Deklarasi
Perlawanan dari Anies Baswedan
Nasihin Masha ; Pemimpin Redaksi
Republika
|
REPUBLIKA,
20 Oktober
2017
Joko Sadewo, wakil redaktur
pelaksana Republika.co.id, berkomentar pendek tentang pidato Anies Rasyid
Baswedan. “Pidato Anies lumayan kiri,” katanya.
Ya, aktivis Islam pada umumnya
kiri. Kiri dalam arti memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Kiri dalam arti
membela yang lemah dan tertindas.
Gagasan-gagasan kiri menjadi
ciri utama perjuangan politik Islam Indonesia. Bahkan HOS Tjokroaminoto
menulis buku "Sosialisme Islam". Tjokro adalah pemimpin Sarekat
Islam, yang menjadi induk gerakan politik Islam di era modern di Indonesia.
Tjokro bahkan menjadi guru dari
sejumlah tokoh penting pergerakan Indonesia: Sukarno, Semaun, Kartosuwiryo.
Kekirian itu berlanjut ke Masyumi, NU, PPP, PKB, PAN, PKS – walaupun
kekentalan ideologi itu mulai melumer.
Senin (16/10), awal pekan ini,
Anies dan Sandiaga Salahudin Uno dilantik menjadi gubernur DKI Jakarta
2017-2022. Sebuah pelantikan yang tak dihadiri gubernur sebelumnya, Djarot
Saiful Hidayat – sebuah catatan buruk tentang kewaskitaan dan moralitas
politik.
Malam harinya, Anies melakukan
pidato politik di halaman Balai Kota DKI. Inilah pidato yang terang, bahkan
lumayan hitam-putih. Namun yang menghebohkan adalah ketika ia berbicara
tentang pribumi. Sebuah diksi dan konsep perjuangan yang kini berubah menjadi
barang haram. Namun tulisan ini tak hendak membahas tentang pribumi, karena
untuk itu butuh tulisan tersendiri dan butuh kejernihan ruang.
Acara yang diberi tajuk
“selametan” itu memberi pemahaman pada kita tentang kemenangan Anies-Sandi.
Massa yang datang umumnya rakyat kelas bawah dan santri. Warna Betawi sangat
kentara. Aroma Arab juga tercium. Relawan yang bersih-bersih sampah terus
berkeliling sambil menenteng kantong plastik besar. Panggung dibuat sedang
saja dan relatif rendah.
Anies-Sandi sedang membuat
kesan bahwa mereka tak berjarak dengan rakyat. Bahkan Sandi mencopoti apa
yang ia kenakan saat pelantikan: topi, ‘jengkol’ tanda jabatan di saku, baju,
sepatu, dan dasi. Semua diserahkan ke orang-orang kebanyakan yang ikut
berjuang memenangkannya.
Sandi seolah hendak mengatakan
bahwa jabatan bukan segalanya dan itu milik bersama. Acara hiburan juga
didominasi musik Melayu dan tak melibatkan artis-artis besar.
Karangan-karangan bunga yang
berjejer pun umumnya dari perorangan yang tak dikenal dan bukan dari
korporasi-korporasi raksasa. Semua ciri itu menjadi kontras dari pihak
pesaingnya. Ciri rakyat justru muncul dari pasangan gubernur-wakil gubernur
yang bukan diusung oleh partai yang menjargonkan dirinya sebagai partai wong
cilik. Puncak dari ciri rakyat itu adalah pidato politik Anies, yang oleh
Joko Sadewo disebut “lumayan kiri”.
Anies berbicara tentang banyak
hal. Ia mengulas satu per satu tentang sila-sila Pancasila, berbicara tentang
persatuan dan kesatuan, mengulas makna kebangsaan dan keindonesiaan, juga
menanggapi isu-isu spesifik yang menjadi perdebatan publik tentang
permasalahan Jakarta.
Ia juga menegaskan bahwa
gubernur bukan hanya administratur, tapi juga pemimpin. Seolah ia hendak
menegaskan perbedaan dirinya dengan gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaya
Purnama atau Ahok, yang selalu menyebut dirinya sebagai administratur.
Anies juga menyampaikan tentang
pendekatan kemanusiaan dan partisipatif, yang itu berarti membedakan dirinya
dengan Ahok. Namun dari banyak hal yang ia sampaikan, hanya ada tiga yang
mendapat tepuk tangan meriah dan teriakan dukungan dari warga yang hadir.
Pertama, ketika Anies berbicara
tentang Ketuhanan dalam sila pertama Pancasila. Kedua, ketika ia menyampaikan
tentang keadilan. Ketiga, ketika ia menegaskan sikapnya tentang pengelolaan
Teluk Jakarta alias soal reklamasi.
Berdasarkan respons audiens
saat itu makin menegaskan siapa pendukung Anies-Sandi. Namun secara
keseluruhan, pidato Anies tersebut merupakan deklarasi perlawanan dan
penegasan yang tebal tentang visi, sikap politik, dan kepada siapa semua itu
ditujukan.
Dalam konteks ini, pilihan
diksi pribumi dan respons dahsyat dari tim hore di pihak seberangnya memberi
isyarat bahwa pesan itu dipahami dan ditangkap dengan baik. Jika kita cermat
mengamati pada saat upacara pengambilan sumpah jabatan di Istana Negara, maka
semua itu makin menjadi terang.
Hal yang paling mencolok adalah
saat berjabat tangan memberi selamat. Bahasa tubuh dan ekspresi serta senyum
Presiden Joko Widodo tampak tak lepas. Hal itu berbeda dengan ekspresi dan
senyum Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sumringah.
Apalagi jika dibandingkan
dengan saat Jokowi menyalami Ahok pada saat pengambilan sumpah sebagai
gubernur. Jokowi tak hanya riang gembira, bahkan hingga terkekeh agak
membungkuk.
Saling lempar bidak itu bahkan
sudah dilalui sejak dini. Dimulai dengan pernyataan Menko Maritim Luhut
Binsar Panjaitan tentang keharusan melanjutkan reklamasi. Lalu diikuti
pencabutan moratorium reklamasi oleh Luhut.
Kemudian diteruskan dengan
pemberian sertifikat pulau reklamasi oleh Presiden. Akhirnya, pengajuan
raperda tentang kelanjutan pulau reklamasi oleh Gubernur Djarot ke DPRD DKI.
Semua dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Tekanan bahkan dari awal sekali
saat Ahok menolak keberadaan tim transisi, yang dinilainya seperti presiden
saja. Padahal saat Jokowi-Ahok terpilih menjadi gubernur juga membentuk tim
transisi dan disambut dengan baik oleh Fauzi Bowo, gubernur saat itu.
Permohonan Anies-Sandi untuk bertemu Djarot juga tak pernah diluluskan,
hingga kemudian Djarot tak menghadiri acara serah terima jabatan.
Dari semua rangkaian itu, ada
tiga makna. Pertama, siapa yang membela konglomerat dan siapa yang membela
wong cilik. Kedua, pertarungan politik jangka panjang dari dua arus besar
kekuatan politik di Indonesia saat ini, khususnya politik presidensial 2019.
Ketiga, Anies tak mau ditekan
dan tak mau tangannya ditelikung. Dia hendak menjadi gubernur yang dihormati
ruang geraknya. Di balik kesantunan Anies dan Sandi, ada rahang-rahang yang
menonjol dan mata yang tajam. Cadas.
Namun sikap cadas tak berarti
jika hanya di pidato. Saatnya bagi Anies-Sandi juga cadas dalam menunaikan
janji-janjinya saat kampanye. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar