Perppu
Ormas
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus
Universitas Padjadjaran;
Ketua Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Pasundan
|
KORAN
SINDO, 23 Oktober 2017
Perppu Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan atas UU RI Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keormasan
selanjutnya saya sebut Perppu Ormas 2017, termasuk salah satu jenis hierarki
dalam struktur peraturan perundangan berdasarkan UU RI Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan memiliki kekuatan hukum
yang sama dengan UU.
Perppu Ormas 2017 telah diterbitkan
pemerintah pada tanggal 10 Juli 2017, berlaku sah secara mengikat sampai
kemudian DPR RI menyetujui atau menolak perppu tersebut, dan tetap sah berlaku
mengikat setiap organisasi kemasyarakatan.
Latar belakang Perppu Ormas 2/2017
Bagian menimbang dan penjelasan
umum suatu undang-undang memiliki fungsi dan peranan penting serta strategis.
Karena kedua bagian tersebut merupakan roh dan jiwa suatu undang-undang serta
merupakan filosofi dan tujuan dari pembentukan suatu undang-undang.
Penjelasan umum menerangkan aspek filosofi, sosiologis, yuridis, dan
komparatif dari suatu undang-undang.
Penjelasan umum Perppu Ormas
2017 telah mengemukakan berbagai konvensi internasional tentang hak asasi
manusia menurut Deklarasi Bangkok tentang HAM se-ASEAN 1993, ICCPR yang telah
menjadi bagian dari hukum nasional pascamengenai hal ihwal kegentingan yang
memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945.
Ketentuan, baik hukum
internasional mau pun hukum nasional, mengakui hak asasi manusia individu
namun dalam batas-batas perlindungan kepentingan hak asasi orang lain.
Dalam konteks Perppu Ormas
2017, pembatasan hak asasi manusia individu diatur dalam Pasal 28 J UUD 1945
dan memperoleh sandingan persamaan dengan ketentuan Pasal 4 ICCPR sehingga
bisa disimpulkan tidak ada kemutlakan hak asasi manusia termasuk hak dan
kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul sebagaimana telah
dicantumkan dalam Pasal 28 UUD 1945.
Dalam doktrin HAM internasional
diakui perbedaan antara hak asasi yang dapat dikesampingkan (derogable
rights) dan hak asasi yang tidak dapat dikesampingkan (non-derogable rights);
kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul termasuk golongan hak asasi
manusia yang pertama.
Penerbitan perppu oleh
Pemerintah Indonesia yang disetujui dan ditolak bukan pertama kali terjadi,
tetapi telah terjadi sejak era reformasi 1998 hingga 2017. Data menunjukkan
bahwa terdapat 32 perppu termasuk perppu ormas ini.
Sari 32 perppu yang telah diterbitkan
pemerintah, sebanyak tiga perppu, dua tidak ada keputusan dari DPR RI dan
selebihnya disetujui, yaitu sebanyak dua puluh tujuh perppu.
Merujuk data tersebut, jelas
bahwa setiap perppu yang diterbitkan pemerintah sudah dipastikan didasarkan
pada ketentuan Pasal 22 UUD 1945 dan disesuaikan dengan situasi kondisi
sosial, politik, dan ekonomi.
Pascapenerbitan Perppu Ormas
2017 telah banyak pendapat ahli, khususnya dari pihak pemohon uji materi
Perppu Ormas di sidang Mahkamah Konstitusi RI, yang kini masih berlangsung
dan belum sampai pada pengambilan putusan.
Namun demikian, ahli
berpendapat bahwa mengenai pertimbangan diterbitkan Perppu Ormas
menitikberatkan selain pada pertimbangan objektif sebagaimana telah
disampaikan dalam keterangan pemerintah di sidang uji materi Perppu Ormas
2017, ahli memiliki pertimbangan lain bahwa hal ihwal kegentingan yang
memaksa ketika UUD 1945 disusun dan dipersiapkan para pendiri NKRI ketika itu
hanya terpikirkan hal ihwal bersifat situasi sosial dan kondisi fisik bangsa
semata-mata.
Belum terpikirkan karena
masalah perkembangan zaman dari masa pos kemerdekaan telah jauh berbeda
dengan masa kini, karena perkembangan masyarakat semakin maju disertai
dukungan perkembangan transportasi dan komunikasi dengan teknologi modern
yang semakin pesat menembus batas-batas wilayah negara.
Perbedaan besar dari dua masa
sejarah peradaban dan teknologi tersebut telah menimbulkan akibat sosial,
ekonomi, dan politik yang berbeda-beda pula, baik dari sisi kuantitas mau pun
sisi kualitas ancaman, bahaya, gangguan, dan tantangan yang dihadapi (ABGT).
Salah satu dari ABGT dimaksud
adalah ideologi radikalisme atas dasar etnis, agama, dan latar belakang
kultur disertai konflik-konflik horizontal bukan hanya terjadi di dalam
wilayah NKRI, melainkan di berbagai belahan dunia.
Contoh pelanggaran HAM di Paman
Sam, Inggris, Jerman, dan kasus kejahatan HAM berat di Rwanda dan Yugoslavia
yang diawali konflik sosial atas dasar etnis dan agama.
Konflik sosial horizontal yang
terjadi sebagaimana diuraikan di atas berakar pada menurunnya secara drastis
persaingan antarnegara dalam perlombaan senjata nuklir biologi dan kimia
pasca PD II, kemudian surutnya kehendak menguasai negara satu sama lain
secara fisik.
Perkembangan teknologi komunikasi
dan transportasi begitu pula mobilitas tinggi dari aspek kependudukan di
seluruh negara di dunia, telah mengakibatkan migrasi besarbesaran penduduk
satu negara ke negara lain.
Dalam konteks migrasi tersebut
turut dibawa serta paham-paham dan ideologi yang bertolak belakang dan
berlawanan dengan ideologi bangsa setempat termasuk adat istiadat
masyarakatnya.
Contoh nyata dan telah
berdampak luar biasa adalah perkembangan terorisme yang telah ditetapkan UN
High Level Panel on Threats, Challenges and Changes (2004) sebagai salah
ancaman terbesar abad ini berlanjut dengan munculnya ISIS yang bertujuan
membentuk "negara khilafah" di seluruh dunia.
Dalam konteks Perppu Ormas
2017, uraian di atas menegaskan bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa
telah "berubah wajah", baik dari aspek kuantitas maupun
kualitasnya.
Salah satu perubahan besar
adalah pada cara yang dilaksanakan untuk mendominasi suatu pandangan atau
paham atas pandangan atau paham yang lain sekalipun dalam "payung"
agama yang sama sebagaimana terjadi pada dunia Islam saat ini.
Pandangan atau paham bersumber
pada ajaran agama Islam yang dikembangkan golongan masyarakat tertentu dengan
pemikiran bersifat radikal telah menimbulkan konflik-konflik sosial
horizontal dan bahkan telah terjadi "ancaman kekerasan, baik secara
psikis maupun secara fisikt terhadap kelompok agama lain, bahkan dalam satu
kelompok agama yang sama.
Analisis Hukum
UU RI Nomor 17 Tahun 2013
tentang Keormasan yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2013 merupakan undang-undang
bersifat regulatif yang memuat asas, tujuan, fungsi, dan syarat pendirian
ormas dilengkapi dengan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal
61 yang meliputi sanksi: peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau
hibah: penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan
terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Jenis ketentuan sanksi
administratif di atas tidak sepadan atau sebanding, salah satu dari tiga
jenis kelompok tindakan ormas yang dilarang dicantumkan pada Pasal 59 Bab XVI
Larangan.
Kelompok tindakan yang dilarang
(Pasal 59 ayat 2) tersebut adalah a) melakukan tindakan permusuhan terhadap
suku, agama, ras atau golongan; b) melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau
penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, c) melakukan kegiatan
separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, d)
melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum
atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya, e) melakukan kegiatan
yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kelima tindakan yang dilarang
tersebut di atas adalah termasuk tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
156 dan 156 a KUHP, Pasal 107, Pasal 107 a sd Pasal 107 e KUHP, dan ketentuan
yang diatur dalam Buku III KUHP.
Berdasarkan kajian tersebut
terbukti bahwa UU Ormas 2013; pertama,
tidak menempatkan ormas sebagai subjek hukum pidana, sedangkan KUHP
tidak berlaku bagi subjek badan hukum selain badan usaha dengan bentuk
perseroan terbatas.
Kedua, tidak memberikan jaminan
kepastian hukum adil terhadap tindakan yang nyata-nyata merupakan pelanggaran
administratif terhadap tindakan yang merupakan pelanggaran hukum pidana, dan
sebaliknya.
Ketiga, telah melanggar asas
perlakuan sama di muka hukum (equality before the law) di antara para pelaku
tindakan yang termasuk dilarang berdasarkan ketentuan Pasal 59 UU Ormas 2013.
Keempat, UU Ormas 2013 telah
tidak memenuhi asas lex certa yang diakui universal dan sistem hukum
pidana Indonesia.
Kelima, tidak sesuai dan
sejalan dengan sistematika pembagian sistem hukum antara sistem hukum
administratif, sistem hukum perdata, dan sistem hukum pidana yang
bertentangan dengan penormaan suatu tindakan administratif yang seharusnya
dibedakan dengan tindakan pidana.
Keenam, tidak mempertimbangkan
dampak sosial yang luas dalam masyarakat dari tindakan pelanggaran
administratif dan pelanggaran pidana mengakibatkan di satu sisi kepentingan
perlindungan masyarakat luas terabaikan, dan di sisi lain, kewajiban negara
melindungi kepentingan masyarakat luas tidak bisa dilaksanakan secara segera,
efektif, dan tuntas untuk mencegah dampak sosial yang lebih besar dari
tindakan ormas yang melanggar ketentuan Larangan dalam UU Ormas 2013.
Ketujuh, UU Ormas 2013
menempatkan negara sangat lemah dan tidak berwibawa untuk mampu menjaga
stabilitas sosial dan politik yang pada gilirannya melemahkan stabilitas
ekonomi masyarakat.
Berdasarkan tujuh kesimpulan di
atas, jelas bahwa, pertama, UU Ormas 2013 telah tidak memadai, tidak efektif,
dan tidak optimal tuntas karena tidak memberikan alas hukum kuat dan bersifat
segera untuk mengatasi dan mencegah tindakan ormas yang melanggar UU Ormas
2013 serta untuk mencegah dan atau mengatasi dampak sosial ekonomi yang
lebih luas.
Kedua, UU Ormas 2013 sangat
rentan dan berpotensi menghadapi kegagalan dalam melindungi hak dan
kebebasan orang lain serta kehidupan masyarakat yang tertib, damai dan
sejahtera.
Prinsip Due Process of Law
Apakah Perppu Ormas 2017
melanggar prinsip due process of law ? Pertanyaan ini merupakan pembacaan
penulis terhadap beberapa keterangan ahli pemohon uji materi Perppu Ormas
2017 di hadapan sidang MKRI. Dalam kesempatan ini, perkenankan penulis
menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, prinsip due process of
law diakui dalam sistem hukum pidana
yang berasal dari Magna Charta dan Habeas Corpus serta diakui dalam sistem
hukum common law, kemudian dikembangkan di dalam sistem hukum civil law.
Prinsip due process of law merupakan keniscayaan dalam proses
peradilan pidana yang bertujuan melindungi hak asasi tersangka sejak mulai
proses penyidikan sampai proses pemeriksaan di sidang pengadilan.
Kedua, prinsip umum dalam
proses legislasi sekaligus parameter kebaikan suatu undang-undang dan
merupakan norma dasar negara hukum (fundamentalnormen des rechtstaat) adalah
asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas (J.Remmelink, 2003).
Ketiga, tidak benar bahwa
Perppu Ormas 2017 melanggar due process of law dengan alasan proses pembubaran tidak
melalui proses peradilan sebagaimana telah dimuat dalam Pasal 71-Pasal 78 UU
Ormas 2013.
Prinsip due process of law tidak tergantung dari pengaturan atas suatu
proses peradilan semata-mata, melainkan tergantung dan sangat penting apakah
di dalam proses peradilan, termohon, pemohon, atau tersangka dan penuntut,
telah memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan undang-undang acara yang
berlaku.
Keempat, Perppu Ormas 2017
justru telah menempatkan ormas dan pengurus serta anggotanya, yaitu dalam
posisi diuntungkan untuk memperoleh kepastian hukum karena telah memangkas
tenggat waktu relatif singkat dalam memutuskan sanksi pembubaran dibandingkan
dengan UU Ormas 2013 yang membutuhkan waktu tunggu dengan tenggat waktu lebih
dari 100 hari bahkan lebih dari 400 hari.
Kelima, Perppu Ormas 2017 telah
memberikan alas hukum bagi ormas yang dikenai sanksi peringatan, penghentian
kegiatan, sampai dengan pembubaran melalui jalur proses administrasi negara.
Begitu pula bagi ormas yang
dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 A, tetapi tetap
memperoleh hak yang diatur di dalam UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana Indonesia.
Keenam, ketentuan sanksi pidana
di dalam Perppu Ormas 2017 telah memenuhi tujuan pemidanaan, yaitu pertama,
tujuan penjeraan terhadap ormas yang telah melakukan tindak pidana diwajibkan
menjalani hukuman disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran yang telah
dilakukan; dan kedua, tujuan pemulihan dan terakhir yang didasarkan pada prinsip
ultimum remedium.
Artinya penerapan sanksi pidana
hanya ditujukan terhadap ormas yang telah melanggar ketentuan sanksi
administratif sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 59 sampai dengan
Pasal 62 Perppu Ormas 2017.
Ketujuh, Perppu Ormas 2017
telah mengutamakan proses hukum dengan mendahulukan sanksi administratife
sebagai primum remedium dan sanksi pidana sebagai ultimum remedium,
sanksi yang hanya diterapkan jika sanksi administratif telah tidak efektif,
kecuali tindakan ormas yang nyata terbukti melanggar ketentuan KUHP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar