Pertumbuhan
Ekonomi Tanpa Industrialisasi?
Dani Rodrik ; Profesor Politik
Ekonomi Internasional
di Sekolah Pemerintahan
John F Kennedy, Universitas Harvard;
Penulis Economics
Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science
|
KOMPAS,
24 Oktober
2017
Meskipun harga komoditas di
pasar global rendah, banyak negara yang tergolong paling miskin di dunia dan
selama ini sangat bergantung pada ekspor komoditas mampu menunjukkan kinerja
ekonomi yang baik.
Pertumbuhan perekonomian negara
di Sub-Sahara Afrika melambat secara drastis sejak 2015, tetapi hal ini lebih
mencerminkan persoalan spesifik di tiga negara dengan perekonomian terbesar
di wilayah itu: Nigeria, Angola, dan Afrika Selatan.
Etiopia, Pantai Gading,
Tanzania, Senegal, Burkina Faso, dan Rwanda diproyeksikan mencapai
pertumbuhan 6 persen atau lebih tinggi lagi pada tahun ini. Di Asia, hal yang
sama terjadi pada India, Myanmar, Banglades, Laos, Kamboja, dan Vietnam.
Hal ini merupakan sebuah kabar
baik, tetapi membingungkan. Negara berkembang yang berhasil mencapai
pertumbuhan pesat dan berkesinambungan tanpa bergantung pada kenaikan harga
sumber daya alam pada umumnya mampu mencapai itu karena kebijakan
industrialisasi berorientasi ekspor yang ditempuhnya.
Meski demikian, hanya sedikit
dari negara-negara itu yang mengalami industrialisasi. Porsi manufaktur di
negara berpendapatan rendah di Sub-Sahara Afrika umumnya berada di angka
stagnan, di beberapa negara bahkan mengalami penurunan. Dan, meski banyak
sorotan mengenai ”produk buatan India” (Make in India), yang merupakan salah
satu slogan penting Perdana Menteri Narendra Modi, tak banyak indikasi yang
menunjukkan terjadinya industrialisasi yang pesat di negara tersebut.
Peran manufaktur
Manufaktur menjadi kunci
penting untuk mencapai pertumbuhan ekonomi bagi negara berpendapatan rendah
karena tiga hal. Pertama, tidak sulit untuk mengadopsi teknologi dari luar
negeri dan menciptakan lapangan kerja dengan produktivitas tinggi.
Kedua, pekerjaan manufaktur
tidak memerlukan keterampilan tinggi: petani dapat bertransformasi menjadi
pekerja pabrik hanya dengan investasi kecil untuk pelatihan keterampilan.
Ketiga, permintaan terhadap produk manufaktur tak dibatasi pendapatan dalam
negeri yang rendah: produksi dapat dikembangkan tanpa batas, melalui ekspor.
Namun, keadaan berubah. Banyak
fakta di lapangan menunjukkan terjadinya pergeseran manufaktur, menjadi
semakin skill-intensive atau menuntut keterampilan tinggipekerjanya, dalam
beberapa dekade terakhir.
Seiring dengan globalisasi,
semakin sulit bagi negara pendatang baru untuk memasuki dunia manufaktur
secara besar-besaran dan meniru kesuksesan negara manufaktur besar di Asia.
Kecuali segelintir negara eksportir, negara-negara berkembang telah mengalami
deindustrialisasi secara dini. Peluang menjadikan manufaktur sebagai jembatan
lompatan menuju pertumbuhan tinggi, dengan demikian, telah dirampas dari
negara-negara berkembang yang terbelakang.
Model pertumbuhan
Lalu, bagaimana menjelaskan
peningkatan pertumbuhan di negara termiskin di dunia? Apakah negara ini
menemukan sebuah model pertumbuhan baru?
Dalam penelitian yang dilakukan
baru-baru ini, Xinshen Diao dari International Food Policy Research
Institute, Margaret McMillan dari Universitas Tufts, dan saya menganalisis
pola pertumbuhan di antara negara yang baru-baru ini mengalami pertumbuhan
tinggi. Fokus kami adalah melihat pola perubahan struktural yang dialami oleh
negara-negara tersebut. Kami kemudian mendokumentasikan temuan-temuan
paradoksial ini.
Pertama, perubahan struktural
yang mendorong pertumbuhan merupakan bagian signifikan dari negara-negara
berpenghasilan rendah, seperti Etiopia, Malawi, Senegal, dan Tanzania, dalam
beberapa tahun terakhir meskipun tidak ada industrialisasi.
Kaum pekerja telah berpindah
dari lapangan kerja di sektor pertanian dengan tingkat produktivitas rendah
ke sektor-sektor kegiatan lain yang memiliki produktivitas lebih tinggi,
tetapi sebagian besar kegiatan ini pada umumnya di sektor jasa, dan bukan
manufaktur.
Kedua, perubahan struktural
yang pesat di negara-negara ini berlangsung dibarengi dengan pertumbuhan
produktivitas yang negatif di sektor-sektor nonpertanian. Atau, dengan kata
lain, meskipun bidang jasa yang menyediakan lapangan kerja baru menunjukkan
produktivitas yang cukup tinggi pada awalnya, tingkat produktivitas ini akan
semakin menurun seiring dengan perkembangan sektor tersebut.
Pola ini berkebalikan dengan
yang terjadi di Asia Timur, seperti Korea Selatan dan China, di mana
perubahan struktural dan pertumbuhan produktivitas kerja di luar sektor
pertanian telah memberikan kontribusi besar pada pertumbuhan secara
keseluruhan.
Perbedaan ini bisa dijelaskan
dengan fakta bahwa perluasan sektor perkotaan dan modern di negara-negara
yang baru-baru ini mengalami pertumbuhan tinggi didorong oleh permintaan
dalam negeri dibandingkan dengan industrialisasi yang berorientasi ekspor.
Model pertumbuhan di
negara-negara Afrika ini tampaknya disokong oleh dampak agregat positif permintaan
yang berasal baik dari luar negeri maupun dari pertumbuhan produktivitas
dalam bidang pertanian. Misalnya, di Etiopia, investasi sektor publik dalam
bidang irigasi, transportasi, dan listrik telah menghasilkan peningkatan
drastis dalam produktivitas pertanian dan pendapatan. Hal ini menyebabkan
dorongan pertumbuhan, perubahan struktural, yang terjadi seiring dengan
peningkatan permintaan yang merambah di luar sektor pertanian.
Namun, produktivitas pekerja di
luar sektor pertanian menurun sebagai efek samping dari menurunnya keuntungan
investasi dan masuknya perusahaan yang kurang produktif.
Temuan ini tidak dimaksudkan
untuk mengecilkan pentingnya pertumbuhan produktivitas yang pesat dalam
bidang pertanian, yang umumnya merupakan sektor tradisional. Penelitian kami
menunjukkan bahwa pertanian di Afrika telah memainkan peranan penting tidak
hanya bagi pertumbuhan bidang itu saja, tetapi juga menjadi pendorong
perubahan struktural yang meningkatkan pertumbuhan.
Diversifikasi ke produk yang
tidak tradisional dan penggunaan teknik produksi baru dapat mengubah
pertanian menjadi aktivitas yang kuasi-modern. Namun, terdapat batasan
terhadap seberapa jauh hal ini dapat memajukan perekonomian.
Hal itu, antara lain, akibat
elastisitas pendapatan terhadap permintaan produk pertanian yang rendah. Arus
keluar tenaga kerja dari sektor pertanian menjadi hal yang tak terelakkan
dalam proses pembangunan. Tenaga kerja yang keluar dari sektor ini harus bisa
diserap oleh lapangan pekerjaan modern.
Dan, jika produktivitas sektor
modern tidak meningkat, pertumbuhan perekonomian secara umum akan menjadi
stagnan. Kontribusi yang diberikan oleh komponen perubahan struktural
terbatas jika sektor modern tidak mengalami pertumbuhan produktivitas yang
pesat.
Negara-negara berpendapatan
rendah di Afrika dapat mempertahankan pertumbuhan produktivitas yang moderat
di masa depan dengan didukung peningkatan sumber daya manusia dan tata kelola
pemerintah yang stabil. Konvergensi berkelanjutan dengan tingkat pendapatan
negara maju bisa dicapai. Namun, bukti menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan
yang diakibatkan oleh perubahan struktural yang pesat adalah sebuah
pengecualian dan mungkin tidak akan bertahan lama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar