Nasib
Kesepakatan Nuklir Iran
Dinna Wisnu ; Pemerhati Hubungan
Internasional
|
KOMPAS,
20 Oktober
2017
Keputusan Presiden Donald Trump
yang mengumumkan tak akan mengesahkan sertifikasi komitmen Iran sesuai
kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action pekan lalu telah menciptakan
potensi konflik di tingkat global akibat tindakan sepihak yang terus
dilancarkan Amerika Serikat.
Memang belum serta-merta akan
menyebabkan perang atau konflik bersenjata, tetapi keputusan itu mengubah
narasi peta diplomasi di mana AS yang secara historis selalu mengambil peran
hegemonik sebagai negara demokratis, terbuka dan bersedia bekerja sama dalam
norma-norma hubungan internasional, kini justru menjadi bagian dari masalah
karena menghambat pelembagaan perdamaian dunia.
AS memiliki Iran Nuclear
Agreement Review Act (INARA) yang mewajibkan presiden AS memberikan
sertifikasi atau pengesahan kepada Kongres AS setiap 90 hari sekali bahwa
Iran memang telah mematuhi komitmen semua langkah sesuai JCPOA yang telah
disepakati oleh AS, Rusia, China, Perancis, Inggris, dan Uni Eropa (P5+1). AS
sudah dua kali memberikan sertifikasi, yaitu 18 April dan 17 Juli 2017.
Sertifikasi ketiga jatuh pada 15 Oktober lalu, tetapi Trump sudah menyatakan
ia tak akan memberikan persetujuan.
Keputusan ini mengharuskan
Kongres AS dalam 60 hari untuk mengambil sikap apakah akan mencabut kembali
hambatan untuk menekan kembali Iran atau mengamendemen INARA. Seandainya
Kongres memilih tidak melakukan apa-apa, Trump sudah mengancam akan menarik
diri dari kesepakatan JCPOA.
Dunia, khususnya anggota tetap
Dewan Keamanan PBB dan Uni Eropa (UE), akan menunggu kebijakan AS selama masa
tenggang itu terutama dari Kongres dan Trump terkait nasib JCPOA, tetapi
posisi mereka saat ini adalah tetap mendukung JCPOA dan tak akan merevisinya.
Mereka selama ini tak menemukan bukti Iran telah melanggar isi kesepakatan
yang dapat menjadi landasan untuk keluar dari kesepakatan yang ada.
Sejak Januari 2016,
International Atomic Energy Agency (IAEA) telah memverifikasi dan memantau
pelaksanaan komitmen nuklir Iran berdasarkan JCPOA seperti ditegaskan kembali
oleh Dirjen IAEA Yukiya Amano.
Keputusan Trump juga bertentangan dengan menteri pertahanannya, James Mattis,
yang mengatakan kepada Senate Armed Services Committee bahwa JCPOA sudah
sesuai dengan kepentingan strategis AS. Pendapatnya serupa pernyataan Kepala
Staf Gabungan Jenderal Joseph Dunford yang membenarkan Iran sudah mematuhi
semua komitmen sesuai dengan JCPOA.
Trump sendiri memang
mengabaikan laporan IAEA dan lebih mempersoalkan apa yang disebutnya ”sunset
clauses” dalam JCPOA. Pasal itu mengatur bahwa kesepakatan JCPOA akan
berakhir 10-15 tahun setelah disepakati.
Saat kesepakatan itu berakhir, berakhir pula tekanan atau proses
monitoring terhadap Iran, khususnya terkait nuklir.
Trump meyakini klausul itu
berbahaya dan semestinya Iran dilarang sama sekali melakukan segala aktivitas
terkait penguatan senjata nuklir termasuk pengembangan rudal balistik yang
dianggap dapat membawa hulu ledak nuklir.
Trump meminta Kongres AS, jika
tidak dapat mengembalikan lagi sanksi yang dulu kepada Iran, maka harus
memasukkan klausul dalam INARA yang bisa menjadi titik pemicu (trigger point)
bagi pemerintah untuk secara unilateral menarik diri dari perjanjian dan
memberikan sanksi kepada Iran tanpa perlu persetujuan Kongres.
Enam hal
Kita dapat memaknai enam hal
terkait keputusan Trump tersebut. Pertama, secara internal, dalam proses
pengambilan keputusan itu, Trump jelas-jelas bertentangan dengan para menteri
dan kabinetnya sendiri, khususnya dari kalangan militer. Militer sendiri juga
memiliki dinamika pro dan kontra, tetapi sejauh ini saluran formal militer
baik dari menteri pertahanan dan kastaf gabungan tidak menyetujui keputusan
Trump. Keputusan Trump juga tak populer di mata masyarakat AS karena 60
persen warga AS ingin AS terlibat dalam perundingan konstruktif untuk
mengurangi persenjataan nuklir seperti dicatat Chicago Council on Global Affairs.
Pendapat warga AS itu dapat memengaruhi juga proses pengambilan keputusan di
dalam Kongres AS.
Kedua, dalam konteks hubungan
internasional, khususnya dalam program pelucutan senjata nuklir, penarikan
diri atau mengubah JCPOA akan mempertajam lagi ketegangan di Timur Tengah
maupun Semenanjung Korea. Revisi atau bahkan penarikan diri dari kesepakatan
yang telah ditandatangani akan menghambat upaya diplomatis damai untuk
mengurangi laju perlombaan senjata nuklir. Keputusan Trump mempersulit sekutu
atau mitra AS seperti China, yang berusaha keras mengajak Korea Utara duduk
di meja perundingan untuk menyelesaikan masalah mereka.
Jika sikap AS yang mundur
begitu saja dari kesepakatan tanpa alasan dapat diterima, mengapa negara lain
tak dapat melakukannya juga? Jika diplomasi sudah kehilangan kekuatannya,
yaitu kepercayaan, negara yang berkonflik akan berpikir untuk kembali ke
jalur kekerasan.
Ketiga, AS tetap dan masih akan
jadi pemain utama dalam proses perdamaian dunia karena hingga kini AS salah
satu negara dengan anggaran belanja militer terbesar di dunia. Meski
demikian, posisi hegemonik AS dalam perdamaian dunia justru berkurang akibat
tindakan Trump. Lebih buruk lagi apakah AS yang dulu dianggap negara yang
dapat membantu mengurangi masalah saat ini justru menjadi bagian dari masalah
itu sendiri?
Setelah Trump menyatakan diri
keluar dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), merevisi kembali
kesepakatan-kesepakatan perdagangan baik bilateral maupun multilateral,
keluar dari UNESCO, dan tidak menutup kemungkinan AS keluar dari NATO, maka
kita dapat menduga justru AS yang saat
ini menjauh dari norma-norma internasional dan membiarkan dirinya terisolasi.
Keempat, garis kebijakan Trump
dikhawatirkan menguatkan kelompok garis keras di Iran, tetapi sikap negara
P5+1 yang tetap mendukung JCPOA justru dapat menguatkan kelompok reformasi di
Iran. Apabila Iran tak terpancing melakukan tindakan yang dapat melanggar
kesepakatan, posisi Iran justru akan lebih baik di mata dunia internasional.
Di samping itu, Iran juga cenderung untuk tidak kembali ke masa lalu seperti
saat politik luar negeri Iran
(khususnya semasa Presiden Ahmadinejad) masih hostile atau keras terhadap
Barat dan sekutunya.
Saat ini, Iran sudah banyak
melakukan investasi khususnya setelah sanksi ekonomi dihapuskan. Iran banyak
membeli produk teknologi, mesin, produk pertanian, jasa, dan gencar
meningkatkan kerja sama bilateral. Iran bahkan bersedia membayar lebih mahal
dari harga pasar. Iran saat ini pasar ekonomi terbesar kedua di Timur Tengah
dan Afrika Utara setelah Arab Saudi.
Kelima, kebijakan Trump yang
membawa AS menjauh dari kerja sama internasional menjadi kesempatan bagi
emerging market, termasuk Indonesia sebagai calon anggota DK PBB,
berpartisipasi dalam merumuskan langkah-langkah guna melembagakan perdamaian
dunia secara lebih permanen dan diterima semua pihak. Yang dilakukan AS
justru memperkuat alasan untuk ”hadir” mengingatkan dunia akan pentingnya
kerja sama dan menghindari tindakan-tindakan sepihak.
Keenam, JCPOA adalah
kesepakatan multilateral dan bukan bilateral. Jika AS mengundurkan diri,
kesepakatan itu tetap berjalan. Persoalan datang jika kemudian AS jadi
menerapkan sanksi ekonomi kepada Iran. Sejauh mana sanksi itu berlaku dan
memengaruhi ekonomi negara lain meski sanksi itu sendiri tampaknya tak akan
populer di mata negara-negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar