Irasionalitas
Perppu Ormas
Refly Harun ; Ahli Hukum Tatanegara;
Ketua Pusat Studi Ketatanegaraan (PUSARAN) Fakultas Hukum Universitas
Tarumanagara, Jakarta
|
DETIKNEWS,
25 Oktober
2017
Pembelahan politik atas
kanan-kiri, yang kembali mencuat saat dan pasca-Pilkada DKI 2017, membuat
masyarakat kehilangan rasionalitas, termasuk kelompok kelas menengah
terdidik. Irasionalitas tersebut sangat tertangkap kala menyimak debat soal
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan, atau yang lebih dikenal dengan Perppu Ormas.
Bagi kelompok kiri dalam
spektrum politik Indonesia, yang saat ini banyak berkumpul di bawah panji
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Perppu Ormas adalah sebuah
keharusan untuk menangkal (bahkan membasmi) kelompok-kelompok yang mereka
anggap radikal, intoleran, bahkan anti-Pancasila. Kelompok kanan, sebaliknya,
menyatakan Perppu Ormas hanyalah cara penguasa untuk menindas umat. Kata
"umat" sengaja dipakai untuk menunjukkan kekananannya.
Bagi kelompok kiri, Perppu
Ormas adalah imajinasi tentang musnahnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan
cara mudah (tanpa pakai ba-bi-bu proses pengadilan lagi). Imajinasi bisa jadi
mengarah pula pada kelompok-kelompok yang dianggap radikal lainnya. Bagi
kelompok kanan, bahasa hiperbola terus dipakai, bahwa Perppu Ormas akan terus
dipakai untuk memberangus kelompok-kelompok Islam di Indonesia. Sudah pasti
kelompok Islam yang kritis terhadap pemerintahan sekarang (karena ada juga
kelompok Islam yang mendukung pemerintah).
Anehnya, para intetelektual
yang berada di bawah panji kanan dan kiri tersebut ikut ambil posisi tanpa
mau berpikir lagi. Posisi menentukan ide, begitulah yang terjadi. Tak ada
yang berdebat soal substansi. Yang ada hanya jargon: menolak perppu berarti
mendukung radikalisme, termasuk mendukung HTI, kosa kata yang mulai sama
menakutkannya dengan PKI di era Orde Baru. Sebaliknya, mendukung perppu
berarti menantang dan menentang umat. Lagi-lagi kata "umat"
dipakai, kata yang sama seramnya dengan "pribumi" hari-hari
belakangan ini.
Soal Substansi
Saya pribadi dari awal menolak
perppu, bukan karena pro terhadap salah satu kelompok. Cobalah menyimak
secara jernih isi perppu. Kita akan tahu betapa berbahayanya perppu ini bila
suatu saat jatuh ke tangan pemimpin yang kuat, yang berwatak antidemokrasi.
Sama seperti undang-undang subversif yang terbit pada era Orde Lama, yang
dimaksudkan untuk membungkam lawan politik Sukarno, tetapi warisan ini
kemudian digunakan penguasa Orde Baru untuk membungkam lawan-lawan politiknya
juga.
Perppu memfasilitasi penguasa
untuk bisa membubarkan ormas apapun tanpa proses hukum (due process of law),
dengan alasan yang sangat beragam dan karet. Sering mereka yang pro perppu
menyatakan bahwa aturan ini digunakan untuk menangkal ormas-ormas radikal
anti-Pancasila. Kalau pun ini dianggap benar, tidak bisa suatu organisasi
dibubarkan begitu saja dengan mengatakannya anti-Pancasila.
Siapa yang bisa menyatakan
suatu ormas anti-Pancasila? Masyarakat, intelektual atau akademisi, media,
atau siapa? Perppu Ormas menyerahkan itu semua kepada pemerintah (bisa kepada
Menteri Dalam Negeri bila ormasnya hanya terdaftar atau kepada Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia bila ormasnya berbadan hukum). Dari mana Mendagri atau
Menkum HAM menetapkan sebuah ormas anti-Pancasila? Tidak jelas, bisa dari
mana saja. Bisa dari komentar-komentar kelompok kiri atau juga dari
pemberitaan media, atau dari rekaman video yang sangat mudah didapatkan
karena era gadget seperti saat ini.
Inilah soalnya dengan perppu.
Pemerintah menjadi penafsir tunggal Pancasila seperti pada era Orde Baru.
Cara ini bagi pendukung perppu dianggap sebagai "negara hadir".
Negara hadir untuk apa? Apakah negara hadir untuk membungkam kebebasan berserikat
dan berkumpul? Maling yang tertangkap basah saja dilarang digebuki dan
dihukum tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, apalagi ormas
yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan kental dengan hak asasi manusia
(freedom of association).
UU Nomor 17 Tahun 2013 telah
secara pas memberi peluang ormas anti-Pancasila untuk berubah dengan langkah
persuasif. Sebelum dimintakan pembubaran ke pengadilan, pemerintah terlebih
dulu membina ormas dimaksud. Tidak mempan dibina, ormas tersebut
diperingatkan. Bila tetap membandel dihentikan bantuan dan kegiatannya.
Barulah kemudian dimintakan pembubaran ke pengadilan bila semua langkah tidak
mempan dilakukan. Bukan langsung main dibubarkan begitu saja tanpa proses
pengadilan. Kalaupun ada peringatan hanya dalam tujuh hari kerja saja, yang
menunjukkan pemerintah tidak berniat sungguh-sungguh untuk membenahi ormas
dimaksud.
Tidak heran bila orang
sekaliber Profesor Salim Said saja mengkritik perppu dan mengatakan, apakah
kita mau kembali ke era Orde Baru dengan menyerahkan tafsir tunggal Pancasila
kepada pemerintah? Kita tahu, pada era Orde Baru, mantra
"anti-Pancasila" menjadi sangat ampuh untuk membungkam lawan
politik. Tafsir anti-Pancasila itu sendiri bisa berbeda dari pemerintahan ke
pemerintahan. Pada era Orde Lama Sukarno, dikatakan anti-Pancasila kalau
menolak nasakom (nasionalis, agama, dan komunis).
Misleading
Kata "Perppu Ormas
anti-Pancasila" itu sendiri sangat menyesatkan. Perppu sesungguhnya
memuat sangat banyak alasan untuk membubarkan sebuah ormas. Perppu berisi
kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi ormas yang kalau tidak
dijalankan akan bisa berbuah pembubaran. Jadi tidak mesti anti-Pancasila.
Biar lengkap sebagai infomasi,
berikut alasan yang dapat digunakan untuk membubarkan sebuah ormas tanpa
proses hukum:
a. Menggunakan nama, lambang,
bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut
lembaga pemerintahan;
b. Menggunakan dengan tanpa
izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional;
c. Menggunakan nama, lambang,
bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar ormas lain
atau partai politik;
d. Menerima dari atau
memberikan kepada pihak manapun sumbangan dalam bentuk apapun yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Mengumpulkan dana untuk
partai politik;
f. Melakukan tindakan
permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
g. Melakukan penyalahgunaan,
penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
h. Melakukan tindakan
kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak
fasilitas umum dan fasilitas sosial;
i. Melakukan kegiatan yang
menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
j. Menggunakan nama, lambang,
bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan
separatis atau organisasi terlarang;
k. Melakukan kegiatan separatis
yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
l. Menganut, mengembangkan,
serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Selain melakukan
larangan-larangan di atas, ormas juga bisa dibubarkan bila tidak melakukan
kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
a. melaksanakan kegiatan sesuai
dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI;
c. memelihara nilai agama,
budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk
masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum dan
terciptanya kedamaian dalam masyarakat;
e. melakukan pengelolaan
keuangan secara transparan dan akuntabel;
f. berpartisipasi dalam
pencapaian tujuan negara.
Selain larangan dan kewajiban
tersebut, ada pula larangan dan kewajiban bagi ormas yang didirikan warga
negara asing, yang kalau dilanggar atau tidak dilaksanakan juga akan bisa
berakibat pembubaran.
Poin-poin tersebut sesungguhnya
sudah tercantum dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 sehingga sesungguhnya tidak ada
kekosongan hukum. Yang berbeda hanyalah penjelasan tentang ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2013, yang
dimaksud dengan ‟ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila‟ adalah
ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme. Sedangkan dalam Perppu Ormas,
yang dimaksud dengan "ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila" antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme,
atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945.
Sekadar catatan, frasa
"paham lain" ini diselipkan di penjelasan pasal, bukan dalam pasal,
sehingga secara teknis sesungguhnya telah terjadi penyelundupan norma baru
dalam pasal dimaksud. Preseden Mahkamah Konstitusi (MK) selama ini,
norma-norma yang muncul dalam penjelasan biasanya dibatalkan atau dinyatakan
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat bila dimintakan pengujian.
Jadi, ada kata-kata "paham
lain", yang memungkinkan untuk menjangkau organisasi selain ateis dan
komunis, yaitu yang mau mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945. Padahal,
organisasi yang bermaksud mengubah setidaknya UUD 1945 itu banyak. Organisasi
mantan-mantan tentara era Orde Baru seperti Try Soetrisno dan Sayidiman
Suryohadiprodjo juga ingin mengganti UUD 1945 sekarang dengan versi asli yang
ditetapkan PPKI pada 18 Agustus 1945. Apakah organisasi ini bisa dibubarkan?
Kalau ukurannya perppu, bisa dan tanpa perlu pengadilan.
Selain "paham lain"
tadi, yang membedakan perppu dengan UU Nomor 17 Tahun 2013 adalah
dihilangkannya proses hukum dalam pembubaran ormas. Sering saya ambil contoh
begini, bila menjelang pemilu masih ada organisasi sayap parpol yang pecah
dan jadi kembar (seperti MKGR dan Kosgoro), salah satu pengurus tinggal mendatangi
pemerintah agar membubarkan organisasi tandingannya. Selama ini mereka
berseteru di jalur pengadilan. Sekarang, dengan Perppu Ormas, tinggal
mendekati pemerintah. Hal ini ternyata sudah terjadi dengan Ikatan Alumni
Universitas Indonesia (Iluni UI) yang kembar. Satu organisasi telah
dibubarkan Menteri Hukum dan HAM.
Rasionalitas MK
Di tengah deras arus
irasionalitas kelompok kanan-kiri saat ini, susah menjelaskan Perppu Ormas
secara jernih dan berakal budi. Yang ada hanya puji dan caci-maki. Pendapat cocok
dipuji, pendapat berbeda dicaci maki. Tak heran banyak pakar hukum tatanegara
yang tiarap tanpa mau mengambil risiko.
Dengan disahkannya Perppu Ormas
menjadi undang-undang, saya berdoa semoga undang-undangnya dibatalkan oleh
MK. Saya akan sangat heran bila MK sebagai the guardiant of the Constitution
membenarkan sebuah produk undang-undang yang melakukan penghukuman tanpa
proses hukum. Hal ini jelas-jelas mengingkari prinsip negara hukum (rule of
law).
Kalau akhirnya hakim-hakim MK
pun ikut terbelah dalam kalkulasi politik kanan dan kiri, atau terbawa arus
pandangan pragmatis, saya hanya berdoa produk undang-undang ini hanya sekadar
kemenangan simbolis kelompok kiri dalam politik kita yang terluka
pasca-Pilkada DKI. Perppu Ormas yang sudah menjadi undang-undang tersebut
tidak digunakan Presiden Jokowi atau para menterinya untuk memberangus
organisasi-organisasi yang tidak sejalan dengan pemerintah. Pun oleh
penguasa-penguasa pasca-Jokowi.
Kita tidak ingin masa kelam
Orde Lama dan Orde Baru terulang lagi karena kita abai memperingatkan
penguasa selagi kita masih mampu melakukannya. Lain halnya kalau kritik pada
penguasa pun mulai dibungkam dengan sejumlah ancaman. Bila terjadi, itu alarm
bagi demokrasi kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar