya diteror oleh homoseksualitas yang dianggap sebagai
penyakit sosial. Di balik kegelisahan itu, mereka tetap menyajikan
pilihan-pilihan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan.
Mengelola perbedaan
Langgam keberagaman
pendapat seperti ini, dengan meminimalisasi potensi kekerasan dan intimidasi,
yang memungkinkan fungsi kehidupan demokratis berjalan dengan baik. Filsuf
Jerman-Brasil, Carlos Fraenkel, dalam salah satu esainya tentang Indonesia di
buku Teaching Plato in Palestine:
Philosophy in a Divided World (2015), menyebut "kebudayaan untuk
berdiskusi/debat" sebagai keharusan agar demokrasi deliberatif berjalan.
Di sini, soal perbedaan adalah sesuatu yang harus dikelola bersama.
Bahkan, Carlos menulis
bahwa demokrasi di Barat pun tak berlandaskan pada deliberasi filosofis yang
memadai. Baginya, deliberasi Barat itu teori belaka. Pengandaiannya tentang
Indonesia menarik: "Jika Indonesia
ingin meraih ini (demokrasi dengan deliberasi filosofis di ruang publik), ia
mungkin akan menjadi unggul secara signifikan lebih daripada kehidupan
demokrasi di Barat" (hal 33).
Namun, tidak serta
merta adanya diskusi publik yang semakin sehat itu sudah menjamin eksistensi
demokrasi. Justru ia membutuhkan penguatan. Mungkin terinspirasi dari
pengalaman Perancis dan Brasil, Carlos mengatakan, "Jika saya Mendikbud
di Indonesia, saya akan mewajibkan kelas pengantar filsafat untuk tingkat
sekolah menengah umum dan universitas" (hal 32). Alur berpikir pengkaji
filsafat Islam klasik dan Barat ini mengikuti Plato dalam Politeia: tanpa
memahami kemaslahatan umum (common good),
seseorang tak akan mampu mewujudkannya.
Optimisme Carlos
tentang "kemaslahatan publik" itu beralasan. Ia mengandaikan Islam
di Indonesia untuk menggali kembali tradisi intelektual Islam yang sangat
kaya, khususnya kemampuan untuk mengembangkan falsafah atau seperti dalam
Pancasila hikmah-kebijaksanaan. Ditambah lagi, Indonesia berkomitmen sejak
lama untuk berdemokrasi, pluralisme budaya yang luar biasa, dan landasan
kehidupan berbangsa yang modern. Kemampuan untuk mengelola ketegangan dan
kontestasi publik yang sehat itulah yang justru menumbuhkan cara berpikir
yang kreatif, bukan kejumudan.
Harapan dunia internasional
atas masa depan Indonesia tidaklah main-main. Demokrasi dengan budaya Muslim
yang maju sangat diharapkan tumbuh pesat. Isu-isu semacam LGBT, hak asasi
manusia, sektarianisme (Sunni- Syiah, misalnya), dan seterusnya tak selalu
harus dihadapi kaum Muslim dengan prasangka atau ketakutan yang
besar-besaran. Sebaiknya, di samping tetap memperkaya diskusi kita yang sudah
cukup kaya, kita mempersiapkan diri meracik kembali senyawa kehidupan politik
melalui pemikiran kreatif.
Menolak
homoseksualitas melalui fobia, misalnya, malah akan memaksa langkah kita
mundur. Solusi yang sama-sama melindungi hak warga negara, setidaknya melalui
pranata kemasyarakatan dan negara, perlu dipertimbangkan secara
sungguh-sungguh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar