Senin, 16 Oktober 2017

“The Great Disruption”

“The Great Disruption”
Bre Redana  ;   Penulis Kolom UDAR RASA Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 15 Oktober 2017



                                                           
Sekarang ini khususnya di daerah tinggal saya yang terbilang desa, yakni Ciawi, terasa kian tidak mudah berlangganan koran. Pengiriman koran sering terhenti. Pihak agen bilang, kini jarang ada loper yang cukup setia dengan pekerjaannya. Tidak seperti dulu, kata agen. Sulit sekarang mencari orang yang bersedia jadi loper, keluhnya.

Ia menggerundel, daripada jadi loper anak-anak muda memilih jadi tukang ojek. Dia perbandingkan sendiri pendapatan antara ngojek dan menjadi loper. Menurut perhitungan dia, pendapatan sebagai pengemudi ojek lebih besar.

Kalau mau tetap bisa berlangganan koran, seorang teman menasihati saya, pindahlah rumah. Ke mana, tanya saya. Bertetangga dengan agen koran, jawab teman yang pernah menjadi importir film ini tertawa. Dia membandingkan film dengan koran. Kami bisa bikin film bagus, tapi sistem peredarannya tak mendukung. Bung bisa membikin koran bagus, tapi bagaimana kalau tak ada yang mengantar, ucapnya.

Inikah salah satu efek dari “revolusi motor”? Kawasan saya tinggal kebetulan tak jauh dari resor Puncak. Lebih-lebih di situ, mana ada yang bersedia jadi pengantar koran. Dengan motor ada pekerjaan yang konon besar tipnya, yakni antar-jemput perempuan penghibur. Jenis pekerjaan ini diam-diam punya nama khusus-yang jelas bukan loper.

“Dulu saya melakukan pekerjaan itu,” seorang anak muda mengaku. “Sekarang berhenti. Uang panas, cepat dapat cepat habis,” ujarnya cengengesan.

Banyak orang barangkali masih ingat sebuah zaman ketika koran diantar dengan jalan kaki. Setelah itu berkembang, koran diantar dengan naik sepeda. Banyak remaja menjadi pengantar koran.

Di kota kecil kami di Jawa Tengah dulu, koran diantar oleh remaja yang mengantar dengan bersemangat, tak peduli hari panas atau hujan. Dia pelajar SMP, menjadi loper untuk membiayai sekolah.

Ketika saya beranjak mahasiswa dan kadang-kadang tulisan dimuat terutama di koran-koran daerah, ia dengan gembira menunjukkan koran yang ia ketahui memuat tulisan saya. Itulah momen luar biasa bagi kami, penduduk kota kecil yang sehari-hari ngelangut. Dia membaca tulisan saya. Kami sama-sama bertumbuh dalam tradisi literer-dalam hal ini baca koran. Entah di mana dia sekarang, mudah-mudahan jadi dosen.

Kini, seiring kenangan tentang loper koran dari zaman yang telah berlalu tadi, kebiasaan membaca barang cetakan kian merosot. Lihat di semua tempat umum, sulit ditemukan orang membaca buku atau koran.

Ketidak-akraban orang dengan buku bahkan bisa dirasakan di kalangan para pegawai toko buku-toko buku besar sekalipun. Tak jarang mereka kebingungan ketika kita menanyakan judul buku atau nama pengarang. Mereka malah menggigit-gigit ujung jari kuku. Sepanjang masa sekolah mungkin mereka tidak pernah baca buku.

Berbeda dengan urusan peranti digital. Di kawasan paling agraris sekalipun jari-jari kasar serupa caveman menutul-nutul layar digital. Ketika peranti digital kita rusak, sampai pelosok desa kita bisa menemukan kios telepon seluler yang bisa membereskannya dengan segera.

Meminjam istilah Fukuyama: “the great disruption”-terjadi semacam longsor besar pada proses kebudayaan. Dunia kita kini bukanlah dunia yang kemarin lagi. Kalangan menengah atas dan priayi-priayi kota umumnya mengeluh mengenai susahnya mencari pembantu rumah tangga sekarang.

Ada anak muda pemotor di kampung saya yang melakukan berbagai pekerjaan sambilan dengan motornya. Saya memanggilnya Anjelo. Ia agak buta huruf, terbatas sekali kemampuan membacanya. Toh, ia terhubung dengan siapa saja yang membutuhkannya dengan peranti digitalnya?

Teknologi telah menyamaratakan semua orang: bukan sosialisme, apalagi komunisme yang kalian takuti. Tak dibutuhkan ekspertis atau kecakapan khusus. Anak muda setengah buta huruf inilah yang akhirnya saya mintai tolong untuk membelikan koran di pasar Ciawi tiap pagi.

Saya bujuk ia ikut baca koran. Dia senyum-senyum tak paham maksud saya. Kemungkinan baginya ajakan membaca adalah suatu hal yang aneh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar