Tiga
Tahun Reforma Agraria
Iwan Nurdin ; Mahasiswa Pascasarjana
Ilmu Politik Universitas Indonesia;
Ketua Dewan Nasional
KPA
|
KOMPAS,
28 Oktober
2017
Apa capaian penting pemerintahan
Jokowi dari sisi agraria? Pemerintahan ini memulai dengan langkah baik,
membentuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, yang
tugas utamanya melaksanakan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria
sesuai nawacita.
Sayangnya, hingga sekarang
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) belum
tampil ke depan menyempurnakan ide dan praktik pelaksanaan reforma agraria
yang diperintahkan Presiden sesuai Perpres No 75/2017 tentang Kementerian ATR/BPN
RI. Bahkan, usulan draf peraturan pelaksana reforma agraria tak juga masuk ke
meja Presiden.
Tampaknya Kementerian ATR/BPN
masih berkutat dengan pekerjaan pokok sebelumnya, yakni menerbitkan
sertifikat tanah. Sejatinya, pekerjaan ini adalah pelayanan kepada rakyat
yang bertanah, tetapi belum memiliki alas hak. Padahal, makna reforma agraria
adalah melayani rakyat golongan ekonomi lemah tak bertanah atau bertanah
sempit sehingga mereka terjerembab kemiskinan.
Belum berubahnya paradigma
tersebut telah membuat kementerian ini hanya menargetkan redistribusi tanah
seluas 18.000 hektar pada 2017. Padahal, wilayah kerja kementerian ini
sedikitnya 77 juta hektar, terasa sekali bahwa target kerja kementerian ini
terlalu kecil.
Capaian reforma agraria
Kementerian yang juga bertugas
melaksanakan reforma agraria adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LKH). Reforma agraria pada Kementerian LHK menggunakan UU
Kehutanan. Jalur yang tersedia oleh UU ini adalah pelepasan kawasan hutan.
Sebelumnya, dari 7,5 juta hektar hutan yang dilepaskan, 90 persen
diperuntukkan bagi perusahaan perkebunan.
Sekarang, Kementerian LHK
ditarget melepaskan tanah seluas 4,5 juta hektar untuk rakyat dan baru
terealisasi 770.000 hektar. Selain skema reforma agraria, pemerintah juga
mendorong perhutanan sosial bagi rakyat seluas 12,7 juta hektar. Sampai hari
ini, perhutanan sosial telah mencapai angka 833.000 hektar.
Kementerian lain yang terkait
reforma agraria dan belum sepenuhnya bersinergi adalah Kementerian Pertanian
serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Pasifnya dua kementerian ini karena pelaksanaan reforma agraria yang digagas
telah memosisikan Kementan dan Kemendesa PDTT cukup memainkan peran
pemberdayaan masyarakat penerima tanah.
Padahal, UU Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani mengamanatkan agar petani memiliki tanah pertanian yang
cukup untuk kesejahteraan, yakni seluas 2 hektar. Kementerian Desa PDTT juga
belum secara aktif mendata dan mengusulkan wilayah desa-desa yang berada di
dalam kawasan hutan dan perkebunan agar dilegalisasi. Bukankah wilayah kebun
atau hutanlah yang berada di dalam wilayah desa, bukan sebaliknya, desa
berada di dalam kawasan hutan atau perkebunan.
Karena itu, selama tiga tahun
ini tampaklah bahwa program reforma agraria masih berserak dan belum
terkonsolidasikan karena masing-masing lembaga berjalan dengan langgam
birokrasi dan pemahaman masing-masing terkait program ini.
Solusi percepatan
Di tengah pelaksanaannya yang
terpisah-pisah, Kementerian LHK pada Maret lalu merilis wilayah yang akan
ditetapkan sebagai Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial.
Menurut kajian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada lokasi tersebut
terdapat beberapa temuan.
Pertama, lokasi tanah adalah
desa-desa yang telah lama digarap oleh masyarakat dan terdapat kelompok
masyarakat yang mendorong reforma agraria. Kedua, lokasi yang serupa dengan
pertama, bedanya masyarakat belum terorganisasi sehingga keberlanjutan
program pascadistribusi tanah perlu pemberdayaan mendalam. Ketiga,
tanah-tanah yang kosong penduduk, tetapi cocok untuk pertanian dan
perkebunan. Keempat, tanah tidak layak dijadikan obyek reforma agraria karena
tebing curam, berbatu, dan lain-lain.
Ada titik kritis dari langkah
Kementerian LHK merilis lokasi reforma agraria. Melepaskan kawasan hutan
tanpa berdasarkan usulan masyarakat dan sebagian besar adalah tanah tak
berpenghuni akan membuat lokasi-lokasi tersebut dengan mudah menjadi incaran
pengusaha yang selama ini lapar lahan. Ini tentu bertolak belakang dari
tujuan reformasi agraria. Sebaiknya, Kementerian LHK menunda status pelepasan
kawasan hutan yang kondisi lapangannya tidak sesuai dengan rencana
redistribusi tanah untuk rakyat.
Reforma versi masyarakat
Untuk menjembatani ketepatan
lokasi dan penerima tanah di kawasan hutan dan nonhutan, penting untuk
menyambut ide masyarakat sipil yang mengusulkan lokasi prioritas reforma
agraria (LPRA) dari masyarakat dengan format yang sederhana dan mudah. Namun,
usulan lokasi tersebut menggunakan kriteria mengurangi ketimpangan dan
menyelesaikan konflik agraria di lokasi yang dimohonkan.
Di sinilah penting untuk segera
mengesahkan kebijakan pelaksanaan reforma agraria yang tertunda selama tiga
tahun ini. Kepemimpinan politik yang langsung dari Presiden dalam menjalankan
reforma agraria tampaknya sangat diperlukan untuk mencegah mangkraknya
reforma agraria. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar