Sabtu, 21 Oktober 2017

Nasib Kesepakatan Nuklir Iran

Nasib Kesepakatan Nuklir Iran
Dinna Wisnu ;   Pemerhati Hubungan Internasional
                                                      KOMPAS, 20 Oktober 2017



                                                           
Keputusan Presiden Donald Trump yang mengumumkan tak akan mengesahkan sertifikasi komitmen Iran sesuai kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action pekan lalu telah menciptakan potensi konflik di tingkat global akibat tindakan sepihak yang terus dilancarkan Amerika Serikat.

Memang belum serta-merta akan menyebabkan perang atau konflik bersenjata, tetapi keputusan itu mengubah narasi peta diplomasi di mana AS yang secara historis selalu mengambil peran hegemonik sebagai negara demokratis, terbuka dan bersedia bekerja sama dalam norma-norma hubungan internasional, kini justru menjadi bagian dari masalah karena menghambat pelembagaan perdamaian dunia.

AS memiliki Iran Nuclear Agreement Review Act (INARA) yang mewajibkan presiden AS memberikan sertifikasi atau pengesahan kepada Kongres AS setiap 90 hari sekali bahwa Iran memang telah mematuhi komitmen semua langkah sesuai JCPOA yang telah disepakati oleh AS, Rusia, China, Perancis, Inggris, dan Uni Eropa (P5+1). AS sudah dua kali memberikan sertifikasi, yaitu 18 April dan 17 Juli 2017. Sertifikasi ketiga jatuh pada 15 Oktober lalu, tetapi Trump sudah menyatakan ia  tak akan memberikan persetujuan.

Keputusan ini mengharuskan Kongres AS dalam 60 hari untuk mengambil sikap apakah akan mencabut kembali hambatan untuk menekan kembali Iran atau mengamendemen INARA. Seandainya Kongres memilih tidak melakukan apa-apa, Trump sudah mengancam akan menarik diri dari kesepakatan JCPOA.

Dunia, khususnya anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan Uni Eropa (UE), akan menunggu kebijakan AS selama masa tenggang itu terutama dari Kongres dan Trump terkait nasib JCPOA, tetapi posisi mereka saat ini adalah tetap mendukung JCPOA dan tak akan merevisinya. Mereka selama ini tak menemukan bukti Iran telah melanggar isi kesepakatan yang dapat menjadi landasan untuk keluar dari kesepakatan yang ada.

Sejak Januari 2016, International Atomic Energy Agency (IAEA) telah memverifikasi dan memantau pelaksanaan komitmen nuklir Iran berdasarkan JCPOA seperti ditegaskan kembali oleh  Dirjen IAEA Yukiya Amano. Keputusan Trump juga bertentangan dengan menteri pertahanannya, James Mattis, yang mengatakan kepada Senate Armed Services Committee bahwa JCPOA sudah sesuai dengan kepentingan strategis AS. Pendapatnya serupa pernyataan Kepala Staf Gabungan Jenderal Joseph Dunford yang membenarkan Iran sudah mematuhi semua komitmen sesuai dengan JCPOA.

Trump sendiri memang mengabaikan laporan IAEA dan lebih mempersoalkan apa yang disebutnya ”sunset clauses” dalam JCPOA. Pasal itu mengatur bahwa kesepakatan JCPOA akan berakhir 10-15 tahun setelah disepakati.  Saat kesepakatan itu berakhir, berakhir pula tekanan atau proses monitoring terhadap Iran, khususnya terkait nuklir.

Trump meyakini klausul itu berbahaya dan semestinya Iran dilarang sama sekali melakukan segala aktivitas terkait penguatan senjata nuklir termasuk pengembangan rudal balistik yang dianggap dapat membawa hulu ledak nuklir.

Trump meminta Kongres AS, jika tidak dapat mengembalikan lagi sanksi yang dulu kepada Iran, maka harus memasukkan klausul dalam INARA yang bisa menjadi titik pemicu (trigger point) bagi pemerintah untuk secara unilateral menarik diri dari perjanjian dan memberikan sanksi kepada Iran tanpa perlu persetujuan Kongres.

Enam hal

Kita dapat memaknai enam hal terkait keputusan Trump tersebut. Pertama, secara internal, dalam proses pengambilan keputusan itu, Trump jelas-jelas bertentangan dengan para menteri dan kabinetnya sendiri, khususnya dari kalangan militer. Militer sendiri juga memiliki dinamika pro dan kontra, tetapi sejauh ini saluran formal militer baik dari menteri pertahanan dan kastaf gabungan tidak menyetujui keputusan Trump. Keputusan Trump juga tak populer di mata masyarakat AS karena 60 persen warga AS ingin AS terlibat dalam perundingan konstruktif untuk mengurangi persenjataan nuklir seperti dicatat Chicago Council on Global Affairs. Pendapat warga AS itu dapat memengaruhi juga proses pengambilan keputusan di dalam Kongres AS.

Kedua, dalam konteks hubungan internasional, khususnya dalam program pelucutan senjata nuklir, penarikan diri atau mengubah JCPOA akan mempertajam lagi ketegangan di Timur Tengah maupun Semenanjung Korea. Revisi atau bahkan penarikan diri dari kesepakatan yang telah ditandatangani akan menghambat upaya diplomatis damai untuk mengurangi laju perlombaan senjata nuklir. Keputusan Trump mempersulit sekutu atau mitra AS seperti China, yang berusaha keras mengajak Korea Utara duduk di meja perundingan untuk menyelesaikan masalah mereka.

Jika sikap AS yang mundur begitu saja dari kesepakatan tanpa alasan dapat diterima, mengapa negara lain tak dapat melakukannya juga? Jika diplomasi sudah kehilangan kekuatannya, yaitu kepercayaan, negara yang berkonflik akan berpikir untuk kembali ke jalur kekerasan.

Ketiga, AS tetap dan masih akan jadi pemain utama dalam proses perdamaian dunia karena hingga kini AS salah satu negara dengan anggaran belanja militer terbesar di dunia. Meski demikian, posisi hegemonik AS dalam perdamaian dunia justru berkurang akibat tindakan Trump. Lebih buruk lagi apakah AS yang dulu dianggap negara yang dapat membantu mengurangi masalah saat ini justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri?

Setelah Trump menyatakan diri keluar dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), merevisi kembali kesepakatan-kesepakatan perdagangan baik bilateral maupun multilateral, keluar dari UNESCO, dan tidak menutup kemungkinan AS keluar dari NATO, maka kita dapat menduga justru AS  yang saat ini menjauh dari norma-norma internasional dan membiarkan dirinya terisolasi.

Keempat, garis kebijakan Trump dikhawatirkan menguatkan kelompok garis keras di Iran, tetapi sikap negara P5+1 yang tetap mendukung JCPOA justru dapat menguatkan kelompok reformasi di Iran. Apabila Iran tak terpancing melakukan tindakan yang dapat melanggar kesepakatan, posisi Iran justru akan lebih baik di mata dunia internasional. Di samping itu, Iran juga cenderung untuk tidak kembali ke masa lalu seperti saat  politik luar negeri Iran (khususnya semasa Presiden Ahmadinejad) masih hostile atau keras terhadap Barat dan sekutunya.

Saat ini, Iran sudah banyak melakukan investasi khususnya setelah sanksi ekonomi dihapuskan. Iran banyak membeli produk teknologi, mesin, produk pertanian, jasa, dan gencar meningkatkan kerja sama bilateral. Iran bahkan bersedia membayar lebih mahal dari harga pasar. Iran saat ini pasar ekonomi terbesar kedua di Timur Tengah dan Afrika Utara setelah Arab Saudi.

Kelima, kebijakan Trump yang membawa AS menjauh dari kerja sama internasional menjadi kesempatan bagi emerging market, termasuk Indonesia sebagai calon anggota DK PBB, berpartisipasi dalam merumuskan langkah-langkah guna melembagakan perdamaian dunia secara lebih permanen dan diterima semua pihak. Yang dilakukan AS justru memperkuat alasan untuk ”hadir” mengingatkan dunia akan pentingnya kerja sama dan menghindari tindakan-tindakan sepihak.

Keenam, JCPOA adalah kesepakatan multilateral dan bukan bilateral. Jika AS mengundurkan diri, kesepakatan itu tetap berjalan. Persoalan datang jika kemudian AS jadi menerapkan sanksi ekonomi kepada Iran. Sejauh mana sanksi itu berlaku dan memengaruhi ekonomi negara lain meski sanksi itu sendiri tampaknya tak akan populer di mata negara-negara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar