Bung,
Hari Ini Sumpah Pemuda!
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
28 Oktober
2017
Awal abad ke-20, sejak lebih
dari empat abad silam (1500-1900), ekspansi orang-orang kulit putih (bangsa
Eropa) benar-benar menguasai dunia. Kolonialisme adalah wajah kerakusan dan
kekejaman bangsa penjajah. Eksploitasi tak hanya mengeruk sumber daya alam
bangsa lain, tetapi juga memusnahkan martabat dan harkat manusia.
Bangsa-bangsa di Afrika, Asia, dan Amerika tak berkutik. Nyaris tiada negeri
yang tak ditaklukkan, setidaknya ada pengaruh kuat. Sampai 1914, hanya tiga
negeri yang tetap merdeka atau tanpa campur tangan asing, yaitu Turki,
Persia, dan Afganistan (Stoddard, 1966 [1920]). Hampir semua negeri dicaplok
imperium bangsa kulit putih, termasuk Indonesia yang dijajah bangsa-bangsa
Eropa sejak abad ke-16.
Namun, awal abad ke-20, angin
perubahan telah bergulir, mengisi ruang-ruang pikiran dan relung jiwa
anak-anak negeri. Kesadaran sebagai manusia merdeka dan sebagai bangsa yang
terbebas dari belenggu penjajahan menjadi gemuruh penanda zaman baru. A Rivai
(1871-1933), pejuang dan wartawan, sudah menulis tentang ”Hindia Maju” dalam
Bintang Hindia yang terbit di Belanda tahun 1900. Masalah politik jajahan dan
bahasa persatuan ditulisnya di surat kabar berbahasa Belanda seperti Alg
Handelsblad. Rivai adalah satu contoh pelopor pejuang pemberani, menolak
diperlakukan lebih rendah dari bangsa Belanda (Tamar Djaja, 1951).
Gelombang kesadaran bangsa
adalah jiwa zaman (zeitgeist) yang tak terbendung, terlebih lagi pascapolitik
etis (1901). ”Budi” menjadi kata kunci dalam gelombang kesadaran bangsa. Pada
21 April 1904, koran Melayu-Jawa, Darmo Kondo, yang terbit di Surakarta
menerbitkan artikel tentang ”Hal Budi Manusia”. Artikel anonim mengisahkan
tentang percakapan di antara hakim di Jawa soal pengertian ”budi”.
Sepenggal artikel tersebut:
”Budi bisa dipersamakan dengan seorang raja yang menjalankan ketertiban
terhadap negerinya: ia membahas dan berusaha mengerti, memikirkan, dan
bekerja untuk menciptakan kehidupan yang makmur dan sentosa bagi rakyatnya;
karena itu jiwa di dalam tubuh manusia seperti pelita di sebuah rumah, yang
memberikan sinar terang pada rumah tersebut. Orang yang berbudi tak suka akan
kesusahan, dan berusaha tidak terlibat dalam segala apa pun yang akan
membikinnya merasa sedih” (Nagazumi, 1989).
Ketika kesadaran bangsa-bangsa
tersemai pada awal abad ke-20, ”budi” begitu melekat dalam jiwa dan peradaban
bangsa. Dalam konteks ini dapat dipahami kemunculan perkumpulan-perkumpulan
awal seperti Sarekat Dagang Islam (1905) yang berubah menjadi Sarekat Islam
(1906), Budi Utomo (1908), Indische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia
(1908), Paguyuban Pasundan (1913), Tri Koro Darmo (1915) yang berubah menjadi
Jong Java (1918) dan melahirkan Jong Islamieten Bond pascakongres (1924),
Jong Sumatranen Bond (1917) yang kemudian berubah menjadi Pemuda Sumatera,
Jong Ambon (1918), Jong Celebes, Jong Minahasa (1919), Jong Batak Bond (1926).
Masih banyak perkumpulan pergerakan lainnya.
Kesadaran bersama itu
menghasilkan momentum sejarah. Dua kali pemuda berkongres. Kongres I tahun
1926 dan kongres II tahun 1928. Kongres Pemuda I yang dipimpin M Tabrani
mampu memompa dan menularkan rasa persatuan Indonesia. Pada Kongres Pemuda II
yang dipimpin Sugondo Djojopuspito, mencapai puncak momentum sejarah: Sumpah
Pemuda. Sumpah Pemuda adalah puncak kesadaran berbangsa, tentang kesamaan
”tanah air, bangsa, dan bahasa”. Itulah puncak pemikiran generasi baru, yang
menjadi penanda abad baru (abad ke-20).
Sekarang awal abad ke-21.
Sumpah Pemuda hampir seabad. Sekarang zaman digital di mana dunia berada
dalam genggaman generasi mile- nial. Zaman ketika teknologi informasi dan
komunikasi menjadi ”jiwa zaman”. Dunia internet dengan segala produk
teknologinya seakan menjadi ”berhala-berhala baru”. Dan, sayangnya revolusi
digital juga melahirkan paradoks-paradoks. Perubahan dunia yang begitu cepat
terkadang menimbulkan kegamangan, serba salah, atau situasi yang sebetulnya
hanya berputar-putar saja. Ada masalah, tetapi tanpa solusi.
Dalam serbuan media sosial yang
kerap berwajah negatif, realitas paling mengkhawatirkan adalah menguatnya
perasaan berbeda yang menjurus ke konflik. Dunia maya memperlihatkan wajah murung
di dunia nyata. Platform digital bukan lagi ruang diskusi publik yang positif
dan konstruktif, melainkan disesaki dengan komunikasi negatif, sinikal,
kebencian, fitnah. Jikalau media sosial terus-menerus dipenuhi ujaran
kebencian, akan sulit tumbuh sebagai medium pemersatu. Sebetulnya tingkat
terbaik konektivitas publik sekarang ini adalah sebuah kekuatan, kata David
Stupples (2015), tetapi secara instan hubungan itu ditandai dengan
misinformasi dan kecemasan yang menyebar cepat, yang akhirnya membuat kepanikan.
Sikap intoleran terasa menguat
sehingga menimbulkan polarisasi ekstrem. Sentimen komunal seperti etnis atau
agama bisa menjadi bara penyulut konflik. Rivalitas politik bisa membatu
menjadi polarisasi secara diametral. Inilah bedanya dengan zaman awal abad
ke-20 ketika bangsa ini menemukan titik persamaan di atas reruntuhan
perbedaan. Kita yang hidup di awal abad ke-21 ini justru lebih banyak
memunculkan sikap-sikap berbeda yang memberaikan ikatan bersama bangsa ini.
Tragis!
Bung, ingatlah hari ini Sumpah
Pemuda! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar