G30S/PKI
dan Menyoal Arsip Kedubes AS
Subandi Rianto ; Mahasiswa Pascasarjana
Ilmu Sejarah UGM;
Penerima Beasiswa LPDP
Kemenkeu PK 108
|
REPUBLIKA,
25 Oktober
2017
Pekan lalu adalah pekan
istimewa. Secara berseri, beberapa media daring menerbitkan ulang laporan
National Declassification Center (NDC) atas dibukanya arsip-arsip diplomatik
Kedubes Amerika Serikat (AS) di Indonesia dalam kurun tahun 1964-1968.
Dibukanya arsip-arsip ini
merupakan kerja sama NDC bersama National Security Archive (NSA) dan National
Archives and Records Administration (NARA). Serta tentunya kebijakan dalam
negeri AS membuka arsip-arsip kontroversial setelah 30 tahun kemudian.
Arsip yang dibuka meliputi
kawat diplomatik, testimoni para diplomat asing di Jakarta, serta
pernyataan-pernyataan pejabat Indonesia di masa itu yang kemudian diarsipkan.
Kesemuanya adalah arsip di bidang politik.
Membuka arsip politik setelah
puluhan tahun kemudian belum menjadi budaya di Indonesia. Penulis pernah
menyambangi beberapa dinas arsip di daerah-daerah. Ada beberapa arsip yang
tidak bisa diakses oleh khalayak umum.
Salah satunya yang berkaitan
dengan peristiwa 1965, percobaan kudeta G-30 September. Pejabat arsip selalu
mengatakan, arsip politik yang kontroversial dapat membahayakan stabilitas
negara sehingga untuk sementara tidak bisa diakses umum.
Dokumen yang bersifat rahasia
ini bisa jadi terdiri atas nota komunikasi pejabat intelijen, militer,
pemerintahan, dan juga surat kabar-surat kabar yang terkait dengan peristiwa.
Hanya sedikit yang bisa ditemukan membahas dengan jelas.
Biasanya, membahas hari-hari
menjelang G-30-S (persaingan militer dan PKI) atau persoalan-persoalan
pascaperistiwa G-30-S, atau pernyataan para pejabat saat itu yang dikutip
pers masih bisa ditemukan.
Budaya membuka arsip di AS
tentu saja berbeda dengan di Indonesia, karena peristiwa 1965 sangat sensitif
di mata masyarakat Indonesia. Di AS, merujuk penuturan dosen tamu UCLA yang
pernah penulis temui, tidak semua mahasiswa pascasarjana di AS mengetahui
peristiwa G-30-S.
Itulah mengapa para penulis
asing sangat tertarik dengan arsip-arsip 1965 dan mereka kebanyakan menulis
penelitian dan buku yang menjadi buku babon di kampus-kampus Indonesia.
Kebijakan yang diambil para
pejabat arsip di Indonesia sampai saat ini masih tepat untuk menjaga
stabilitas politik. Tepat karena mayoritas masyarakat belum terlalu bijak
menanggapi kejadian sejarah yang bersifat kontroversial, apalagi menyangkut
isu agama dan komunis.
Selain itu, budaya literasi
yang kurang membuat masyarakat mudah termakan //hoaks// dan tidak selektif
dalam menerima informasi.
Kedua, wawancara dan
investigasi terhadap para pelaku dan korban terkait seputar peristiwa 1965.
Wawancara dan investigasi ini bisa melintas kota dan juga negara karena
kebanyakan para pelaku dan korban telah tiada. Yang tersisa, memoar dan
kesaksian mereka yang diturunkan kepada anak cucu.
Penulisan ini baru mulai terasa
setelah reformasi 1998. Ketika Soeharto jatuh, narasi penulisan sejarah
dengan sumber ini secara lebih tajam berusaha melihat apa yang terjadi
setelah G-30-S.
Ketiga, arsip partai politik
dan organisasi. Beberapa penulisan sejarah menggunakan arsip politik PKI,
partai lain serta dokumen dan memoir para pengurus partai. Penulisan dengan
sumber ini memunculkan dua kubu berbeda.
Kubu pertama menyatakan, dalam
dokumen-dokumen rapat PKI, pernyataan dan pidato pucuk pimpinannya tidak
pernah berniat menggelar kudeta. Sementara, kubu yang lain dipelopori seorang
profesor sejarah di Surabaya. Dokumen kecil rencana pendirian negara komunis
dan kudeta sudah disiapkan oleh para anggota Committee Central PKI.
Melihat dan menganalisis
pembukaan arsip Kedubes AS, pembaca perlu memahami beberapa hal mengenai
produksi arsip-arsip politik dengan tujuan politik pula. Arsip politik selalu
diproduksi untuk tujuan tertentu.
Kawat-kawat diplomatik Kedubes
AS dengan Kemenlu AS di periode 1964-1968 diproduksi untuk melaporkan segala
perkembangan di Indonesia serta memastikan kepentingan luar negeri AS aman.
Seperti yang sudah dijelaskan, AS berkepentingan atas pembendungan komunisme,
merebaknya perang dingin, dan juga kepentingan ekonomi politik lainnya.
Begitu juga arsip produksi
Pemerintah Indonesia dan militer bertujuan untuk kepentingan tertentu,
seperti menegakkan supremasi nasakomisasi Sukarno atau kewibawaan militer
atas supremasi sipil PKI kala itu.
Arsip yang diproduksi
pemerintah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya karena yang
menulis pejabat pemerintah dengan akses luas, yang ditulis biasanya bersifat
mendetail, disertai analisis sebab-akibat yang terjadi. Kelemahannya, arsip
bisa bias.
Perdebatan soal menulis sejarah
(historiografi) dengan arsip negara dan arsip masyarakat telah berlangsung lama,
bahkan menjadi perdebatan metodologi sendiri yang turut melahirkan mazhab
sejarah baru.
Sebelumnya, penulisan sejarah
yang dipelopori Leopold von Ranke lebih mengedepankan arsip-arsip negara.
Penggunaan sumber dengan arsip-arsip negara selalu bersifat politik,
mengedepankan figur orang-orang besar, dan menghadirkan hegemoni negara atas
masyarakatnya.
Mazhab ini selalu mengedepankan
arsip sebagai nilai utama sehingga kesaksian orang mana pun tanpa arsip
dianggap meragukan.Hingga akhirnya muncul reaksi untuk menghadirkan kisah
orang-orang kecil, marginal, di mana menulis sejarah tanpa menggunakan label
politik. Penggunaan sumber-sumber sejarah pun meluas menjadi arsip-arsip
masyarakat. Sejarah ini berkembang menjadi sejarah ekonomi dan sejarah kebudayaan.
Pergeseran ini juga bisa
dilihat dalam penulisan sejarah 1965. Penggunaan arsip-arsip politik
pemerintah, baik Amerika maupun Indonesia selalu bercerita soal orang-orang
besar dalam panggung politik sejarah Indonesia.
Penulisan dengan genre seperti
ini sangat laris di masa Orde Baru, terlebih di luar negeri menjadi tren
tersendiri. Para Indonesianis bahkan kebanyakan menggunakan dokumen-dokumen
politik pemerintah sebagai basis sumbernya.
Hingga reformasi 1998 mengubah
arah penulisan sejarah 1965, di mana sumber-sumber penulisan 1965 bergeser
menjadi kesaksian korban, dokumen-dokumen orang-orang kecil seperti pelaku,
korban, jagal, ajudan, dan bahkan tetangga-tetangga korban. Sumber sejarah
menjadi begitu bervariasi dan membuat penulisan semakin berwarna.
Jadi, dengan kembalinya
dibukanya arsip Kedubes Amerika saat ini masih memutar lagu lama dalam
penulisan sejarah 1965. Jika Kedubes AS berusaha memotret peristiwa 1965
dengan pendekatan politis mereka, itu tidak salah. Pemerintah Indonesia bisa melawannya
dengan menghadirkan arsip yang bisa menjadi “lawan tanding”. Soal perbedaan
versi AS dan Indonesia, tidak masalah.
Membuka arsip Pemerintah
Indonesia juga akan membuka kotak pandora, termasuk soal pembantaian anggota
PKI pasca-1965. Sampai saat ini, pihak berwenang Indonesia (termasuk militer)
tidak pernah secara jelas menerangkan peristiwa ini.
Secara metode, arsip-arsip
produksi pemerintah dan militer biasanya sangat mendetail melaporkan
kebijakan, aksi dan reaksi, serta komunikasi surat-menyurat atasan dan
bawahan. Sehingga, kotak pandora yang dibuka akan menimbulkan beragam
konsekuensi politik, sosial, dan bahkan masa depan negara ini.
Pada akhirnya, semuanya kembali
kepada kebijakan politik pemerintah masing-masing. Jika AS membuka semua arsip
diplomatiknya, lalu Indonesia enggan menanggapi, Indonesia sebagai sebuah
entitas politik berhak menanggapi, membiarkan, dan bahkan membantahnya.
Semua kembali kepada pemegang
kekuasan untuk menjadikan sejarah sebagai alat politik yang baik untuk rakyatnya.
Tulisan ini mengajak pembaca
memahami kedudukan arsip politik produksi pemerintah (AS dan Indonesia) dalam
penulisan sejarah terkait peristiwa 1965, serta bias-bias politik dan
kepentingan yang terkait dengan persitiwa tersebut. Sehingga, masyarakat
dapat menanggapi secara bijak pembukaan arsip-arsip diplomatik AS dan
Indonesia di tahun 1964-1968.
Hingga saat ini, sumber-sumber
penulisan sejarah terkait 1965 masih berkutat pada tiga hal, yakni
arsip-arsip politik yang diproduksi pemerintah, baik Indonesia maupun AS,
wawancara pejabat, pelaku, dan korban, serta dokumen partai politik dan ormas
masa itu.
Petanya bisa dibagi menjadi
tiga bagian. Pertama, penulisan yang menggunakan arsip pemerintah asing.
Salah satunya yang terkenal terkait dengan kawat diplomatik Gilchrist.
Gilschrist adalah nama dubes Inggris untuk Indonesia.
Dokumen yang masih
diperdebatkan ini memuat tulisan, militer Indonesia adalah sahabat mereka
untuk melakukan operasi tertentu. Dari rujukan ini, banyak penulisan sejarah
menuduh CIA dan negara Barat lainnya berperan mendukung G-30-S dan berencana
menggulingkan Sukarno.
Selain itu, penulisan dengan
dokumen sejenis mayoritas isinya selalu membicarakan kekhawatiran jatuhnya
Sukarno, persaingan militer dan PKI, serta usaha-usaha menstabilkan
kepentingan AS di Indonesia dan Asia Tenggara.
Pembaca perlu mengingat,
puluhan tahun sebelum 1965, tepatnya 1955, Barat begitu khawatir dengan
melajunya komunisme di Asia Tenggara. Bahkan, Eisenhower mengkhawatirkan satu
per satu negara Asia Tenggara jatuh ke tangan komunis, termasuk Indonesia.
Kekhawatiran ini memunculkan
teori domino, jika satu negara jatuh ke tangan komunis maka negara
tetangganya tinggal menunggu waktu. Diperkuat juga fakta PKI meraup suara
besar di Pemilu 1955 dan menjadi partai komunis terkuat ketiga di dunia
(setelah Uni Soviet dan Cina).
Selanjutnya adalah arsip
Pemerintah Indonesia, kebanyakan dokumen militer. Laporan-laporan pejabat
militer dan intelijen, dokumen pengadilan pelaku, serta kesaksian pejabat
sipil lainnya.
Penulisan dengan sumber ini
berusaha mendudukkan militer sebagai pelaku utama G-30-S. Kekhawatiran
militer atas berkembangnya PKI, usulan PKI untuk membentuk angkatan kelima,
dan perseteruan perwira militer dalam melihat perkembangan PKI.
Beberapa penulisan sejarah
lainnya meletakkan Sukarno sebagai pihak paling bertanggung jawab. Sukarno
dituduh membiarkan perseteruan militer dan PKI semakin membesar demi
melanggengkan konsep nasakomisasi.
Kedua, wawancara dan
investigasi terhadap para pelaku dan korban terkait seputar peristiwa 1965.
Wawancara dan investigasi ini bisa melintas kota dan juga negara karena
kebanyakan para pelaku dan korban telah tiada. Yang tersisa, memoar dan
kesaksian mereka yang diturunkan kepada anak cucu.
Penulisan ini baru mulai terasa
setelah reformasi 1998. Ketika Soeharto jatuh, narasi penulisan sejarah
dengan sumber ini secara lebih tajam berusaha melihat apa yang terjadi
setelah G-30-S.
Ketiga, arsip partai politik
dan organisasi. Beberapa penulisan sejarah menggunakan arsip politik PKI,
partai lain serta dokumen dan memoir para pengurus partai. Penulisan dengan
sumber ini memunculkan dua kubu berbeda.
Kubu pertama menyatakan, dalam
dokumen-dokumen rapat PKI, pernyataan dan pidato pucuk pimpinannya tidak
pernah berniat menggelar kudeta. Sementara, kubu yang lain dipelopori seorang
profesor sejarah di Surabaya. Dokumen kecil rencana pendirian negara komunis
dan kudeta sudah disiapkan oleh para anggota Committee Central PKI.
Melihat dan menganalisis
pembukaan arsip Kedubes AS, pembaca perlu memahami beberapa hal mengenai
produksi arsip-arsip politik dengan tujuan politik pula. Arsip politik selalu
diproduksi untuk tujuan tertentu.
Kawat-kawat diplomatik Kedubes
AS dengan Kemenlu AS di periode 1964-1968 diproduksi untuk melaporkan segala
perkembangan di Indonesia serta memastikan kepentingan luar negeri AS aman.
Seperti yang sudah dijelaskan, AS berkepentingan atas pembendungan komunisme,
merebaknya perang dingin, dan juga kepentingan ekonomi politik lainnya.
Begitu juga arsip produksi
Pemerintah Indonesia dan militer bertujuan untuk kepentingan tertentu,
seperti menegakkan supremasi nasakomisasi Sukarno atau kewibawaan militer
atas supremasi sipil PKI kala itu.
Arsip yang diproduksi
pemerintah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya karena yang
menulis pejabat pemerintah dengan akses luas, yang ditulis biasanya bersifat
mendetail, disertai analisis sebab-akibat yang terjadi. Kelemahannya, arsip
bisa bias.
Perdebatan soal menulis sejarah
(historiografi) dengan arsip negara dan arsip masyarakat telah berlangsung
lama, bahkan menjadi perdebatan metodologi sendiri yang turut melahirkan
mazhab sejarah baru.
Sebelumnya, penulisan sejarah
yang dipelopori Leopold von Ranke lebih mengedepankan arsip-arsip negara.
Penggunaan sumber dengan arsip-arsip negara selalu bersifat politik,
mengedepankan figur orang-orang besar, dan menghadirkan hegemoni negara atas
masyarakatnya.
Mazhab ini selalu mengedepankan
arsip sebagai nilai utama sehingga kesaksian orang mana pun tanpa arsip
dianggap meragukan.Hingga akhirnya muncul reaksi untuk menghadirkan kisah
orang-orang kecil, marginal, di mana menulis sejarah tanpa menggunakan label
politik. Penggunaan sumber-sumber sejarah pun meluas menjadi arsip-arsip
masyarakat. Sejarah ini berkembang menjadi sejarah ekonomi dan sejarah
kebudayaan.
Pergeseran ini juga bisa
dilihat dalam penulisan sejarah 1965. Penggunaan arsip-arsip politik
pemerintah, baik Amerika maupun Indonesia selalu bercerita soal orang-orang
besar dalam panggung politik sejarah Indonesia.
Penulisan dengan genre seperti
ini sangat laris di masa Orde Baru, terlebih di luar negeri menjadi tren
tersendiri. Para Indonesianis bahkan kebanyakan menggunakan dokumen-dokumen
politik pemerintah sebagai basis sumbernya.
Hingga reformasi 1998 mengubah
arah penulisan sejarah 1965, di mana sumber-sumber penulisan 1965 bergeser
menjadi kesaksian korban, dokumen-dokumen orang-orang kecil seperti pelaku,
korban, jagal, ajudan, dan bahkan tetangga-tetangga korban. Sumber sejarah
menjadi begitu bervariasi dan membuat penulisan semakin berwarna.
Jadi, dengan kembalinya
dibukanya arsip Kedubes Amerika saat ini masih memutar lagu lama dalam
penulisan sejarah 1965. Jika Kedubes AS berusaha memotret peristiwa 1965
dengan pendekatan politis mereka, itu tidak salah. Pemerintah Indonesia bisa
melawannya dengan menghadirkan arsip yang bisa menjadi “lawan tanding”. Soal
perbedaan versi AS dan Indonesia, tidak masalah.
Membuka arsip Pemerintah
Indonesia juga akan membuka kotak pandora, termasuk soal pembantaian anggota
PKI pasca-1965. Sampai saat ini, pihak berwenang Indonesia (termasuk militer)
tidak pernah secara jelas menerangkan peristiwa ini.
Secara metode, arsip-arsip
produksi pemerintah dan militer biasanya sangat mendetail melaporkan kebijakan,
aksi dan reaksi, serta komunikasi surat-menyurat atasan dan bawahan.
Sehingga, kotak pandora yang dibuka akan menimbulkan beragam konsekuensi
politik, sosial, dan bahkan masa depan negara ini.
Pada akhirnya, semuanya kembali
kepada kebijakan politik pemerintah masing-masing. Jika AS membuka semua
arsip diplomatiknya, lalu Indonesia enggan menanggapi, Indonesia sebagai
sebuah entitas politik berhak menanggapi, membiarkan, dan bahkan
membantahnya.
Semua kembali kepada pemegang
kekuasan untuk menjadikan sejarah sebagai alat politik yang baik untuk
rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar