Tiga
Tahun Jokowi-JK dan Percepatan Infrastruktur
Fahruddin Salim ; Dosen Program Magister Manajemen
Universitas Pancasila; Doktor Manajemen Bisnis Unpad Bandung
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Oktober 2017
TIGA tahun pemerintahan
Jokowi-JK telah mencatatkan prestasi dalam percepatan pembangunan
infrastruktur. Hal ini tampak dari pengeluaran untuk infrastruktur yang terus
meningkat sejak pemerintahan ini berkuasa. Pada 2014 porsi anggaran infrastruktur
semula hanya sebesar Rp155,9 triliun atau 9,5% dari total belanja negara,
melonjak sebesar 14,2% pada 2015 menjadi Rp290,3 triliun. Anggaran negara
2016 semakin tinggi menjadi 15,2% atau Rp313,5 triliun. Dalam APBN-P 2016,
angkanya bertambah lagi sebesar Rp16 triliun. Pada APBN-P 2017, total
anggaran infrastruktur mencapai Rp388,3 triliun. Dalam RAPBN-P 2018, anggaran
untuk infrastruktur naik lagi menjadi Rp409 triliun atau 18,5% dari total
nilai belanja negara.
Berdasarkan RPJMN 2015-2019, biaya
pembangunan infrastruktur hingga 2019 mencapai Rp5.519,4 triliun. Dari
estimasi biaya itu, 40,1% atau sebesar Rp2.215,6 triliun berasal dari APBN.
Jika dirata-ratakan per tahun, RI membutuhkan anggaran infrastruktur Rp1.100
triliun. Sementara itu, porsi yang dibiayai APBN hanya sekitar 30% atau
Rp387,2 triliun, kemudian dari APBD sebesar 11% dan dari BUMN sebesar 22%.
Sisanya dari pembiayaan swasta termasuk sektor keuangan seperti perbankan dan
nonbank serta pasar modal. Investasi infrastruktur di RI tertinggal jauh jika
dibandingkan dengan Tiongkok dan India. Sejak 2009, investasi infrastruktur
di India sudah di atas 7% PDB dan di Tiongkok sejak 2005 sudah mencapai
9%-11% PDB. Sementara itu, di Indonesia baru mencapai 4,5%-5% PDB.
Berdasarkan rule of thumb investasi infrastruktur minimal 5% dari PDB.
Ketertinggalan Indonesia dalam
pencapaian kemajuan infrastruktur tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan
anggaran negara. Keterbatasan anggaran telah menghambat percepatan
pembangunan infrastruktur, sedangkan pengeluaran pemerintah lebih banyak
untuk pengeluaran anggaran rutin. Infrastruktur yang minim, menurut mantan
Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick, merupakan salah satu dari tiga
penyebab mengapa negara berpendapatan menengah terperangkap dan tidak mampu
beranjak menjadi negara maju. Untuk itu, konsistensi pembangunan
infrastruktur yang dilakukan Jokowi-JK harus bisa menjadi faktor penting
dalam menciptakan pemerataan dan menurunkan kemiskinan sekaligus upaya keluar
dari middle income trap.
Jika pemerintahan Jokowi-JK
dalam lima tahun ini bisa terus menggenjot pembangunan infrastruktur, itu
akan memberikan dampak positif pada periode kepresidenan berikutnya. Pada
dasarnya benefit pembangunan infrastruktur bersifat jangka panjang. Kemajuan
dalam pembangunan infrastruktur juga diharapkan mampu mendorong keterlibatan
swasta dalam pembangunan infrastruktur. Dorongan pemerintah untuk memacu
infrastruktur memberikan efek positif terhadap upaya mendorong efisiensi dan
daya saing perekonomian. Dalam laporan Bank Dunia (2011) juga disebutkan
bahwa perbaikan infrastruktur memiliki korelasi positif terhadap peningkatan
kualitas pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Sementara itu, pembangunan
infrastruktur di kawasan ASEAN, menurut studi Sun (2013), menghasilkan efek
ganda penurunan kemiskinan dan pertumbuhan secara inklusif.
Sejatinya, pembangunan
infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi positif terhadap
kemakmuran. Keberadaan infrastruktur yang memadai dan berdaya saing
memberikan kontribusi terhadap penurunan biaya operasional kegiatan ekonomi
dan bisnis, meningkatnya volume kegiatan ekonomi, turunnya biaya input usaha
produksi, dan meningkatnya modal manusia, terbukanya peluang kegiatan ekonomi
baru, serta kesempatan berusaha dan bekerja. Alokasi infrastruktur juga harus
memberikan efek positif terhadap konektivitas pembangunan antarwilayah
sehingga menghasilkan pertumbuhan yang inklusif. Pembangunan infrastruktur
provinsi dan kabupaten/kota harus dihubungkan dengan infrastruktur nasional
dan diarahkan pada pembangunan infrastruktur yang dapat membuka akses pasar
hasil produksi pertanian dan membuka akses wilayah terpencil/terisolasi.
Untuk itu, pembangunan
infrastruktur dasar harus mampu memetakan kebutuhan dalam mendorong kemajuan
daerah dan masyarakat. Hal ini akan mendorong akses masyarakat terhadap
fasilitas publik menjadi lebih baik. Dengan demikian, akselerasi pembangunan
infrastruktur lebih terasa manfaatnya dalam mengurangi ketimpangan ekonomi,
memacu pertumbuhan, membuka lapangan usaha dan kesempatan kerja. Selain itu,
pengembangan infrastruktur harus memperhatikan aspek kewilayahan dengan
membentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah. Setiap daerah
memiliki keunggulan berbasis kekayaan SDA, SDM, dan kapasitas kelembagaannya.
Pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan karakteristik dan karakter
daerah sehingga mampu memperluas akses masyarakat terhadap fasilitas publik.
Dengan cara ini, pembangunan
tidak lagi bias ke arah perkotaan sehingga bisa mengurangi ketimpangan antarwilayah
desa-kota dan Jawa-luar Jawa. Selama ini sekitar 82% PDRB masih
berkonsentrasi di Jawa dan Sumatra. Program pengurangan kemiskinan tidak
dapat dilepaskan dari pembangunan infrastruktur di perdesaan dan
sektor-sektor yang menampung kehidupan masyarakat desa, seperti pertanian dan
perikanan. Alokasi dana desa yang anggarannya terus naik diharapkan bisa
menstimulasi perekonomian masyarakat bawah sehingga masyarakat bisa menikmati
kemajuan pembangunan.
Pengeluaran infrastruktur untuk
sektor pertanian sangat penting karena berpengaruh positif terhadap
peningkatan konsumsi rumah tangga, kemandirian pangan, dan kesejahteraan
petani. Pada sisi lain, pengeluaran infrastrukur untuk sektor pertanian
memiliki keterkaitan dengan sektor lain baik yang di hulu maupun di hilir.
Menurut hasil studi BI, setiap peningkatan pertumbuhan sektor pertanian 1%
akan menurunkan tingkat kemiskinan nasional 2,76% dan tingkat kemiskinan di
sektor pertanian 7,34%, sedangkan di sektor industri hanya menurunkan
kemiskinan nasional 0,11% dan kemiskinan di sektor industri 1,51%.
Di samping itu, ada beberapa
hal yang perlu dibenahi dalam menunjang pembangunan infrastruktur seperti
memperbaiki kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintah. Penguatan
kapasitas pemerintah diperlukan agar penyerapan anggaran bisa optimal
sekaligus meminimalkan kebocoran anggaran. Kapasitas kelembagaan dan tata
kelola pemerintah juga diperlukan untuk mendorong efisiensi investasi karena
Indonesia masih memiliki incremental capital output ratio (ICOR). Inilah yang
menyebabkan investasi yang kita lakukan belum menghasilkan pertumbuhan PDB
yang lebih kuat. BPS mencatat ICOR RI pada 2016 masih 6,46%. Artinya
produktivitas belum cukup kuat yang mengindikasikan jumlah investasi yang
dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan US$1 dalam perekonomian karena
memerlukan kurang lebih US$7 dalam investasi untuk bisa menghasilkan tambahan
US$1.
Harus diakui, meski ICOR masih
cukup tinggi, angka ini sudah turun sedikit bila dibandingkan dengan 2015
yang masih 6,64%. Sejak 2011, ICOR terus meningkat dan pada 2016 baru kembali
turun. ICOR digunakan sebagai alat untuk menghitung investasi yang dibutuhkan
untuk menghasilkan satu output nasional. ICOR bisa menjadi panduan untuk
menghitung efisiensi produksi nasional. Semakin kecil angka ICOR, semakin
efisien produksinya. Pembangunan infrastruktur juga harus menunjang efisiensi
dan daya saing perekonomian seperti efisiensi biaya logistik sehingga
mendorong iklim investasi yang sehat dan mampu memulihkan kepercayaan
masyarakat dan investor dalam meningkatkan investasi guna mendukung kualitas
pertumbuhan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar