Sabtu, 14 Oktober 2017

Tren Praperadilan Baru

Tren Praperadilan Baru
Albert Aries  ;   Advokat dan Dosen Tidak Tetap  Fakultas Hukum Universitas Trisakti
                                                      KOMPAS, 13 Oktober 2017



                                                           
Tercatat sejak praperadilan yang diajukan Komjen Budi Gunawan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam dugaan tindak pidana gratifikasi dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kini praperadilan menjadi tren baru bagi tersangka dalam suatu perkara pidana untuk menghindar dari proses hukum pidana, yang pada hakikatnya bertujuan mencari kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran materiil.

Tak lama berselang setelah putusan praperadilan Budi Gunawan, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No 21/PUU-XII/2014 mengabulkan sebagian permohonan uji materi terpidana korupsi proyek biomediasi  PT Chevron, Bachtiar Abdul Fatah, yang menguji Pasal 77 huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga penetapan tersangka kini juga menjadi salah satu obyek praperadilan, selain obyek praperadilan lain, untuk menguji sahnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

Dalam putusan itu, MK juga memberi putusan inkonstitusional bersyarat mengenai bukti permulaan untuk menetapkan status tersangka, yang harus dimaknai sebagai dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP (saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa/tersangka).

Tantangan baru

Fenomena praperadilan membatalkan penetapan tersangka ini sekaligus juga menjadi tantangan baru bagi penyidik—baik dari Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK—untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana yang terjadi dalam putusan praperadilan dari PN Jakarta Selatan yang telah membatalkan penetapan tersangka Ketua DPR Setya Novanto oleh KPK dalam dugaan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP-el yang telah merugikan negara Rp 2,3 triliun.

Menurut Andi Hamzah, praperadilan  adalah salah satu jelmaan habeas corpus, yaitu tempat untuk mengadukan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana.

Dalam kurun lebih dari dua dasawarsa sejak berlakunya KUHAP pada 1981, awalnya lembaga praperadilan hanya diproyeksikan sebagai sarana pengawasan untuk menguji keabsahan upaya paksa, misalnya mengenai formalitas penangkapan dan penahanan terhadap tersangka, yang saat ini dinilai hanya bersifat pengawasan administratif belaka, karena cukup dibuktikan dengan memperlihatkan ada atau tidak adanya surat penangkapan/surat penahanan saja.

Dengan diperluasnya obyek praperadilan oleh MK, yaitu untuk menguji keabsahan penetapan tersangka, ia menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, kewenangan praperadilan untuk menguji penetapan tersangka dapat memberikan jaminan perlindungan HAM kepada setiap orang untuk tak sembarangan ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, di sisi lain, praperadilan juga dapat menjadi ”celah” baru bagi tersangka untuk menghindari proses hukum pidana, yaitu dengan cara mempersoalkan formalitas penyidikan dan penetapan tersangka di luar upaya mencari kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran materiil.

Bukti permulaan

Sejauh yang penulis ketahui, definisi ”bukti permulaan yang cukup” tidak diuraikan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai adikarya dan induk hukum acara pidana Indonesia. Sebaliknya, banyaknya UU yang dibuat DPR justru semakin membuat ketentuan hukum acara pidana menjadi tersebar di beberapa UU, di antaranya UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU KPK, dan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Ironisnya, Pasal 1 angka 14 KUHAP juga tak memberi informasi yang jelas tentang bukti permulaan yang cukup. Pasal itu hanya mendefinisikan tersangka sebagai seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan diduga sebagai pelaku tindak pidana. Justru definisi ”bukti permulaan yang cukup” (hanya) dapat ditemukan di Pasal 1 angka 26 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu ”Keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan…”.

Mendefinisikan ”bukti permulaan yang cukup” untuk menetapkan status hukum seseorang menjadi tersangka menjadi hal sangat penting karena tindak lanjut penetapan status hukum tersangka adalah upaya paksa yang dapat ditindaklanjuti oleh penyidik, misalnya berupa penangkapan, penahanan, pencegahan ke luar negeri, pemblokiran rekening bank dan penyadapan, yang semuanya itu memiliki potensi berbenturan dengan HAM tersangka sehingga perlu benar-benar diatur dalam hukum acara pidana.

Bahkan, RUU KUHAP yang dapat dikatakan ”hampir basi” untuk diundangkan juga tidak menjelaskan definisi ”bukti permulaan yang cukup”. Dalam Penjelasan Pasal 55 RUU KUHAP dikatakan ”bukti permulaan yang cukup” artinya sesuai dengan alat bukti yang tercantum dalam Pasal 177 RUU KUHAP, yang pada akhirnya merujuk pada jenis alat bukti yang diuraikan dalam Pasal 175 RUU KUHAP, antara lain barang bukti, surat-surat, bukti elektronik, keterangan seorang ahli, keterangan seorang saksi, keterangan terdakwa, dan pengamatan hakim.

Begitu penting definisi bukti permulaan yang cukup ini sejalan dengan adagium hukum pidana yang dikutip Eddy OS Hiariej, yaitu dalam perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya.


Dengan UU, bukan perma

Upaya Mahkamah Agung mengatasi kekosongan hukum yang mengatur teknis praperadilan melalui Peraturan Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016 (Perma Praperadilan) tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan tetap patut diapresiasi, tetapi kekuatan mengikat dari suatu perma hanyalah mengikat bagi MA dan pengadilan di bawahnya.

Mengatur praperadilan yang  berkaitan erat dengan perlindungan HAM dan menjamin tegaknya hukum tidak cukup diatur dengan kekuatan peraturan setingkat perma, melainkan harus dengan kekuatan sebuah UU, yaitu dengan pembaruan (revisi) KUHAP yang secara khusus merupakan induk hukum acara pidana.

Sebenarnya, jika kita mencermati Pasal 183 KUHAP, kita akan menemukan implementasi asas hukum yang berlaku universal, yaitu beyond a reasonable doubt yang dikenal dalam konsep common law, yang bunyi pasalnya: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Pada hemat penulis, uraian unsur-unsur Pasal 183 KUHAP seharusnya dapat disarikan dan dikembangkan menjadi definisi awal dan pokok dari ”bukti permulaan yang cukup”.

Mengingat sifat dan esensi penyidikan suatu perkara pidana adalah tertutup dan bukan untuk konsumsi publik, maka dalam penetapan status tersangka atas seseorang, penyidik juga berkewajiban memberi tahu kepada tersangka atau penasihat hukumnya mengenai 2 (dua) alat bukti yang telah didapat oleh penyidik secara sah dan tidak melawan hukum. Itu merupakan keharusan supaya tersangka dapat menyiapkan pembelaannya dan juga dapat mengeliminasi ”rasa penasaran” seseorang atas penetapan dirinya sebagai tersangka.

Penetapan status tersangka akan menjadi pertanggungjawaban baik secara hukum, administrasi, maupun moral dari penyidik, yaitu apakah perkara yang disidik olehnya layak atau pantas dilimpahkan ke tahap penuntutan, yang pada akhirnya akan bermuara ke pengadilan untuk diperiksa dan dilakukannya pembuktian mengenai benar atau salahnya seorang tersangka (terdakwa), yang diduga melakukan suatu tindak pidana dalam upaya mencari kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran materiil.

Fiat justitia, ne pereat mundus.Tegakkanlah keadilan agar dunia tidak hancur binasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar