Petruk
Jadi Ratu
Suwidi Tono ; Koordinator Forum
”Menjadi Indonesia”
|
KOMPAS,
25 Oktober
2017
Salah satu kisah dalam babad
pewayangan yang populer di kalangan masyarakat Jawa adalah lakon Petruk Jadi
Ratu. Lakon ini wujud sarkasme atas sebuah periode saat wibawa kerajaan
ambruk, para bangsawan dan elite kerajaan sibuk berebut kuasa, adigang
adigung adiguno (pamer jabatan dan kepongahan), dan nasib kawulo (rakyat)
ditinggalkan. Pendeknya, situasi menggambarkan merajalelanya wabah
ketidakpatutan.
Sebagai kawulo, Petruk geram
dengan situasi ini, lantas muncul nafsu
rumongso iso (merasa bisa dan memproklamasikan diri menjadi raja.
Namun, seperti kondisi yang dikritiknya, ia juga segera jatuh terjerembap ke
kubangan buruk kekuasaan: gila kuasa-hormat-kemewahan. Setelah ditegur ayah
sekaligus gurunya, Kiai Semar, Petruk lantas sadar, iso rumongso (bisa
merasa) dan kembali melakoni perannya sebagai rakyat biasa yang berupaya
tidak jadi beban negara.
Perlambang kusut nilai yang
melahirkan fenomena banyak ”Petruk” kini juga tengah melanda Republik. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyeret ratusan pejabat eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan swasta ke penjara. Namun, tak ada tanda-tanda
kejahatan luar biasa itu surut atau berkurang. Bahkan, mulai dijumpai
dorongan melakukan korupsi dipicu sifat rakus, serakah, dan tamak akibat
kewenangan tanpa kontrol kuat.
Temuan KPK menyebut adanya
praktik umum pola komitmen suap sebanyak 10 persen dari nilai sebuah proyek.
Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad
Syarif, terdapat kecenderungan pengusaha pemenang tender harus memberikan 5
persen untuk pejabat internal (kepala daerah dan instansi terkait) serta 5
persen untuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, jaksa, dan polisi (Tempo, 3/10/17).
Korupsi terstruktur dan
sistemik di birokrasi bukan hanya merugikan rakyat dan negara, melainkan juga
menabrak sumpah sakral aparatur negara: ”Demi Allah/atas nama Tuhan Yang Maha
Esa, saya berjanji…senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada saya
sendiri, seseorang atau golongan”(Pasal 66 Ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2014).
Ironisnya, pakta integritas, pengawasan melekat, transparansi, dan
akuntabilitas tak mengejawantah dalam tataran operasional yang terukur dan
terbuka dinilai pengampu kepentingan.
Miskin watak dan otak
Dihubungkan dengan realitas
bernegara dan berbangsa, anomali nilai tampak nyata dalam gerakan dan aksi
melawan korupsi yang sepi peminat kecuali kalangan tertentu yang memiliki
keprihatinan dan sadar bahwa korupsi sistemik menjadi ganjalan besar kemajuan
bangsa. Hilangnya kepekaan atas bahaya besar korupsi membuat miris, tidak
hanya menunjukkan ”kemiskinan nilai”, tetapi lebih dari itu, kedangkalan
mengenali dan mengatasi sumber utama ancaman bangsa.
Sumber segala macam sengkarut
ini tak pelak lagi adalah absennya pembangunan watak dan otak. Abai
menyuburkan nurani dan intelektualitas melahirkan kemiskinan akal budi.
Implikasinya antara lain muncul dalam bentuk ujaran kebencian, banjir deras
informasi hoaks, saling serang di antara warga bangsa sendiri, maraknya
akrobat tata nilai degil yang dipertontonkan elite negeri. Meruyaknya
perbincangan truisme (perkara remeh temeh) yang membanjiri medsos terus
membelah persatuan bangsa, menghilangkan kepekaan memelihara kemajemukan dan
meminggirkan upaya mengatasi tantangan dan masalah besar bersama (altruisme).
Kita boleh berharap rembesan buruk revolusi komunikasi lewat medsos akhirnya
berhenti. Namun, selama basis tindakan yang terbimbing akal budi belum
mendarah daging, perilaku destruktif yang mengoyak kebersamaan akan tetap
merajalela.
Setiap riak dan kegaduhan yang
menyedot energi bangsa butuh determinasi, respons cepat dan tepat untuk
menegaskan bahwa span of control berjalan efektif. Pembiaran berlarut untuk
tujuan politik dan segregasi perlahan
akan menumpuk rasa tak percaya (distrust) pada sistem dan keandalan mengelola
perbedaan. Kekeringan sumber-sumber kenegarawanan mengemuka karena parpol
alpa menyemai kader dan lalai meletakkan tujuan utama politik, yakni
memajukan bangsa. Berpolitik akhirnya sekadar menjadi alat meraih kekuasaan,
menumpuk modal, serta melanggengkan oligarki dan kekerabatan. Sejak
reformasi, parpol kehilangan arah dan gagal memerangi musuh besar bersama:
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Di masa tak terlalu jauh, satu
dua dekade ke depan, kita dihadapkan persoalan krisis energi, ketersediaan
air, dan kedaulatan pangan. Pengelolaan dan peta jalan untuk mengatasi ketiga
masalah besar ini belum menumbuhkan optimisme dan kurang melibatkan
partisipasi publik secara masif. Konsolidasi tata ruang, simbiose kepentingan
dan integrasi antarwilayah, serta kebijakan afirmasi masih terhadang
pengaturan berlebihan (over-ruled), tumpang tindih regulasi, dan ego
sektoral. Kemiskinan, ketimpangan, dan keterbelakangan awet sebagai problem
laten berderajat tinggi yang membutuhkan pendekatan radikal dan holistik.
Ketiga masalah itu sebagian besar merupakan resultan dari korupsi endemik
yang menjangkiti birokrasi.
Dari rezim ke rezim, upaya
mengurangi masalah itu belum memberi jaminan perbaikan mendasar dan tepat
sasaran. Pemecahan seluruh persoalan ini berhubungan erat dengan kebijakan
dan aksi pemerintah. Reformasi birokrasi, penegakan hukum, perbaikan tata
kelola pemerintahan, dan sinergi pusat-daerah semestinya diperkuat agar
berperan menjadi salah satu kunci penyelesaian dan bukan justru menjadi akar
persoalan. Ulasan Kompas (20/10) mengirim pesan jelas, pembangunan
infrastruktur masif di seluruh daerah dapat berubah menjadi bumerang bagi
rakyat setempat jika pemda tak tanggap merespons dampaknya. Pembangunan jalan
tol, misalnya, akan menyebabkan jalur lama ditinggalkan pengguna transportasi
sehingga kota-kota tertentu jadi sepi dan ditinggalkan investor. Kondisi ini
bisa menimbulkan masalah baru yakni munculnya pengangguran.
Daulat rakyat
Bangunan demokrasi kita kian
mereduksi partisipasi rakyat sekadar jadi konstituen, penyumbang suara.
Keterwakilan dan aspirasi rakyat terpinggirkan orientasi fragmentaristik.
Artikulasi kekecewaan rakyat sering diekspresikan dengan menempuh aksi
jalanan dan vandalisme akibat tersumbatnya saluran mediasi publik republik.
Kekosongan dialog di setiap level persoalan bakal menyisakan endapan
kekecewaan yang setiap saat dapat meledak dalam aneka bentuk katarsis sosial.
Sejak reformasi, kita mengalami
entropi bernegara dan berbangsa justru ketika infrastruktur dan suprastruktur
politik banyak dibangun untuk mengawal demokrasi. Paradoks ini menguat dan
lambat laun mengubah arah dan tujuan demokrasi hanya sekadar mengutamakan
mekanisme prosedural dan melayani kepentingan terbatas. Kita juga telah diingatkan dan membuktikan,
pertumbuhan ekonomi tinggi, laju pesat investasi, dan angka-angka agregat
makro positif tak serta-merta dapat mengurangi kemiskinan dan ketimpangan
secara signifikan. Daya dorong dan daya ungkit dari dalam (inner power) lewat
aneka mantra pemberdayaan butuh bahan baku utama berupa merata dan
meningkatnya kualitas manusia.
Pemimpin sejati hormat dan
menjunjung tinggi daulat rakyat, menyingkirkan ranjau-ranjau berbahaya bagi
rakyatnya kelak. Ia tak akan menunda kerusakan atau menoleransi semua gerakan
yang menggerogoti aset imaterial (persatuan, keberagaman, kemuliaan) dan
material (kekayaan negara). Pemimpin besar mewariskan legasi berupa landasan
kokoh bagi kemajuan berkelanjutan. Ia
bertindak dan bekerja sesuai tantangan nubuat zaman. Pembangunan watak dan
otak manusia selalu menjadi ikhtiar pokok karena itulah sumber penggerak
utama perubahan meraih kemajuan.
Petruk-Petruk baru mungkin
masih akan terus bermunculan akibat sistem politik korup dan lemah kontrol.
Namun, harapan masih ada manakala terdapat kemauan kuat untuk menemukan
kembali pangkalan kemajuan hakiki. Jalan ke arah itu butuh kesabaran dan
kesediaan menampung proses deliberasi untuk memperoleh dukungan publik secara
kuat dan nyata. Simpul-simpul penggerak perubahan perlu diperluas antara lain
dengan memanfaatkan ketersediaan ”orang baik, pintar, dan kritis” yang
terpanggil dan sukarela menyumbangkan darma bakti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar