Orkestra
3 Tahun Proyek Pemerataan
Bhima Yudhistira Adhinegara ; Peneliti Institute
for Development of
Economics and Finance (INDEF)
|
KORAN
SINDO, 19 Oktober 2017
PRESIDEN Jokowi-JK telah
menjadi nahkoda ekonomi selama tiga tahun terakhir. Banyak pencapaian yang
sepatutnya jadi kebanggaan, mulai dari pembangunan jalan tol, jembatan dan
infrastruktur lainnya di seantero penjuru republik. Indonesia bagian timur
pun tak ketinggalan bersorak merasakan efek pembangunan yang begitu meriah.
Baru kali ini jalan tol trans Papua yang membentang dari Sorong ke Merakue
sepanjang 3.259,4 km berhasil direalisasikan. Anggapan bahwa pembangunan
sifatnya Jawa Sentris perlahan dibantah oleh Jokowi-JK melalui program
infrastrukturnya.
Di sisi yang lain anggaran
pemerataan ekonomi di era Jokowi-JK mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Pos anggaran subsidi energi dikurangi lebih dari 77% dalam tiga tahun
terakhir dan diganti dengan Program Keluarga Harapan (conditional cash
transfer). Jumlah penerima PKH terus naik dari 2,5 juta orang di 2015 menjadi
6 juta orang di 2017. Harapannya, bantuan subsidi lebih tepat sasaran dan
efektif menurunkan angka kemiskinan khususnya di pedesaan. Pasalnya sejak
Indonesia merdeka hingga hari ini kemiskinan masih menjadi tantangan utama
dalam diskursus pembangunan nasional.
Data terakhir kemiskinan per
Maret 2017 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 10,64% dari total penduduk
atau 27,77 juta jiwa. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, penurunan angka
kemiskinan berjalan sangat lambat atau hanya berkurang 2,63%. Sementara itu
dibandingkan periode 1970-1996 presentase penduduk miskin bisa diturunkan
dari 60% menjadi 11,3%.
Kondisi kesenjangan pun tidak
mengalami perubahan, bahkan trennya meningkat paska reformasi. Rasio gini
masih bertengger di 0,39-0,40 dalam dua tahun terakhir, menurun tapi tidak
signifikan. Permasalahan kesenjangan dan kemiskinan warisan yang sifatnya
sudah mengakar memang tak mudah untuk diselesaikan dalam tempo singkat.
Namun, setidaknya Pemerintah telah membuat beberapa instrumen yang cukup
progresif diluar dana bansos salah satunya adalah reforma agraria dan dana
desa.
Dorong Reforma Agraria dan Dana Desa
Reforma agraria merupakan instrumen
yang telah ditunggu-tunggu untuk selesaikan ketimpangan lahan. Bayangkan
ketimpangan paling berbahaya dan laten adalah ketimpangan lahan dengan rasio
gini mencapai 0,64 dibandingkan rasio gini pengeluaran 0,39. Ketimpangan
lahan memunculkan aneka konflik agraria ditengah masyarakat. Selain itu
persoalan rendahnya produktivitas pangan karena alih guna lahan juga jadi
masalah yang serius. Di tangan Presiden Jokowi terobosan reforma agraria yang
sempat macet di era Soekarno maupun Soeharto berhasil dijalankan.
Bagi-bagi lahan pun tidak
tanggung-tanggung, targetnya 9 juta hektar yang terdiri dari 4,5 juta hektar
redistribusi lahan dan 4,5 juta hektar sertifikasi lahan. Semua target
tersebut diharapkan rampung sebelum Pemilu 2019. Hanya saja reforma agraria
yang berjalan masih parsial. Sebagian besar adalah bagi-bagi sertifikat lahan
kepada warga. Sementara proyek redistribusi lahan produktif untuk kegiatan
pertanian masih terkendala masalah teknis khususnya pembaruan data lokasi.
Harapannya sisa dua setengah tahun masa Pemerintahan sudah ada realisasi
lahan yang benar-benar produktif didistribusikan kepada petani miskin.
Selain reforma agraria,
instrumen ampuh yang dimanfaatkan oleh Pemerintah dalam tiga tahun terakhir
adalah dana desa. Anggaran dana desa yang tercatat Rp60 triliun per tahun
terbukti efektif menciptakan penyerapan tenaga kerja. Data Kementerian Desa
tahun 2017 mencatat bahwa dana desa mampu menyerap 1,5 juta orang tenaga
kerja di sektor infrastruktur dan 960 ribu orang di sektor pemberdayaan.
Kebermanfaatan infrastruktur
pun lebih dirasakan kepada masyarakat secara langsung. Jalan desa yang
terbangun mencapai 66.884 km dengan 12.596 unit irigasi baru di 74 ribu lebih
desa diseluruh Nusantara. Oleh karenanya dana desa memang sebaiknya terus ditambah.
Adapun permasalahan korupsi dana desa bisa diantisipasi dengan perbaikan tata
kelola (governance) dan pengawasan yang lebih ketat dari Pemerintah Pusat.
Perkuat Modal
Jika memandang kedepan, target
ambisius menurunkan angka kemiskinan dari 10,7% ke 10% serta rasio gini dari
0,39 ke 0,38 pada tahun 2018 tentu membutuhkan modal yang cukup besar.
Setidaknya total pos belanja perlindungan sosial per tahunnya butuh Rp157,7
triliun sementara biaya membangun infrastruktur bisa butuh lebih dari Rp5.500
triliun hingga 2019. Sementara itu kondisi fiskal tidak memungkinkan untuk
melakukan mengalokasikan dana lebih besar karena terbatas defisit.
Untuk itu modal yang dimaksud
adalah penerimaan pajak harus siap mengisi kantong agar program pemerataan
tidak mengandalkan utang. Dalam hal penggalian potensi pajak Indonesia memang
masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Rasio pajak terhadap PDB
atau tax ratio Indonesia hanya 11%, sementara Thailand dan Malaysia
masing-masing sudah di atas 14%.
Jika dipetakan, potensi
penerimaan pajak di Indonesia masih cukup besar. Total wajib pajak individu
mencapai 60 juta orang, sementara yang punya NPWP ada dikisaran 28 juta
orang. Sayangnya yang taat melaporkan dan membayar setoran pajak hanya ada 11
juta atau 18,3% dari total wajib pajak potensial. Dalam konsep negara welfare
state atau negara kesejahteraan, turunnya ketimpangan dan kemiskinan hanya
bisa tercapai apabila instrumen pajaknya efektif.
Pemerintah ke depannya bisa
segera melakukan reformasi perpajakan, dari mulai perluasan basis pajak
hingga membentuk badan pajak yang terpisah dari Kementerian Keuangan seperti
di AS. Gotong royong mengentaskan kemiskinan juga tidak bisa dilakukan oleh
Pemerintah pusat sendirian. Orkestra yang seirama harus dimainkan juga oleh
Pemerintah Daerah.
Dalam kurun waktu lima tahun
terakhir jumlah dana dari pusat yang mengalir ke daerah meningkat hingga
Rp284,2 triliun. Dalam APBN 2017 pun dana transfer daerah dan dana desa
porsinya lebih besar dibanding belanja Kementerian/Lembaga. Di tahun 2017,
anggaran yang disiapkan untuk daerah termasuk dana desa mencapai Rp764,9
triliun lebih besar dari belanja Kementerian/Lembaga yakni Rp763,6 triliun.
Artinya, pemerintah pusat ingin
memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah untuk memerangi kemiskinan.
Kuncinya dengan dana sebesar itu adalah sinergi Pusat-Daerah. Harapannya
pemberantasan kemiskinan dan penurunan angka ketimpangan tidak berjalan dalam
koridor yang terpisah. Orkestra pengentasan kemiskinan harus dimainkan dengan
harmonis agar menghasilkan lagu kesejahteraan yang indah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar