Sabtu, 14 Oktober 2017

Polemik Harga Batubara PLN

Polemik Harga Batubara PLN
Singgih Widagdo  ;   Ketua Kebijakan Publik, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
                                                      KOMPAS, 13 Oktober 2017



                                                           
Sebuah bangsa yang tidak bisa menguasai sumber-sumber daya energinya tidak akan mampu pula mengendalikan masa depannya (A nation that can’t control its energy sources, can’t control its future).

Pendapat mantan Presiden AS Barack Obama ini bisa kita pakai untuk mengevaluasi kebijakan energi kita. Sejauh mana negara kita mampu bukan sekadar memiliki, melainkan juga menguasai sumber daya alam kita?

Saat ini harga batubara PLN tengah menjadi perdebatan.  Menteri ESDM Ignasius Jonan pun tak setuju dengan usulan harga cost plus yang ditawarkan PLN. PLN tetap diminta efisien (Kompas, 29/9). Memperdebatkan harga batubara PLN menjadi indikasi negeri ini memang belum matang karena terjebak pada pengelolaan batubara tanpa visi jangka panjang. Pada saat negara lain bergerak maju untuk menguasai teknologi batubara, kita justru bergerak mundur masih memperdebatkan sumber daya batubara dan harga batubara.

Di sejumlah negara maju, perdebatan lebih mengarah pada upaya negara menguasai energi (batubara), sekaligus membangun kekuatan geopolitik energi bagi kepentingan negara. Ironisnya, kita baru sebatas kebanggaan memiliki (bukan menguasai) sumber daya batubara. Masih jauh dari bicara teknologi.

Selama ini, batubara sebatas diperdebatkan sebagai komoditas, dan bukan energi. Baik PLN maupun ESDM selalu bersitegang tentang harga batubara untuk kebutuhan PLN. Lantas bagaimana masalah harga batubara semestinya dapat diselesaikan dan secepatnya bangsa ini lebih bergerak maju dengan mengangkat teknologi batubara?

Harga batubara PLN

Penilaian yang sering kali muncul dalam komunitas industri pertambangan batubara terhadap PLN adalah kebijakan harga batubara. Bahkan, penilaian pernah lebih condong ke arah negatif di saat PLN memanfaatkan izin usaha pertambangan  (IUP) skala kecil untuk menjadi pemasok bagi pembangkit listrik tenaga batubara (coal power plant) yang dimiliki PLN.

Sebaliknya, PLN pun sering memandang perusahaan tambang  batubara lebih mengedepankan masalah harga batubara, tanpa mau tahu bagaimana PLN harus menghadapi harga jual listrik yang demikian rendah dibandingkan biaya produksi. Muncul kekhawatiran PLN, saat harga batubara meningkat tajam, perusahaan tambang lebih memprioritaskan ke ekspor.

Maka, sangat wajar jika PT PLN (Persero) lalu membentuk PLN Batubara (PLNBB) sebagai anak perusahaan yang bergerak di  bidang pertambangan batubara meski masih sebatas sebagai  coal trader. Manajemen terus berusaha mengembangkan PLNBB agar dapat memiliki dan mengoperasikan tambang batubara milik sendiri. Dengan demikian, akan mampu keluar dari masalah jaminan pasokan, baik dari sisi jumlah maupun kualitas (coal security supply dan coal consistency quality).

Meski demikian, teguran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Jonan agar PLN dapat menekan harga batubara semestinya tak lantas diterjemahkan PLN dengan buru-buru mengakuisisi tambang batubara serta terus menekan seluruh pemasok untuk menurunkan harga batubara. Masih banyak cara lain yang semestinya dapat dilakukan pemerintah (PLN dan ESDM), baik jangka pendek maupun panjang, untuk meminimalkan fluktuasi harga.

Dari sisi pasokan, pada setiap kontrak yang dimiliki penambang  besar (coal contract of work) telah tercantum ketentuan untuk memberikan prioritas pasokan ke dalam negeri di saat kebutuhan dalam negeri  terganggu. Oleh ESDM telah dibuat  detail lewat kebijakan Domestic Market Obligation (DMO).

Langkah korporasi PLN untuk mengakuisisi tambang batubara di saat kebijakan harga batubara acuan (HBA) belum berlaku menjadi sangat jauh berbeda dengan saat kebijakan HBA diberlakukan. Atas dasar HBA, harga batubara PLN otomatis harus mengikuti harga pasar. Sementara bagi pemerintah, dengan HBA pemerintah dapat memastikan target pendapatan nasional bukan pajak.

Mencari jawaban

Sikap dan keinginan pemerintah agar PLN menekan biaya energi primer untuk batubara semestinya memang harus segera diwujudkan. Hal itu bukan hanya tanggung jawab pihak  PLN, tetapi juga pemerintah (ESDM). Dengan demikian, kekayaan sumber daya alam (batubara) benar-benar bermanfaat bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Namun, mengingat industri  pertambangan batubara  Indonesia yang telah terbangun selama ini, langkah untuk meminimalkan risiko fluktuatif harga batubara yang harus dihadapi PLN dapat dilakukan melalui langkah jangka panjang dan langkah jangka pendek.

Jangka pendek, pasca-kebijakan HBA, kondisi industri pertambangan batubara menjadi lebih baik dan tertata sehingga penerapan HBA sebaiknya tetap dilakukan. Yang harus dikoreksi bukan menghilangkan HBA, tetapi mengoreksi formulasi HBA. Mengingat Indonesia eksportir terbesar batubara, sebaiknya pola formulasi batubara yang ada saat ini, yaitu atas dasar empat indeks (Indonesian Coal Index/ICI, Platts, New Castle Export Index/NEC, dan New Castle Global Coal Index/GC) yang masing-masing memiliki porsi 25 persen, diubah. Sebaiknya ke depan porsi Indonesian Index atau tambahan indeks baru yang dikeluarkan pemerintah menjadi lebih besar dari 25 persen. Dengan proporsi 50 persen indeks Indonesia dan 50 persen indeks internasional, bahkan kalau bisa 75 persen indeks Indonesia, harga batubara di dalam negeri (termasuk PLN) tak akan mengalami fluktuasi harga seperti saat ini.

Dengan formulasi perhitungan HBA saat ini, sering kali  fluktuasi harga terjadi akibat pengaruh harga batubara Australia. Bahkan, sering pengaruh harga  hanya terjadi akibat  pengapalan batubara dengan volume kecil di Australia. Di China yang memiliki indeks harga batubara sendiri, pengendalian harga batubara di dalam negeri lebih bisa dikontrol. Memang ada perbedaan: Pemerintah China menguasai lebih besar produksi batubara nasional, berbeda dengan BUMN PT Batubara Bukit Asam, yang relatif kecil produksinya dibandingkan dengan total produksi batubara nasional.

Sebagai eksportir batubara terbesar di dunia, sebaiknya pemerintah segera memiliki indeks batubara  sendiri.  Seluruh panel terpilih dapat dipilih dari kalangan profesional di bidang industri pertambangan batubara dan punya integritas ”merah putih” dalam membuat dan  mengimplementasikan Indeks Harga Batubara untuk kepentingan industri batubara nasional, khususnya PLN yang harus bertanggung jawab atas kelistrikan.

Dengan Indonesian Coal Indeks (ICI) dan ditambah indeks baru oleh pemerintah, formulasi HBA lebih menjadi proporsional dengan minimal 50 atau 75 persen memakai Indeks Batubara Indonesia. Ini dipastikan akan mengurangi tingkat fluktuasi harga batubara, yang hasilnya a akan memudahkan PLN dalam menyusun anggaran pembelian energi primer (batubara).

Jangka panjang

Jangka panjang, di awal industri pertambangan batubara Indonesia terbangun di Indonesia, konsep royalti harus dibayarkan dalam bentuk in-kind. Namun, di awal 1990-an, saat sebagian besar  CCoW Generasi I masih tahap commissioning production dan pasar  perdagangan batubara masih relatif kecil, termasuk di dalam negeri, pemerintah mengubah royalti dari in-kind menjadi in-cash.

Saat ini telah terjadi perubahan peta pasar batubara, bahkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah diletakkan usulan proyeksi produksi batubara atas dasar lebih kepada kebutuhan batubara di dalam negeri atau sebagai kunci ketahanan energi di dalam negeri.

Dengan dasar tersebut, sebaiknya pemerintah segera membuat cetak biru (blue-print) infrastruktur batubara(salah satunya pelabuhan coal blending) dalam mempersiapkan dan mengembalikan porsi kepemilikan batubara pemerintah untuk diwujudkan kembali dalam bentuk in-kind.  Tanpa mempersiapkan rencana infrastruktur batubara,  sangat sulit terbangun secara adil dan merata bagi semua penambang untuk bertanggung jawab  pada  tuntutan DMO yang seperti saat ini diberlakukan.

Dengan membangun infrastruktur batubara, diharapkan pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri, khususnya PLN, menjadi lebih efisien untuk mengurangi biaya energi primer dalam menekan biaya operasi.

Akhirnya, melalui langkah jangka pendek dan jangka panjang, semestinya harga batubara di dalam negeri  menjadi cermin bahwa kita memiliki sumber daya alam (batubara) dan kitalah yang mengelolanya.  Bukan seperti saat ini, di mana kita memiliki sumber daya alam (batubara), tetapi dalam menentukan harga batubara di dalam negeri kita harus membandingkan dengan harga batubara yang dibeli oleh negara importir, yang notabene tidak memiliki sumber daya alam (batubara).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar