Minggu, 22 Oktober 2017

Deklarasi Perlawanan dari Anies Baswedan

Deklarasi Perlawanan dari Anies Baswedan
Nasihin Masha ;   Pemimpin Redaksi Republika
                                                   REPUBLIKA, 20 Oktober 2017



                                                           
Joko Sadewo, wakil redaktur pelaksana Republika.co.id, berkomentar pendek tentang pidato Anies Rasyid Baswedan. “Pidato Anies lumayan kiri,” katanya.

Ya, aktivis Islam pada umumnya kiri. Kiri dalam arti memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Kiri dalam arti membela yang lemah dan tertindas.

Gagasan-gagasan kiri menjadi ciri utama perjuangan politik Islam Indonesia. Bahkan HOS Tjokroaminoto menulis buku "Sosialisme Islam". Tjokro adalah pemimpin Sarekat Islam, yang menjadi induk gerakan politik Islam di era modern di Indonesia.

Tjokro bahkan menjadi guru dari sejumlah tokoh penting pergerakan Indonesia: Sukarno, Semaun, Kartosuwiryo. Kekirian itu berlanjut ke Masyumi, NU, PPP, PKB, PAN, PKS – walaupun kekentalan ideologi itu mulai melumer.

Senin (16/10), awal pekan ini, Anies dan Sandiaga Salahudin Uno dilantik menjadi gubernur DKI Jakarta 2017-2022. Sebuah pelantikan yang tak dihadiri gubernur sebelumnya, Djarot Saiful Hidayat – sebuah catatan buruk tentang kewaskitaan dan moralitas politik.

Malam harinya, Anies melakukan pidato politik di halaman Balai Kota DKI. Inilah pidato yang terang, bahkan lumayan hitam-putih. Namun yang menghebohkan adalah ketika ia berbicara tentang pribumi. Sebuah diksi dan konsep perjuangan yang kini berubah menjadi barang haram. Namun tulisan ini tak hendak membahas tentang pribumi, karena untuk itu butuh tulisan tersendiri dan butuh kejernihan ruang.

Acara yang diberi tajuk “selametan” itu memberi pemahaman pada kita tentang kemenangan Anies-Sandi. Massa yang datang umumnya rakyat kelas bawah dan santri. Warna Betawi sangat kentara. Aroma Arab juga tercium. Relawan yang bersih-bersih sampah terus berkeliling sambil menenteng kantong plastik besar. Panggung dibuat sedang saja dan relatif rendah.

Anies-Sandi sedang membuat kesan bahwa mereka tak berjarak dengan rakyat. Bahkan Sandi mencopoti apa yang ia kenakan saat pelantikan: topi, ‘jengkol’ tanda jabatan di saku, baju, sepatu, dan dasi. Semua diserahkan ke orang-orang kebanyakan yang ikut berjuang memenangkannya.

Sandi seolah hendak mengatakan bahwa jabatan bukan segalanya dan itu milik bersama. Acara hiburan juga didominasi musik Melayu dan tak melibatkan artis-artis besar.

Karangan-karangan bunga yang berjejer pun umumnya dari perorangan yang tak dikenal dan bukan dari korporasi-korporasi raksasa. Semua ciri itu menjadi kontras dari pihak pesaingnya. Ciri rakyat justru muncul dari pasangan gubernur-wakil gubernur yang bukan diusung oleh partai yang menjargonkan dirinya sebagai partai wong cilik. Puncak dari ciri rakyat itu adalah pidato politik Anies, yang oleh Joko Sadewo disebut “lumayan kiri”.

Anies berbicara tentang banyak hal. Ia mengulas satu per satu tentang sila-sila Pancasila, berbicara tentang persatuan dan kesatuan, mengulas makna kebangsaan dan keindonesiaan, juga menanggapi isu-isu spesifik yang menjadi perdebatan publik tentang permasalahan Jakarta.

Ia juga menegaskan bahwa gubernur bukan hanya administratur, tapi juga pemimpin. Seolah ia hendak menegaskan perbedaan dirinya dengan gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, yang selalu menyebut dirinya sebagai administratur.

Anies juga menyampaikan tentang pendekatan kemanusiaan dan partisipatif, yang itu berarti membedakan dirinya dengan Ahok. Namun dari banyak hal yang ia sampaikan, hanya ada tiga yang mendapat tepuk tangan meriah dan teriakan dukungan dari warga yang hadir.

Pertama, ketika Anies berbicara tentang Ketuhanan dalam sila pertama Pancasila. Kedua, ketika ia menyampaikan tentang keadilan. Ketiga, ketika ia menegaskan sikapnya tentang pengelolaan Teluk Jakarta alias soal reklamasi.

Berdasarkan respons audiens saat itu makin menegaskan siapa pendukung Anies-Sandi. Namun secara keseluruhan, pidato Anies tersebut merupakan deklarasi perlawanan dan penegasan yang tebal tentang visi, sikap politik, dan kepada siapa semua itu ditujukan.

Dalam konteks ini, pilihan diksi pribumi dan respons dahsyat dari tim hore di pihak seberangnya memberi isyarat bahwa pesan itu dipahami dan ditangkap dengan baik. Jika kita cermat mengamati pada saat upacara pengambilan sumpah jabatan di Istana Negara, maka semua itu makin menjadi terang.

Hal yang paling mencolok adalah saat berjabat tangan memberi selamat. Bahasa tubuh dan ekspresi serta senyum Presiden Joko Widodo tampak tak lepas. Hal itu berbeda dengan ekspresi dan senyum Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sumringah.

Apalagi jika dibandingkan dengan saat Jokowi menyalami Ahok pada saat pengambilan sumpah sebagai gubernur. Jokowi tak hanya riang gembira, bahkan hingga terkekeh agak membungkuk.

Saling lempar bidak itu bahkan sudah dilalui sejak dini. Dimulai dengan pernyataan Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan tentang keharusan melanjutkan reklamasi. Lalu diikuti pencabutan moratorium reklamasi oleh Luhut.

Kemudian diteruskan dengan pemberian sertifikat pulau reklamasi oleh Presiden. Akhirnya, pengajuan raperda tentang kelanjutan pulau reklamasi oleh Gubernur Djarot ke DPRD DKI. Semua dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Tekanan bahkan dari awal sekali saat Ahok menolak keberadaan tim transisi, yang dinilainya seperti presiden saja. Padahal saat Jokowi-Ahok terpilih menjadi gubernur juga membentuk tim transisi dan disambut dengan baik oleh Fauzi Bowo, gubernur saat itu. Permohonan Anies-Sandi untuk bertemu Djarot juga tak pernah diluluskan, hingga kemudian Djarot tak menghadiri acara serah terima jabatan.

Dari semua rangkaian itu, ada tiga makna. Pertama, siapa yang membela konglomerat dan siapa yang membela wong cilik. Kedua, pertarungan politik jangka panjang dari dua arus besar kekuatan politik di Indonesia saat ini, khususnya politik presidensial 2019.

Ketiga, Anies tak mau ditekan dan tak mau tangannya ditelikung. Dia hendak menjadi gubernur yang dihormati ruang geraknya. Di balik kesantunan Anies dan Sandi, ada rahang-rahang yang menonjol dan mata yang tajam. Cadas.

Namun sikap cadas tak berarti jika hanya di pidato. Saatnya bagi Anies-Sandi juga cadas dalam menunaikan janji-janjinya saat kampanye.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar