Jumat, 27 Oktober 2017

G30S/PKI dan Menyoal Arsip Kedubes AS

G30S/PKI dan Menyoal Arsip Kedubes AS
Subandi Rianto ;   Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM;
Penerima Beasiswa LPDP Kemenkeu PK 108
                                                   REPUBLIKA, 25 Oktober 2017



                                                           
Pekan lalu adalah pekan istimewa. Secara berseri, beberapa media daring menerbitkan ulang laporan National Declassification Center (NDC) atas dibukanya arsip-arsip diplomatik Kedubes Amerika Serikat (AS) di Indonesia dalam kurun tahun 1964-1968.

Dibukanya arsip-arsip ini merupakan kerja sama NDC bersama National Security Archive (NSA) dan National Archives and Records Administration (NARA). Serta tentunya kebijakan dalam negeri AS membuka arsip-arsip kontroversial setelah 30 tahun kemudian.

Arsip yang dibuka meliputi kawat diplomatik, testimoni para diplomat asing di Jakarta, serta pernyataan-pernyataan pejabat Indonesia di masa itu yang kemudian diarsipkan. Kesemuanya adalah arsip di bidang politik.

Membuka arsip politik setelah puluhan tahun kemudian belum menjadi budaya di Indonesia. Penulis pernah menyambangi beberapa dinas arsip di daerah-daerah. Ada beberapa arsip yang tidak bisa diakses oleh khalayak umum.

Salah satunya yang berkaitan dengan peristiwa 1965, percobaan kudeta G-30 September. Pejabat arsip selalu mengatakan, arsip politik yang kontroversial dapat membahayakan stabilitas negara sehingga untuk sementara tidak bisa diakses umum.

Dokumen yang bersifat rahasia ini bisa jadi terdiri atas nota komunikasi pejabat intelijen, militer, pemerintahan, dan juga surat kabar-surat kabar yang terkait dengan peristiwa. Hanya sedikit yang bisa ditemukan membahas dengan jelas.

Biasanya, membahas hari-hari menjelang G-30-S (persaingan militer dan PKI) atau persoalan-persoalan pascaperistiwa G-30-S, atau pernyataan para pejabat saat itu yang dikutip pers masih bisa ditemukan.

Budaya membuka arsip di AS tentu saja berbeda dengan di Indonesia, karena peristiwa 1965 sangat sensitif di mata masyarakat Indonesia. Di AS, merujuk penuturan dosen tamu UCLA yang pernah penulis temui, tidak semua mahasiswa pascasarjana di AS mengetahui peristiwa G-30-S.

Itulah mengapa para penulis asing sangat tertarik dengan arsip-arsip 1965 dan mereka kebanyakan menulis penelitian dan buku yang menjadi buku babon di kampus-kampus Indonesia.

Kebijakan yang diambil para pejabat arsip di Indonesia sampai saat ini masih tepat untuk menjaga stabilitas politik. Tepat karena mayoritas masyarakat belum terlalu bijak menanggapi kejadian sejarah yang bersifat kontroversial, apalagi menyangkut isu agama dan komunis.

Selain itu, budaya literasi yang kurang membuat masyarakat mudah termakan //hoaks// dan tidak selektif dalam menerima informasi.




Kedua, wawancara dan investigasi terhadap para pelaku dan korban terkait seputar peristiwa 1965. Wawancara dan investigasi ini bisa melintas kota dan juga negara karena kebanyakan para pelaku dan korban telah tiada. Yang tersisa, memoar dan kesaksian mereka yang diturunkan kepada anak cucu.

Penulisan ini baru mulai terasa setelah reformasi 1998. Ketika Soeharto jatuh, narasi penulisan sejarah dengan sumber ini secara lebih tajam berusaha melihat apa yang terjadi setelah G-30-S.

Ketiga, arsip partai politik dan organisasi. Beberapa penulisan sejarah menggunakan arsip politik PKI, partai lain serta dokumen dan memoir para pengurus partai. Penulisan dengan sumber ini memunculkan dua kubu berbeda.

Kubu pertama menyatakan, dalam dokumen-dokumen rapat PKI, pernyataan dan pidato pucuk pimpinannya tidak pernah berniat menggelar kudeta. Sementara, kubu yang lain dipelopori seorang profesor sejarah di Surabaya. Dokumen kecil rencana pendirian negara komunis dan kudeta sudah disiapkan oleh para anggota Committee Central PKI.

Melihat dan menganalisis pembukaan arsip Kedubes AS, pembaca perlu memahami beberapa hal mengenai produksi arsip-arsip politik dengan tujuan politik pula. Arsip politik selalu diproduksi untuk tujuan tertentu.

Kawat-kawat diplomatik Kedubes AS dengan Kemenlu AS di periode 1964-1968 diproduksi untuk melaporkan segala perkembangan di Indonesia serta memastikan kepentingan luar negeri AS aman. Seperti yang sudah dijelaskan, AS berkepentingan atas pembendungan komunisme, merebaknya perang dingin, dan juga kepentingan ekonomi politik lainnya.

Begitu juga arsip produksi Pemerintah Indonesia dan militer bertujuan untuk kepentingan tertentu, seperti menegakkan supremasi nasakomisasi Sukarno atau kewibawaan militer atas supremasi sipil PKI kala itu.

Arsip yang diproduksi pemerintah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya karena yang menulis pejabat pemerintah dengan akses luas, yang ditulis biasanya bersifat mendetail, disertai analisis sebab-akibat yang terjadi. Kelemahannya, arsip bisa bias.

Perdebatan soal menulis sejarah (historiografi) dengan arsip negara dan arsip masyarakat telah berlangsung lama, bahkan menjadi perdebatan metodologi sendiri yang turut melahirkan mazhab sejarah baru.

Sebelumnya, penulisan sejarah yang dipelopori Leopold von Ranke lebih mengedepankan arsip-arsip negara. Penggunaan sumber dengan arsip-arsip negara selalu bersifat politik, mengedepankan figur orang-orang besar, dan menghadirkan hegemoni negara atas masyarakatnya.

Mazhab ini selalu mengedepankan arsip sebagai nilai utama sehingga kesaksian orang mana pun tanpa arsip dianggap meragukan.Hingga akhirnya muncul reaksi untuk menghadirkan kisah orang-orang kecil, marginal, di mana menulis sejarah tanpa menggunakan label politik. Penggunaan sumber-sumber sejarah pun meluas menjadi arsip-arsip masyarakat. Sejarah ini berkembang menjadi sejarah ekonomi dan sejarah kebudayaan.

Pergeseran ini juga bisa dilihat dalam penulisan sejarah 1965. Penggunaan arsip-arsip politik pemerintah, baik Amerika maupun Indonesia selalu bercerita soal orang-orang besar dalam panggung politik sejarah Indonesia.

Penulisan dengan genre seperti ini sangat laris di masa Orde Baru, terlebih di luar negeri menjadi tren tersendiri. Para Indonesianis bahkan kebanyakan menggunakan dokumen-dokumen politik pemerintah sebagai basis sumbernya.

Hingga reformasi 1998 mengubah arah penulisan sejarah 1965, di mana sumber-sumber penulisan 1965 bergeser menjadi kesaksian korban, dokumen-dokumen orang-orang kecil seperti pelaku, korban, jagal, ajudan, dan bahkan tetangga-tetangga korban. Sumber sejarah menjadi begitu bervariasi dan membuat penulisan semakin berwarna.

Jadi, dengan kembalinya dibukanya arsip Kedubes Amerika saat ini masih memutar lagu lama dalam penulisan sejarah 1965. Jika Kedubes AS berusaha memotret peristiwa 1965 dengan pendekatan politis mereka, itu tidak salah. Pemerintah Indonesia bisa melawannya dengan menghadirkan arsip yang bisa menjadi “lawan tanding”. Soal perbedaan versi AS dan Indonesia, tidak masalah.

Membuka arsip Pemerintah Indonesia juga akan membuka kotak pandora, termasuk soal pembantaian anggota PKI pasca-1965. Sampai saat ini, pihak berwenang Indonesia (termasuk militer) tidak pernah secara jelas menerangkan peristiwa ini.

Secara metode, arsip-arsip produksi pemerintah dan militer biasanya sangat mendetail melaporkan kebijakan, aksi dan reaksi, serta komunikasi surat-menyurat atasan dan bawahan. Sehingga, kotak pandora yang dibuka akan menimbulkan beragam konsekuensi politik, sosial, dan bahkan masa depan negara ini.

Pada akhirnya, semuanya kembali kepada kebijakan politik pemerintah masing-masing. Jika AS membuka semua arsip diplomatiknya, lalu Indonesia enggan menanggapi, Indonesia sebagai sebuah entitas politik berhak menanggapi, membiarkan, dan bahkan membantahnya.

Semua kembali kepada pemegang kekuasan untuk menjadikan sejarah sebagai alat politik yang baik untuk rakyatnya.

Tulisan ini mengajak pembaca memahami kedudukan arsip politik produksi pemerintah (AS dan Indonesia) dalam penulisan sejarah terkait peristiwa 1965, serta bias-bias politik dan kepentingan yang terkait dengan persitiwa tersebut. Sehingga, masyarakat dapat menanggapi secara bijak pembukaan arsip-arsip diplomatik AS dan Indonesia di tahun 1964-1968.

Hingga saat ini, sumber-sumber penulisan sejarah terkait 1965 masih berkutat pada tiga hal, yakni arsip-arsip politik yang diproduksi pemerintah, baik Indonesia maupun AS, wawancara pejabat, pelaku, dan korban, serta dokumen partai politik dan ormas masa itu.

Petanya bisa dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, penulisan yang menggunakan arsip pemerintah asing. Salah satunya yang terkenal terkait dengan kawat diplomatik Gilchrist. Gilschrist adalah nama dubes Inggris untuk Indonesia.

Dokumen yang masih diperdebatkan ini memuat tulisan, militer Indonesia adalah sahabat mereka untuk melakukan operasi tertentu. Dari rujukan ini, banyak penulisan sejarah menuduh CIA dan negara Barat lainnya berperan mendukung G-30-S dan berencana menggulingkan Sukarno.

Selain itu, penulisan dengan dokumen sejenis mayoritas isinya selalu membicarakan kekhawatiran jatuhnya Sukarno, persaingan militer dan PKI, serta usaha-usaha menstabilkan kepentingan AS di Indonesia dan Asia Tenggara.

Pembaca perlu mengingat, puluhan tahun sebelum 1965, tepatnya 1955, Barat begitu khawatir dengan melajunya komunisme di Asia Tenggara. Bahkan, Eisenhower mengkhawatirkan satu per satu negara Asia Tenggara jatuh ke tangan komunis, termasuk Indonesia.

Kekhawatiran ini memunculkan teori domino, jika satu negara jatuh ke tangan komunis maka negara tetangganya tinggal menunggu waktu. Diperkuat juga fakta PKI meraup suara besar di Pemilu 1955 dan menjadi partai komunis terkuat ketiga di dunia (setelah Uni Soviet dan Cina).

Selanjutnya adalah arsip Pemerintah Indonesia, kebanyakan dokumen militer. Laporan-laporan pejabat militer dan intelijen, dokumen pengadilan pelaku, serta kesaksian pejabat sipil lainnya.

Penulisan dengan sumber ini berusaha mendudukkan militer sebagai pelaku utama G-30-S. Kekhawatiran militer atas berkembangnya PKI, usulan PKI untuk membentuk angkatan kelima, dan perseteruan perwira militer dalam melihat perkembangan PKI.

Beberapa penulisan sejarah lainnya meletakkan Sukarno sebagai pihak paling bertanggung jawab. Sukarno dituduh membiarkan perseteruan militer dan PKI semakin membesar demi melanggengkan konsep nasakomisasi.

Kedua, wawancara dan investigasi terhadap para pelaku dan korban terkait seputar peristiwa 1965. Wawancara dan investigasi ini bisa melintas kota dan juga negara karena kebanyakan para pelaku dan korban telah tiada. Yang tersisa, memoar dan kesaksian mereka yang diturunkan kepada anak cucu.

Penulisan ini baru mulai terasa setelah reformasi 1998. Ketika Soeharto jatuh, narasi penulisan sejarah dengan sumber ini secara lebih tajam berusaha melihat apa yang terjadi setelah G-30-S.

Ketiga, arsip partai politik dan organisasi. Beberapa penulisan sejarah menggunakan arsip politik PKI, partai lain serta dokumen dan memoir para pengurus partai. Penulisan dengan sumber ini memunculkan dua kubu berbeda.

Kubu pertama menyatakan, dalam dokumen-dokumen rapat PKI, pernyataan dan pidato pucuk pimpinannya tidak pernah berniat menggelar kudeta. Sementara, kubu yang lain dipelopori seorang profesor sejarah di Surabaya. Dokumen kecil rencana pendirian negara komunis dan kudeta sudah disiapkan oleh para anggota Committee Central PKI.

Melihat dan menganalisis pembukaan arsip Kedubes AS, pembaca perlu memahami beberapa hal mengenai produksi arsip-arsip politik dengan tujuan politik pula. Arsip politik selalu diproduksi untuk tujuan tertentu.

Kawat-kawat diplomatik Kedubes AS dengan Kemenlu AS di periode 1964-1968 diproduksi untuk melaporkan segala perkembangan di Indonesia serta memastikan kepentingan luar negeri AS aman. Seperti yang sudah dijelaskan, AS berkepentingan atas pembendungan komunisme, merebaknya perang dingin, dan juga kepentingan ekonomi politik lainnya.

Begitu juga arsip produksi Pemerintah Indonesia dan militer bertujuan untuk kepentingan tertentu, seperti menegakkan supremasi nasakomisasi Sukarno atau kewibawaan militer atas supremasi sipil PKI kala itu.

Arsip yang diproduksi pemerintah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya karena yang menulis pejabat pemerintah dengan akses luas, yang ditulis biasanya bersifat mendetail, disertai analisis sebab-akibat yang terjadi. Kelemahannya, arsip bisa bias.

Perdebatan soal menulis sejarah (historiografi) dengan arsip negara dan arsip masyarakat telah berlangsung lama, bahkan menjadi perdebatan metodologi sendiri yang turut melahirkan mazhab sejarah baru.

Sebelumnya, penulisan sejarah yang dipelopori Leopold von Ranke lebih mengedepankan arsip-arsip negara. Penggunaan sumber dengan arsip-arsip negara selalu bersifat politik, mengedepankan figur orang-orang besar, dan menghadirkan hegemoni negara atas masyarakatnya.

Mazhab ini selalu mengedepankan arsip sebagai nilai utama sehingga kesaksian orang mana pun tanpa arsip dianggap meragukan.Hingga akhirnya muncul reaksi untuk menghadirkan kisah orang-orang kecil, marginal, di mana menulis sejarah tanpa menggunakan label politik. Penggunaan sumber-sumber sejarah pun meluas menjadi arsip-arsip masyarakat. Sejarah ini berkembang menjadi sejarah ekonomi dan sejarah kebudayaan.

Pergeseran ini juga bisa dilihat dalam penulisan sejarah 1965. Penggunaan arsip-arsip politik pemerintah, baik Amerika maupun Indonesia selalu bercerita soal orang-orang besar dalam panggung politik sejarah Indonesia.

Penulisan dengan genre seperti ini sangat laris di masa Orde Baru, terlebih di luar negeri menjadi tren tersendiri. Para Indonesianis bahkan kebanyakan menggunakan dokumen-dokumen politik pemerintah sebagai basis sumbernya.

Hingga reformasi 1998 mengubah arah penulisan sejarah 1965, di mana sumber-sumber penulisan 1965 bergeser menjadi kesaksian korban, dokumen-dokumen orang-orang kecil seperti pelaku, korban, jagal, ajudan, dan bahkan tetangga-tetangga korban. Sumber sejarah menjadi begitu bervariasi dan membuat penulisan semakin berwarna.

Jadi, dengan kembalinya dibukanya arsip Kedubes Amerika saat ini masih memutar lagu lama dalam penulisan sejarah 1965. Jika Kedubes AS berusaha memotret peristiwa 1965 dengan pendekatan politis mereka, itu tidak salah. Pemerintah Indonesia bisa melawannya dengan menghadirkan arsip yang bisa menjadi “lawan tanding”. Soal perbedaan versi AS dan Indonesia, tidak masalah.

Membuka arsip Pemerintah Indonesia juga akan membuka kotak pandora, termasuk soal pembantaian anggota PKI pasca-1965. Sampai saat ini, pihak berwenang Indonesia (termasuk militer) tidak pernah secara jelas menerangkan peristiwa ini.

Secara metode, arsip-arsip produksi pemerintah dan militer biasanya sangat mendetail melaporkan kebijakan, aksi dan reaksi, serta komunikasi surat-menyurat atasan dan bawahan. Sehingga, kotak pandora yang dibuka akan menimbulkan beragam konsekuensi politik, sosial, dan bahkan masa depan negara ini.

Pada akhirnya, semuanya kembali kepada kebijakan politik pemerintah masing-masing. Jika AS membuka semua arsip diplomatiknya, lalu Indonesia enggan menanggapi, Indonesia sebagai sebuah entitas politik berhak menanggapi, membiarkan, dan bahkan membantahnya.

Semua kembali kepada pemegang kekuasan untuk menjadikan sejarah sebagai alat politik yang baik untuk rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar