Rabu, 25 Oktober 2017

Tiga Tahun Jokowi-JK dan Percepatan Infrastruktur

Tiga Tahun Jokowi-JK dan Percepatan Infrastruktur
Fahruddin Salim ;   Dosen Program Magister Manajemen Universitas Pancasila; Doktor Manajemen Bisnis Unpad Bandung
                                            MEDIA INDONESIA, 24 Oktober 2017



                                                           
TIGA tahun pemerintahan Jokowi-JK telah mencatatkan prestasi dalam percepatan pembangunan infrastruktur. Hal ini tampak dari pengeluaran untuk infrastruktur yang terus meningkat sejak pemerintahan ini berkuasa. Pada 2014 porsi anggaran infrastruktur semula hanya sebesar Rp155,9 triliun atau 9,5% dari total belanja negara, melonjak sebesar 14,2% pada 2015 menjadi Rp290,3 triliun. Anggaran negara 2016 semakin tinggi menjadi 15,2% atau Rp313,5 triliun. Dalam APBN-P 2016, angkanya bertambah lagi sebesar Rp16 triliun. Pada APBN-P 2017, total anggaran infrastruktur mencapai Rp388,3 triliun. Dalam RAPBN-P 2018, anggaran untuk infrastruktur naik lagi menjadi Rp409 triliun atau 18,5% dari total nilai belanja negara.

Berdasarkan RPJMN 2015-2019, biaya pembangunan infrastruktur hingga 2019 mencapai Rp5.519,4 triliun. Dari estimasi biaya itu, 40,1% atau sebesar Rp2.215,6 triliun berasal dari APBN. Jika dirata-ratakan per tahun, RI membutuhkan anggaran infrastruktur Rp1.100 triliun. Sementara itu, porsi yang dibiayai APBN hanya sekitar 30% atau Rp387,2 triliun, kemudian dari APBD sebesar 11% dan dari BUMN sebesar 22%. Sisanya dari pembiayaan swasta termasuk sektor keuangan seperti perbankan dan nonbank serta pasar modal. Investasi infrastruktur di RI tertinggal jauh jika dibandingkan dengan Tiongkok dan India. Sejak 2009, investasi infrastruktur di India sudah di atas 7% PDB dan di Tiongkok sejak 2005 sudah mencapai 9%-11% PDB. Sementara itu, di Indonesia baru mencapai 4,5%-5% PDB. Berdasarkan rule of thumb investasi infrastruktur minimal 5% dari PDB.

Ketertinggalan Indonesia dalam pencapaian kemajuan infrastruktur tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan anggaran negara. Keterbatasan anggaran telah menghambat percepatan pembangunan infrastruktur, sedangkan pengeluaran pemerintah lebih banyak untuk pengeluaran anggaran rutin. Infrastruktur yang minim, menurut mantan Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick, merupakan salah satu dari tiga penyebab mengapa negara berpendapatan menengah terperangkap dan tidak mampu beranjak menjadi negara maju. Untuk itu, konsistensi pembangunan infrastruktur yang dilakukan Jokowi-JK harus bisa menjadi faktor penting dalam menciptakan pemerataan dan menurunkan kemiskinan sekaligus upaya keluar dari middle income trap.

Jika pemerintahan Jokowi-JK dalam lima tahun ini bisa terus menggenjot pembangunan infrastruktur, itu akan memberikan dampak positif pada periode kepresidenan berikutnya. Pada dasarnya benefit pembangunan infrastruktur bersifat jangka panjang. Kemajuan dalam pembangunan infrastruktur juga diharapkan mampu mendorong keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Dorongan pemerintah untuk memacu infrastruktur memberikan efek positif terhadap upaya mendorong efisiensi dan daya saing perekonomian. Dalam laporan Bank Dunia (2011) juga disebutkan bahwa perbaikan infrastruktur memiliki korelasi positif terhadap peningkatan kualitas pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Sementara itu, pembangunan infrastruktur di kawasan ASEAN, menurut studi Sun (2013), menghasilkan efek ganda penurunan kemiskinan dan pertumbuhan secara inklusif.

Sejatinya, pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi positif terhadap kemakmuran. Keberadaan infrastruktur yang memadai dan berdaya saing memberikan kontribusi terhadap penurunan biaya operasional kegiatan ekonomi dan bisnis, meningkatnya volume kegiatan ekonomi, turunnya biaya input usaha produksi, dan meningkatnya modal manusia, terbukanya peluang kegiatan ekonomi baru, serta kesempatan berusaha dan bekerja. Alokasi infrastruktur juga harus memberikan efek positif terhadap konektivitas pembangunan antarwilayah sehingga menghasilkan pertumbuhan yang inklusif. Pembangunan infrastruktur provinsi dan kabupaten/kota harus dihubungkan dengan infrastruktur nasional dan diarahkan pada pembangunan infrastruktur yang dapat membuka akses pasar hasil produksi pertanian dan membuka akses wilayah terpencil/terisolasi.

Untuk itu, pembangunan infrastruktur dasar harus mampu memetakan kebutuhan dalam mendorong kemajuan daerah dan masyarakat. Hal ini akan mendorong akses masyarakat terhadap fasilitas publik menjadi lebih baik. Dengan demikian, akselerasi pembangunan infrastruktur lebih terasa manfaatnya dalam mengurangi ketimpangan ekonomi, memacu pertumbuhan, membuka lapangan usaha dan kesempatan kerja. Selain itu, pengembangan infrastruktur harus memperhatikan aspek kewilayahan dengan membentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah. Setiap daerah memiliki keunggulan berbasis kekayaan SDA, SDM, dan kapasitas kelembagaannya. Pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan karakteristik dan karakter daerah sehingga mampu memperluas akses masyarakat terhadap fasilitas publik.

Dengan cara ini, pembangunan tidak lagi bias ke arah perkotaan sehingga bisa mengurangi ketimpangan antarwilayah desa-kota dan Jawa-luar Jawa. Selama ini sekitar 82% PDRB masih berkonsentrasi di Jawa dan Sumatra. Program pengurangan kemiskinan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan infrastruktur di perdesaan dan sektor-sektor yang menampung kehidupan masyarakat desa, seperti pertanian dan perikanan. Alokasi dana desa yang anggarannya terus naik diharapkan bisa menstimulasi perekonomian masyarakat bawah sehingga masyarakat bisa menikmati kemajuan pembangunan.

Pengeluaran infrastruktur untuk sektor pertanian sangat penting karena berpengaruh positif terhadap peningkatan konsumsi rumah tangga, kemandirian pangan, dan kesejahteraan petani. Pada sisi lain, pengeluaran infrastrukur untuk sektor pertanian memiliki keterkaitan dengan sektor lain baik yang di hulu maupun di hilir. Menurut hasil studi BI, setiap peningkatan pertumbuhan sektor pertanian 1% akan menurunkan tingkat kemiskinan nasional 2,76% dan tingkat kemiskinan di sektor pertanian 7,34%, sedangkan di sektor industri hanya menurunkan kemiskinan nasional 0,11% dan kemiskinan di sektor industri 1,51%.

Di samping itu, ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam menunjang pembangunan infrastruktur seperti memperbaiki kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintah. Penguatan kapasitas pemerintah diperlukan agar penyerapan anggaran bisa optimal sekaligus meminimalkan kebocoran anggaran. Kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintah juga diperlukan untuk mendorong efisiensi investasi karena Indonesia masih memiliki incremental capital output ratio (ICOR). Inilah yang menyebabkan investasi yang kita lakukan belum menghasilkan pertumbuhan PDB yang lebih kuat. BPS mencatat ICOR RI pada 2016 masih 6,46%. Artinya produktivitas belum cukup kuat yang mengindikasikan jumlah investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan US$1 dalam perekonomian karena memerlukan kurang lebih US$7 dalam investasi untuk bisa menghasilkan tambahan US$1.

Harus diakui, meski ICOR masih cukup tinggi, angka ini sudah turun sedikit bila dibandingkan dengan 2015 yang masih 6,64%. Sejak 2011, ICOR terus meningkat dan pada 2016 baru kembali turun. ICOR digunakan sebagai alat untuk menghitung investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu output nasional. ICOR bisa menjadi panduan untuk menghitung efisiensi produksi nasional. Semakin kecil angka ICOR, semakin efisien produksinya. Pembangunan infrastruktur juga harus menunjang efisiensi dan daya saing perekonomian seperti efisiensi biaya logistik sehingga mendorong iklim investasi yang sehat dan mampu memulihkan kepercayaan masyarakat dan investor dalam meningkatkan investasi guna mendukung kualitas pertumbuhan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar