Tren
Praperadilan Baru
Albert Aries ; Advokat dan Dosen Tidak Tetap Fakultas Hukum Universitas Trisakti
|
KOMPAS,
13 Oktober
2017
Tercatat sejak praperadilan yang diajukan Komjen Budi
Gunawan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam dugaan tindak pidana
gratifikasi dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kini
praperadilan menjadi tren baru bagi tersangka dalam suatu perkara pidana
untuk menghindar dari proses hukum pidana, yang pada hakikatnya bertujuan
mencari kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran materiil.
Tak lama berselang setelah putusan praperadilan Budi
Gunawan, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No 21/PUU-XII/2014
mengabulkan sebagian permohonan uji materi terpidana korupsi proyek
biomediasi PT Chevron, Bachtiar Abdul
Fatah, yang menguji Pasal 77 huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) sehingga penetapan tersangka kini juga menjadi salah satu obyek praperadilan,
selain obyek praperadilan lain, untuk menguji sahnya penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan.
Dalam putusan itu, MK juga memberi putusan
inkonstitusional bersyarat mengenai bukti permulaan untuk menetapkan status
tersangka, yang harus dimaknai sebagai dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP
(saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa/tersangka).
Tantangan baru
Fenomena praperadilan membatalkan penetapan tersangka ini
sekaligus juga menjadi tantangan baru bagi penyidik—baik dari Kepolisian,
Kejaksaan, maupun KPK—untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan status
tersangka terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana
yang terjadi dalam putusan praperadilan dari PN Jakarta Selatan yang telah
membatalkan penetapan tersangka Ketua DPR Setya Novanto oleh KPK dalam dugaan
perkara tindak pidana korupsi proyek KTP-el yang telah merugikan negara Rp
2,3 triliun.
Menurut Andi Hamzah, praperadilan adalah salah satu jelmaan habeas corpus,
yaitu tempat untuk mengadukan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana.
Dalam kurun lebih dari dua dasawarsa sejak berlakunya
KUHAP pada 1981, awalnya lembaga praperadilan hanya diproyeksikan sebagai
sarana pengawasan untuk menguji keabsahan upaya paksa, misalnya mengenai
formalitas penangkapan dan penahanan terhadap tersangka, yang saat ini
dinilai hanya bersifat pengawasan administratif belaka, karena cukup
dibuktikan dengan memperlihatkan ada atau tidak adanya surat
penangkapan/surat penahanan saja.
Dengan diperluasnya obyek praperadilan oleh MK, yaitu
untuk menguji keabsahan penetapan tersangka, ia menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, kewenangan praperadilan untuk menguji penetapan tersangka dapat
memberikan jaminan perlindungan HAM kepada setiap orang untuk tak sembarangan
ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, di sisi lain, praperadilan juga dapat menjadi
”celah” baru bagi tersangka untuk menghindari proses hukum pidana, yaitu
dengan cara mempersoalkan formalitas penyidikan dan penetapan tersangka di
luar upaya mencari kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran materiil.
Bukti permulaan
Sejauh yang penulis ketahui, definisi ”bukti permulaan
yang cukup” tidak diuraikan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
sebagai adikarya dan induk hukum acara pidana Indonesia. Sebaliknya, banyaknya
UU yang dibuat DPR justru semakin membuat ketentuan hukum acara pidana
menjadi tersebar di beberapa UU, di antaranya UU Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, UU KPK, dan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Ironisnya, Pasal 1 angka 14 KUHAP juga tak memberi
informasi yang jelas tentang bukti permulaan yang cukup. Pasal itu hanya
mendefinisikan tersangka sebagai seseorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya berdasarkan bukti permulaan diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Justru definisi ”bukti permulaan yang cukup” (hanya) dapat ditemukan di Pasal
1 angka 26 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu ”Keadaan,
perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat
memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu
tindak pidana di bidang perpajakan…”.
Mendefinisikan ”bukti permulaan yang cukup” untuk
menetapkan status hukum seseorang menjadi tersangka menjadi hal sangat
penting karena tindak lanjut penetapan status hukum tersangka adalah upaya
paksa yang dapat ditindaklanjuti oleh penyidik, misalnya berupa penangkapan,
penahanan, pencegahan ke luar negeri, pemblokiran rekening bank dan
penyadapan, yang semuanya itu memiliki potensi berbenturan dengan HAM tersangka
sehingga perlu benar-benar diatur dalam hukum acara pidana.
Bahkan, RUU KUHAP yang dapat dikatakan ”hampir basi” untuk
diundangkan juga tidak menjelaskan definisi ”bukti permulaan yang cukup”.
Dalam Penjelasan Pasal 55 RUU KUHAP dikatakan ”bukti permulaan yang cukup”
artinya sesuai dengan alat bukti yang tercantum dalam Pasal 177 RUU KUHAP,
yang pada akhirnya merujuk pada jenis alat bukti yang diuraikan dalam Pasal
175 RUU KUHAP, antara lain barang bukti, surat-surat, bukti elektronik,
keterangan seorang ahli, keterangan seorang saksi, keterangan terdakwa, dan
pengamatan hakim.
Begitu penting definisi bukti permulaan yang cukup ini
sejalan dengan adagium hukum pidana yang dikutip Eddy OS Hiariej, yaitu dalam
perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya.
Dengan UU, bukan perma
Upaya Mahkamah Agung mengatasi kekosongan hukum yang
mengatur teknis praperadilan melalui Peraturan Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016
(Perma Praperadilan) tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan
tetap patut diapresiasi, tetapi kekuatan mengikat dari suatu perma hanyalah
mengikat bagi MA dan pengadilan di bawahnya.
Mengatur praperadilan yang
berkaitan erat dengan perlindungan HAM dan menjamin tegaknya hukum
tidak cukup diatur dengan kekuatan peraturan setingkat perma, melainkan harus
dengan kekuatan sebuah UU, yaitu dengan pembaruan (revisi) KUHAP yang secara
khusus merupakan induk hukum acara pidana.
Sebenarnya, jika kita mencermati Pasal 183 KUHAP, kita
akan menemukan implementasi asas hukum yang berlaku universal, yaitu beyond a
reasonable doubt yang dikenal dalam konsep common law, yang bunyi pasalnya:
”Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Pada hemat penulis, uraian unsur-unsur Pasal 183 KUHAP
seharusnya dapat disarikan dan dikembangkan menjadi definisi awal dan pokok
dari ”bukti permulaan yang cukup”.
Mengingat sifat dan esensi penyidikan suatu perkara pidana
adalah tertutup dan bukan untuk konsumsi publik, maka dalam penetapan status
tersangka atas seseorang, penyidik juga berkewajiban memberi tahu kepada
tersangka atau penasihat hukumnya mengenai 2 (dua) alat bukti yang telah
didapat oleh penyidik secara sah dan tidak melawan hukum. Itu merupakan
keharusan supaya tersangka dapat menyiapkan pembelaannya dan juga dapat
mengeliminasi ”rasa penasaran” seseorang atas penetapan dirinya sebagai
tersangka.
Penetapan status tersangka akan menjadi pertanggungjawaban
baik secara hukum, administrasi, maupun moral dari penyidik, yaitu apakah
perkara yang disidik olehnya layak atau pantas dilimpahkan ke tahap
penuntutan, yang pada akhirnya akan bermuara ke pengadilan untuk diperiksa
dan dilakukannya pembuktian mengenai benar atau salahnya seorang tersangka
(terdakwa), yang diduga melakukan suatu tindak pidana dalam upaya mencari
kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran materiil.
Fiat justitia, ne pereat mundus.Tegakkanlah keadilan agar
dunia tidak hancur binasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar